Mohon tunggu...
Harry D Caspo
Harry D Caspo Mohon Tunggu... Supir - Pelaku usaha tranportasi

Hanya pelaku usaha, bukan pengamat, apalagi ahli

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Usul Permasalahan Truk ODOL Berlandaskan Situasi Lapangan

1 Maret 2022   13:12 Diperbarui: 14 November 2024   19:54 1225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Razia truk ODOL serentak di Indonesia(KEMENHUB via kompas.com)

Melihat situasi yang berkembang selama ini, permasalahan tidak akan selesai jika tidak dilakukan perundingan bersama. Masing-masing pihak tidak ada yang salah jika berpedoman pada asas tugas dan kepentingan yang bersifat subyektif. Pihak regulator tentu berlandaskan peraturan yang berlaku. Pihak transporter (sopir dan pemilik truk) berlandaskan situasi lapangan yang mereka hadapi saat ini. Pihak pemilik barang juga mempunyai pertimbangan dan alasannya sendiri (efisiensi biaya).

Karena tanpa koordinasi bersama, yang terjadi hanyalah masing-masing mempertahankan argumennya sendiri, atau dalam bahasa Jawa disebut "menange dhewe". Oleh karena itu dibutuhkan adanya koordinasi bersama dari berbagai pihak yang bisa terkait dalam bidang penyaluran barang dan jasa logistik, dan ada pengambil keputusan akhir untuk menyelesaikan masalah ini. 

Persoalan ini bisa menjadi persoalan besar negara karena berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dan pasti mempengaruhi harga jual barang, yang ujung-ujungnya masyarakat menjadi korban beban kenaikan harga. Jangan pula sampai terjadi kegaduhan yang tidak perlu, dimana dikemudian hari akan diralat kembali (atau bahkan hanya menyuburkan KKN) karena kurang masalah kurangnya koordinasi di awal penerapan.

Kami selaku transporter menyarankan adanya tim khusus untuk menggodok permasalahan ini, yang setidaknya berisi perwakilan dari: Kepolisian RI, Kementerian Perhubungan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, perwakilan organisasi pengemudi truk, perwakilan organisasi pengusaha truk, dan perwakilan dari organisasi pengusaha/pabrik pengguna jasa angkutan. Dan melaporkan hasil dari koordinasi kepada Presiden selaku penentu pengambilan keputusan negara.

Keinginan dari sisi transporter mengenai penolakan terhadap ODOL tidak berarti membiarkan Over Dimension dan Over Load yang sangat keterlaluan, seperti yang sering ditampilkan dalam video ketika truk bermuatan sangat tinggi sampai terguling, atau kejadian khusus seperti kasus kecelakaan yang sebetulnya terjadi karena human error, atau karena perubahan fungsi kendaraan yang tidak standar seperti modifikasi selang angin rem sehingga menyebabkan kecelakaan. Kami hanya ingin menemukan berapa batasan toleransi mengenai ukuran dan beban yang bisa dibawa oleh masing-masing jenis truk.

Mengenai Over Dimensi:

Untuk overdimensi yang keterlaluan, misal panjang bak melebihi 50 cm untuk belakang, bisa diminimalisir ketika perpanjangan KIR Kendaraan. Jadi semestinya tidak ada masalah berarti di sini.

Yang diinginkan dari transporter, adalah dispensasi/toleransi dari SRUT masing-masing kendaraan, seperti yang sudah pernah tertuang pada surat edaran Dirjen Hubdat: SE.2/AJ.307/DRDJ/2018.

Namun penerapan dilapangan berbeda-beda, terkadang penguji berpatokan hanya pada ukuran yang tercantum pada SRUT, atau PP 55 Tahun 2012 Tentang Kendaraan.

Mengenai toleransi ukuran juga perlu dibicarakan kembali bersama dengan pelaku dan pengguna transportasi, berapa toleransi yang sebenarnya dibutuhkan.

Sebagai contoh: Untuk truk tronton 3 sumbu roda, ukuran pada SRUT ditentukan max 250 cm, jika untuk muatan triplek dimana lebar 1 lembar triplek 120 cm, jika + palet/landasan triplek berarti 1 tumpuk lebar keseluruhan 130 cm.

