Tidak salah menyatakan orang hebat adalah orang yang berpikir unik dan nekat. Mereka dikatakan genius, specialis dan kadang menjadi musuh banyak orang. Para filsuf kuno seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, Archimedes, Phitagoras, Hipokrates, selalu dikenang dan nama mereka tidak mungkin dihapus dari handbook dan buku kuliah para sarjana. Siapa yang menghapus nama mereka, orang itu biadap dan tidak tahu diri. Begitu cemerlang mereka karena mereka adalah orang-orang yang memikirkan bahwa mereka bukan berpikir untuk diri sendiri. Inilah orang genius.
Orang Nakal dan Sains : Berkat dan Masalah
Galileo sang ayah sains modern tidak gampang melawan cara berpikir kebanyakan orang yang diwakili oleh Gereja pada jamannya, mengubah pandangan geosentris menjadi heleonesentris. Meskipun, konsekuensi logis dari perubahan paradigma ini dirasakan sekarang yaitu bencana ekologi. Bumi yang diberi makna rohani sebagai pusat kehidupan disirnakan oleh hipotesa ilmiah Galileo. Dalam kaca mata sains, Galileo adalah benar.Namun ketika bumi tidak menjadi pusat, akibatnya, lihatlah bencana ekologi sekarang, hutan-hutan rusak. Tetapi Galileo adalah pejuang sains dan dia genius.
Revolusi ilmiah yang dicetuskan oleh Copernicus dan Galileo ini menjadi lebih radikal ditangan Newton. Fisika Newton lebih dingin dan frigit. Ia menyatakan bumi adalah jam dinding. Kita bisa menguasai alam ini dengan rumusan-rumusan matematis diatas kertas. Hebat, kan? Hem, orang Indonesia,lagi ngapain waktu itu? Tetapi kita mempunyai candiborubudur, arsitek yang hebat.
Menurut Newton lagi, Tuhan mencipta bumi seperti tukang jam mencipta jam dinding, setelah diciptakan, ia pergi. Bukan hanya melawan para teolog, tetapi paradigma Newton ialah bahwa bumi adalah benda mati dan siap diperkosa, diperlakukan semena-mena oleh manusia. Hanya jam dinding, kok! Sejak perubahan radikal dalam ilmu pengetahuan, abad pencerahan, perkembangan industri manusia berkembang significant. Sekelompok orang (borjuis) menjadi primadona ekonomi. Nah, kalau ekonominya maju, biasanya orang seperti itu mengingini pendidikan yang bagus pula. Maka, perkembangan iptek moncer, hingga terciptalah mesin-mesin ekonomi dan mesin-mesin pembunuh.
Mesin pembunuh diciptakan oleh kekuasaan demi rasa nyaman dan kehormatan. Kehormatan sosial tradisional berdasarkan tuan tanah dan adat istiadat diganti dengan kehormatan karena uang dan pendidikan. Demi keselamatan ekonomi dan kenyamanan, maka self mechanism defend (pertahanan diri) mesti ada. Libido-libodo ekonomi dan kekuasaan beriringan, hingga pecahlah konflik. Nazi, fasis, Pol Poth, Komunisme, genosida diberbagai negara lahir dari penyembahan terhadap prestasi nalar manusia. Hemm, sampai hari ini, ada yang tahu, berapa anggaran-anggaran masing-masing negara di dunia ini untuk arsenal kemiliteran? Negara-negara menganggarkan banyak uang untuk membeli senjata pembunuh manusia dari pada untuk pendidikan dan perumahan orang miskin. Sampai disini, kita sedikit harus termenung bahwa budaya kematian yang diinginkan oleh manusia.
Einstain menemukan teori relativisme hingga merumuskan kecepatan cahaya dan rumusan fisikanya hanya berdasarkan intuisi. Gila, E=mc². Teorinya sangat berguna bagi perkembangan dirgantara dan astronomi. Perkembangan-perkembangan itu ditopang oleh nuklir. Hirosima dan Nagasakipun harus menelan pihit kedigdayaan nalar ini. Ya, pembunuhan massal, bom nuklir dan hidrogen menjadi tantangan besar bagi manusia. Maka, hanya dengan memaafkan negara yang telah menggunakan nuklir pada perang-perang sebelumnya dan melarang jangan sampai menggunakan nuklir untuk kejahatan dan perang dewasa ini. Itu sebabnya, saya juga ikut mengutuki Korea Utara yang lebih suka membangun nuklir daripada mensejahterakan rakyatnya.
Sekarang, pada abad kita, teknologi informasi dan robot menguasai dunia. Penulis sendiri adalah orang bodoh berhadapan dengan alat-alat canggih ini. Kadang menyesal juga, kenapa tidak ikut bermain dalam kemajuan seperti itu. Haha, nasip apes anak kampung. Yang penting nasi cukup dan tidur tenang. Ya, teknologi tidak hanya diciptakan oleh manusia, kini kebalikannya, pengaruh teknologi cendrung mendehumanisasikan manusia. Saya pernah melihat orang canti sangat marah, padahal ia sendirian ditepi jalan, dengan telpon ditangannya. Ia berteriak pada benda bodoh itu. Tetapi, teknologi informasi cukup banyak memberikan keuntungan dan tepat guna menurut perhitungan ekonomis.
Efisensi dan efektif, itulah kata yang selalu dipakai. Namun, manusia teknos tercipta, egois dan autis. Anak-anak dihibur dengan game. Para mahasiswa dari plosok bisa menghabiskan siang dan malam dengan joy stick di rumah game. Inilah jaman edan, mama minta pulsa, dan penipuan-penipuan terjadi lewat teknologi. Seorang biarawati, diceritakan ia sangat gembira karena ia mendapat sms bahwa ia mendapat bonus mobil, tetapi dengan syarat ia harus kirim 10 juta ke nomor itu. Sempat tergoda, untung saja ada yang menasehatinya untuk menolak bonus itu. Haha, teater kehidupan baru tercipta. Kadang tertawa dan lucu, ngeri juga menangis dan sakit hati oleh ulah-ulah dari korban-korban tak berdaya dari teknologi.
Kalau dideretkan tokoh-tokoh yang berprestasi dibidang sains akan sangat banyak. Tulisan ini bukan untuk memuja mereka. Prestasi nalar melalui kemajuan-kemajuan teknologi dan ilmu semacam itu, sampai saat ini, 3/4 penduduk dunia adalah orang miskin. Coba dibayangkan, antara kemajuan teknologi dan kemiskinan tidak mempunyai titik temu. Sesuatu yang melenceng dari apa yang dipikirkan oleh para kreator-kreator sains.
Orang-orang Nakal di Bidang Ekonomi dan Sosial
Karl Marx mengecam para filsuf bahwa filsafat hanya “omong doang” tetapi tidak mengubah dunia. Namun ia menulis manifestonya dengan uraian filsafat tingkat tinggi, dan menjadi asupan gisi bagi filsafat sosial. Bagi Marx konflik adalah duri dalam daging demi terciptanya kemajuan bersama. Jangan pernah senang dengan situasi nyaman. Tetapi bukan tukang kritik yang tong kosong nyaring bunyinya.
Karl Marx adalah orang hebat yang memikirkan banyak orang dan berpihak pada mereka yang termarginalisasi. Karena gerah akan situasi kemiskinan dan penindasan oleh kaum kapitalis, ia mulai menelusuri sejarah sampai ke taman eden, padang pertama dimana manusia jatuh. Ia menyatakan secara alamiah, jiwa kehidupan adalah materialisme. Bukankah kamu mencari uang dengan berpeluh-peluh?
Sayangnya, kaum Marxian, para penafsirnya terlalu naif mengkonkretkan filsafat ekonomi utopis marx ini. Stalin dan Mao adalah praktisi Marxisme, tetapi mereka tidak menjalan doktrinnya melainkan memanfaatkan gagasaannya sebagai idiologi dan kekuasaan. Duniapun mencatat sejarah pergolakan yang hebat, sampai hari ini, yaitu perang idiologi, kanan dan kiri, demokrasi-komunis. Di Indonesia, tanpa tahu menahu, akibat dari bau-bau komunisme, jutaan orang tak bersalah mati. Sayangnya, terlalu enteng dan tanpa merasa bersalah melupakan kekelaman ini.
Demikian juga para genius sastra berjuang untuk membaskan manusia dari keterbelengguan sosial dari idiologi-idiologi yang tidak memihak kemanusian. Saya angkat topi pada sastrawan karena mereka terus menggonggong situasi yang tidak nyaman, situasi ketidakadilan, kemiskinan dan membuat manusia (pembacanya) harus merenung kehidupan ini. Para sastrawan adalah nabi.
Di bidang ekonomi, saya mengambil dua nama ini, Muhhamad Yunus dari India, peraih nobel ekonomi. Ia mengembangkan bisnis sosial, bank rakyat. Yaitu Bank nirlaba yang membantu orang-orang miskin. Joseph Stiglitz juga berani mengkritik IMF karena membelunggu negara-negara berkembang. Masih banyak yang lain.
Di Indonesia, adakah anak bangsa yang seperti mereka? Dalam kelompok kecil mungkin ada. Tetapi, saya sedikit menaruh harapan pada beberapa tokoh ini Jokowi dan Ahok. Pendekatan Jokowi dari perut ke otak. Artinya pembangunan fisik, infrastuktur didahulukan lalu nanti diikuti oleh pembangunan manusianya dalam bidang pendidikan. Semoga tidak salah jalan ya Pak Presiden.
Pak Ahok, ia mempunyai tanda-tanda itu. Ia berani menolak partai, dan ini sesuatu “kenakalan” yang positif dibidang politik, sebab untuk melawan korupsi adalah jangan mau mengawini sistem korup, bayar dulu kalau mau nyapres, nyagub, nyabub, dsbnya. Saya berharap orang-orang ini diganjar dengan Nobel Prize. Dari 250 juta penduduk Indonesia, masa belum ada yang mendapat itu? Hahaha. Tetapi kalaupun pengakuan seperti itu tidak digapai, sekurang-kurangnya, mereka diingat sebagai pemutus jalur-jalur dari generasi tikus ke generasi anti tikus. Generasi korupsi ke generasi anti korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H