Karl Marx mengecam para filsuf bahwa filsafat hanya “omong doang” tetapi tidak mengubah dunia. Namun ia menulis manifestonya dengan uraian filsafat tingkat tinggi, dan menjadi asupan gisi bagi filsafat sosial. Bagi Marx konflik adalah duri dalam daging demi terciptanya kemajuan bersama. Jangan pernah senang dengan situasi nyaman. Tetapi bukan tukang kritik yang tong kosong nyaring bunyinya.
Karl Marx adalah orang hebat yang memikirkan banyak orang dan berpihak pada mereka yang termarginalisasi. Karena gerah akan situasi kemiskinan dan penindasan oleh kaum kapitalis, ia mulai menelusuri sejarah sampai ke taman eden, padang pertama dimana manusia jatuh. Ia menyatakan secara alamiah, jiwa kehidupan adalah materialisme. Bukankah kamu mencari uang dengan berpeluh-peluh?
Sayangnya, kaum Marxian, para penafsirnya terlalu naif mengkonkretkan filsafat ekonomi utopis marx ini. Stalin dan Mao adalah praktisi Marxisme, tetapi mereka tidak menjalan doktrinnya melainkan memanfaatkan gagasaannya sebagai idiologi dan kekuasaan. Duniapun mencatat sejarah pergolakan yang hebat, sampai hari ini, yaitu perang idiologi, kanan dan kiri, demokrasi-komunis. Di Indonesia, tanpa tahu menahu, akibat dari bau-bau komunisme, jutaan orang tak bersalah mati. Sayangnya, terlalu enteng dan tanpa merasa bersalah melupakan kekelaman ini.
Demikian juga para genius sastra berjuang untuk membaskan manusia dari keterbelengguan sosial dari idiologi-idiologi yang tidak memihak kemanusian. Saya angkat topi pada sastrawan karena mereka terus menggonggong situasi yang tidak nyaman, situasi ketidakadilan, kemiskinan dan membuat manusia (pembacanya) harus merenung kehidupan ini. Para sastrawan adalah nabi.
Di bidang ekonomi, saya mengambil dua nama ini, Muhhamad Yunus dari India, peraih nobel ekonomi. Ia mengembangkan bisnis sosial, bank rakyat. Yaitu Bank nirlaba yang membantu orang-orang miskin. Joseph Stiglitz juga berani mengkritik IMF karena membelunggu negara-negara berkembang. Masih banyak yang lain.
Di Indonesia, adakah anak bangsa yang seperti mereka? Dalam kelompok kecil mungkin ada. Tetapi, saya sedikit menaruh harapan pada beberapa tokoh ini Jokowi dan Ahok. Pendekatan Jokowi dari perut ke otak. Artinya pembangunan fisik, infrastuktur didahulukan lalu nanti diikuti oleh pembangunan manusianya dalam bidang pendidikan. Semoga tidak salah jalan ya Pak Presiden.
Pak Ahok, ia mempunyai tanda-tanda itu. Ia berani menolak partai, dan ini sesuatu “kenakalan” yang positif dibidang politik, sebab untuk melawan korupsi adalah jangan mau mengawini sistem korup, bayar dulu kalau mau nyapres, nyagub, nyabub, dsbnya. Saya berharap orang-orang ini diganjar dengan Nobel Prize. Dari 250 juta penduduk Indonesia, masa belum ada yang mendapat itu? Hahaha. Tetapi kalaupun pengakuan seperti itu tidak digapai, sekurang-kurangnya, mereka diingat sebagai pemutus jalur-jalur dari generasi tikus ke generasi anti tikus. Generasi korupsi ke generasi anti korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H