Untuk bisa menampung 2 baris palet, maka toleransi lebar kendaraan membutuhkan 260 cm supaya triplek bisa dimuat berjajar. Jadi persoalannya jika bisa dibicarakan mungkin hanya pada kisaran dibawah 10 cm.

Mengenai Over Load:

Jika masing-masing pihak mengambil pedoman yang berbeda dalam menentukan berapa beban yang boleh dibawa, maka tidak akan terjadi titik temu.

Dari penegak hukum tentu mengacu kepada undang-undang yang berlaku.

Dari sopir dan pemilik truk mengacu kepada permintaan konsumen, dari pabrik mengacu kepada ongkos angkut yang se-efisien mungkin. Ujung-ujungnya yang bisa terjadi adalah siapa yang bisa main kucing-kucingan atau nekat yang akan menang, tentunya hal ini menjadikan suasana persaingan tidak sehat.

Menurut penegak hukum (Dishub, BPTD, Kepolisian): Mengacu kepada PP No 55 tahun 2012, dimana diatur pula mengenai JBI (Berat kendaraan + Berat Muatan) sesuai aturan yang telah diundangkan.

Dari pemilik barang/pabrik : ditengah lesu nya dunia usaha di masa pandemi covid saat ini, tentunya semua pihak merasakan dampaknya. Terlebih jika harga jual produk mereka harus naik karena kenaikan biaya transportasi, oleh karena itu perlu juga pembahasan dengan pemilik barang/pabrik.

Menurut pelaku transportasi/transporter: Aturan mengenai JBI ini jika diterapkan secara umum tanpa mempertimbangkan jenis muatan yang diangkut, hanya bisa muat rata-rata sepertiga dari total muatan mereka selama ini.

Sementara tarif/ongkos angkut tidak mungkin bisa sama dengan sebelumnya (pasti turun), dan jika penurunan tonase muatan tersebut berpengaruh pada harga apalagi jika sampai sepertiga sebelumnya, maka tidak akan mencukupi biaya operasional (ilustrasi perhitungan ada di artikel kompasiana saya sebelumnya).

Sekali lagi, ini bukan soal keinginan mendapat laba besar dari transporter, kami tentu akan sangat mendukung jika bisa diterapkan secara merata secara nasional muatan tidak melebihi JBI tapi ongkos angkut tetap, tapi apakah mungkin hal itu terjadi? Atau penerapan ini bisa diuji-coba terlebih dahulu kepada perusahaan angkutan yang merupakan anak perusahaan dibawah BUMN, jadi supaya tergambar bagaimana kemungkinan yang terjadi dengan penerapan aturan ini.

Pembatasan tonase akan tentunya akan mengakibatkan penambahan kebutuhan bio solar, yang mana di tahun 2021 kemarin saja sudah kehabisan kuota sebelum akhir tahun.

Kebijakan ini tentunya akan menambah beban subsidi BBM karena kebutuhan bisa naik 3 kali lipat. Oleh karena itu perlu juga mengundang Kementerian ESDM & BP Migas.

Muatan yang lebih ringan, akan memicu kendaraan berjalan lebih cepat, yang artinya kemungkinan kecelakaan yang terjadi bukan disebabkan beban muatan berlebih (rem blong) berpotensi ada kenaikan, perlu dipertimbangkan dengan teliti berdasarkan data. Lebih banyak kasus kecelakaan karena rem blong/over tonase ataukah karena ngebut.

Seringkali kita dituduh sebagai perusak jalan senilai kurang lebih Rp 43 Trilliun, apakah sudah ada penelitian yang menyeluruh, kerusakan jalan tersebut semata-mata akibat ODOL atau bisa jadi dari kualitas pengerjaan yang di korupsi?

Seperti yang banyak disuarakan pada demo kemarin dan pernyataan beberapa organisasi ekspedisi, bahwa bukannya kami pelaku transportasi yang ingin muatan berlebihan untuk mendapat hasil berlebih.

Tapi situasi yang terjadi di lapangan dan situasi lah yang menyebabkan kami mau tidak mau, suka tidak suka, muat over dimension dan over load.

Oleh karena itu, dalam artikel ini saya menyarankan, marilah kita semua pihak duduk bersama karena persoalan ini bukan hanya urusan perut atau keuntungan masing-masing pihak, tapi dapat berimbas kepada perekonomian Nasional.

***

Harry D' Caspo

#BukanAhliTransportasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun