Mohon tunggu...
Tary Wilujeng
Tary Wilujeng Mohon Tunggu... bukan siapa-siapa -

Hobi makan suka jajan kebiasaan ngemil cita-citanya langsing | Pemulung kata Penikmat senja Pengeja renjana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Minimnya Lagu Anak yang Bisa Digunakan dalam Pendidikan Karakter

19 April 2017   07:33 Diperbarui: 19 April 2017   16:57 2679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keluarga adalah lingkungan terdekat bagi seorang anak, terutama ayah dan ibu. Sebagai fungsinya, pendidikan karakter bisa dilakukan sejak anak dalam usia dini oleh kedua orang tuanya. Salah satunya dengan mengajarkan bernyanyi dan memperdengarkan lagu anak-anak. Namun, jika kita lihat sendiri orang tua terutama bagi seorang ibu sangat kesulitan jika diminta memutarkan lagu anak-anak. Karena lagu anak-anak pada masa sekarang sangatlah minim referensinya bahkan tidak populer. Semua lagu sepertinya hanya diciptakan hanya untuk orang dewasa. Maka sangat sering sekali terjadi anak usia SD sudah menyanyikan lagu-lagu orang dewasa bertema cinta dan roman picisan. 

Tengoklah ajang pencarian bakat untuk anak-anak, pernahkah juri ataupun penyelenggara meminta anak membawakan lagu anak-anak? Mungkin tidak pernah, padahal niat baiknya sangat positif yaitu untuk mengembangkan bakat dan keterampilan anak dalam olah vokal, tapi pada kenyataannya justru mengurangi karakter anak itu sendiri. Di mana seusia anak-anak yang seharusnya dididik disiplin, tenggang rasa, tepa selira, budi pekerti, sopan santun, cinta alam, cinta Tuhan, sayang pada binatang, sayang pada teman, saling menolong sudah dicekoki dengan hal-hal berbau roman picisan. 

Coba perhatikan di sekitar kita, jika anak-anak sedang mendengarkan lagu atau menyanyi, apa lagu yang sering mereka dengar dan nyanyikan? Pasti lagu-lagu dewasa baik lagu dalam negeri maupun luar negeri seperti Raisa, Rizky Febian, Tulus, Rihanna, Bruno Mars, Lenka bahkan sampai lagu-lagu dangdut koplo yang kita tahu sendiri bahwa terkadang liriknya bermakna jorok. Dan akibatnya adalah anak-anak menjadi dewasa sebelum waktunya. Bahkan sudah menjadi lauk-pauk kehidupan masa kini jika anak SD sudah mengerti apa itu pacaran. Miris dan sungguh sangat disayangkan. Mari kita lihat data statistik penduduk Indonesia berikut ini :

Sumber : 2016 © Databoks, Katadata Indonesia dari sumber asli BPS (Badan Pusat Statistik)
Sumber : 2016 © Databoks, Katadata Indonesia dari sumber asli BPS (Badan Pusat Statistik)
Menurut data statistik di atas bisa disimpulkan bahwa negara kita memiliki jumlah anak-anak usia 0-14 tahun lebih kurang 70 juta jiwa. Jika anak sebanyak itu sudah dewasa sebelum waktunya hanya gara-gara lagu, maka bagaimana nasib bangsa ini? Bukankah bangsa ini memerlukan bibit unggul yang memiliki karakter kuat sebagai anak bangsa untuk mewujudkan cita-cita bangsa yang termaktub dalam Pembukaan UUD’45.

Saya sendiri masih ingat, ketika saya kecil tahun 90’an. Saya dan teman-teman tidak pernah hafal dan tahu lagu-lagu orang dewasa karena pada masa itu lagu anak-anak sungguh sangat banyak dan setiap hari diputar di acara Tralala Trilili, acara yang memutarkan lagu anak-anak. Dan juga ada Cilukba, juga acara yang memutarkan lagu anak-anak. 

Setiap hari kami punya referensi lagu anak-anak baru dan hits dari dua acara televisi tersebut. Walaupun dulu belum secanggih sekarang yang tinggal membuka Youtube atau aplikasi musik lain untuk memutar lagu malah harus membeli kaset pita, namun kaset lagu anak-anak banyak sekali dijual di toko kaset. Maka dari itu saya dan teman-teman pada waktu masih anak-anak tidak mengenal apa itu cinta dan pacaran. Bahkan, pacaran adalah hal yang sangat tabu dan sensitif sekali pada masa itu. 

Berbeda dengan sekarang, ketika saya mendengar keluh kesah teman-teman saya yang sudah memiliki anak usia PAUD dan SD karena anak-anak mereka sudah berbicara mengenai “suka”, “cinta”, “pacaran” dan lebih hafal lagu Cita CitataSakitnya Tuh Disini daripada lagu anak-anak sekarang yang walaupun minim sekali tapi masih ada seperti lagu milik Romaria Malu Sama Kucing dan Naura di album Langit yang Sama.

Pernah baru-baru ini, saya diminta oleh om saya untuk mencarikan lagu anak-anak untuk anaknya yang masih SD kelas satu. Ternyata sulit sekali menemukannya dan kalaupun ada saya rasa jumlahnya tidak sebanyak sewaktu dulu. Sehingga, saya mengunduh lagu-lagu anak-anak tahun 90’an untuk sepupu saya tersebut. Dari pengalaman ini saya merasakan sendiri bagaimana sulitnya mencari referensi lagu anak.

Dengan minimnya lagu anak-anak di industri musik Indonesia, lantas bagaimana orang tua harus mengajarkan pendidikan karakter yang bisa dipelajari dari lirik lagu anak-anak?

Oleh karena itu, diperlukan tanggapan dari pemerintah untuk mendorong perkembangan musik atau lagu anak. Misalnya saat pelajaran kesenian musik saat test bernyanyi, anak harus menyanyikan lagu anak-anak bukan diperbolehkan menyanyi lagu dewasa. Pemerintah bisa juga dengan mengawasi ajang pencarian bakat anak-anak dengan memberikan ijin tayang jika memenuhi syarat yaitu saat penjurian anak-anak harus menyanyikan lagu anak-anak bukan lagu dewasa. 

Pemerintah bisa juga lewat televise milik negara, TVRI, memutarkan acara berisikan lagu anak-anak di jam-jam anak biasanya menonton televisi. Mendorong munculnya pencipta lagu anak-anak dengan awards bergengsi dalam kategori pencipta lagu anak-anak. Dan masih banyak lagi yang lainnya. Dengan demikian, peranan orang tua sebagai salah satu pilar penguat pendidikan karakter yang terdekat dengan anak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Semoga kedepannya, pemerintah bersama dengan Kemendikbud bisa bersama-sama memperhatikan perkembangan lagu anak sebagai salah satu cara membangun karakter anak bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun