Dari penggabungan dua konsep dakwah tersebut, kelak lahir seorang ulama besar asal Banten yaitu Syekh Nawawi Al Bantani, yang keluwesan serta pemahamannya tentang keislaman di akui oleh ulama-ulama dunia.Â
Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Agama Islam
Syeikh Nawawi Al-Bantani bernama asli Abu Abdullah Al Mu'thi Muhammad  Nawawi bin Umar. Dia dilahirkan pada tahun 1230 H atau tahun 1814 M di Tanara, sebuah desa di Banten.Â
Nawawi lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga muslim yang taat. Nawawi kecil belajar ilmu agama Islam dan ilmu lainnya langsung dari ayahnya, Syekh Umar yang merupakan seorang ulama lokal.Â
Setelah belajar langsung kepada ayahnya sendiri, Nawawi kemudian berguru kepada kyai Sahal dan Yusuf. Dari keduanya pengetahuan Nawawi mengenai ilmu agama Islam bertambah.
Pada usia remaja, Nawawi pergi haji ke Mekah bersama saudara-saudaranya. Pada kesempatan itu, Nawawi menimba ilmu-ilmu agama Islam yang lebih beragam. Di Masjidil Haram tempat Nawawi belajar, dia berguru kepada beberapa orang ulama besar di sana, di antaranya: Syeikh Khatib Sambas, Sayyid Ahmad Dimyathi, Ahmad Zaini, dan Syeikh Ahmad Khatib Al-Hambali.Â
Tidak puas dengan ilmu yang didapatnya di Mekah, Nawawi melanjutkan perjalanannya mencari ilmu ke tempat lain. Alasan itu pula yang nantinya akan membawa Nawawi mengunjungi beberapa negeri lain di luar Mekah, yaitu Madinah, Mesir dan Syam.
Berdakwah di Banten
Nawawi belajar ilmu agama Islam di Madinah, Mesir dan Syam selama kurang lebih tiga dasawarsa. Setelah itu, Nawawi pulang ke tanah kelahirannya di Tanara untuk menyebarluaskan ilmunya di pesantren peninggalan ayahnya serta di kalangan masyarakat Banten pada umumnya. Itu terjadi sekitar tahun 1860 M. Pada awal kepulangannya, pesantren itu dibanjiri oleh para santri dari berbagai daerah yang ingin menimba ilmu, selain juga dipengaruhi antusiasme santri terhadap kehadiran Nawawi waktu itu.
Selain mengurus pesantren, Nawawi juga sering berceramah ke berbagai desa lain di sekitar Tanara. Isi ceramah Nawawi biasanya mengajak umat Islam untuk semakin semangat dalam beribadah dan melawan kolonialisme Belanda. Konten dakwah Nawawi dipengaruhi oleh situasi zaman pada masa hidupnya, yaitu masa sedang bergejolaknya gerakan Pan-Islamisme (gerakan pembaharuan Islam) yang di bawa oleh Jamaluddin Al-Afghani dan masa penjajahan Belanda.
Kitab Marah Labid karangan Nawawi digunakan sebagai bahan ajar di banyak pesantren termasuk oleh muridnya, Hasyim Asyari yang kemudian hari menjadi ulama besar di Jawa. Kitab Marah Labid mengandung konten yang sama dengan kitab Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh, seorang reformis Islam. Dengan menggunakan Kitab Marah Labid itulah Hasyim Asyari berupaya menyebarkan semangat nasionalisme dan pembaharuan Islam di Nusantara.