Ketika kebijakan ini diterapkan dan diterjemahkan justru kurang bijak oleh sebagian besar masyarakat memberikan efek yang besar bagi kehidupan sosial warga negara Indonesia. Rasa takut akan penyebaran virus menjadikan warga mengurangi interaksi antar individu.
Pada awalnya ini merupakan persoalan sepele dimana kita diminta untuk tidak berinteraksi dengan orang lain jika memang tidak ada keperluan mendesak.
Namun kemudian menjadi masalah besar ketika pembatasan diri ini menjadi rasa individual besar besaran yang melahirkan suatu nilai dan norma yang cenderung keliru, dimana warga menjauhkan diri dari individu yang terduga terinfeksi dan yang terparah adalah mengucilkan, seolah pasien adalah seorang penderita penyakit kutukan.
Kondisi ini diperparah dengan kesalahpahaman warga indonesia dalam mencerna dan menyampaikan informasi, apalagi di era milenial seperti sekarang ini dimana informasi dengan cepat menyebar. Masih banyak warga belum siap denga cepatnya penyebaran info, mereka cenderung mudah menerima informasi bulat-bulat tanpa menyaring dan segera menyebarluaskan berita yang bahkan belum tentu benar ditambah persepsi mereka sendiri.
Penggunaan media sosial sebagai media informasi yang serba cepat menjadi pedang bermata dua yang justru dapat memperparah keadaan. Ketakutan yang berlebihan menjadikan warga sebagai makhluk individu yang tak mengindahkan kemanusiaan. Banyak pasien terasing dan menjadi semakin parah keadaanya.
Dan tak terhitung banyaknya jenazah yang ditolak dikuburkan diwilayahnya sendiri karena takut menularkan virus. Tentu ini suatu keadaan yang memprihatinkan ditengah masyarakat indonesia yang beradab dan mayoritas muslim, dimana islam seharusnya menjunjung tinggi kemanusiaan dan justru di ingkari oleh pemeluknya.
Santri sebagai generasi muda yang berpendidikan moral dan religius yang tinggi harus mampu menjadi pembawa pesan dan penjaga ukhuwah ditengah kondisi masyarakat yang seperti ini. Tentunya sesuai dengan arahan dari pemerintah dan utamanya guru dan kyai. Ketika memang santri telah berada di masyarakat harus mampu bersikap tenang dan menjadi penenang ditengah kegaduhan masyarakat. Santri harus mampu menerjemahkan arahan pemerintah dan menerapkan kebijakan tanpa merusak tatanan kehidupan bermasyakat yang beradab dan berkemanusiaan.
Sebagai contah ringan, sebagaimana kita ketahui deterapkanya Sosial Distancing salah satunya berakibat dihentikanya kegiatan keagamaan berjamaah baik itu idi masjid maupun ditempat umum. Tentu bagi masyarakat awam pemberhentian kegiatan ini menjadikan ketakutan, dimana kebiasaan religius mereka tiba tiba dilarang. Banyak pertanyaan dan persepsi yang muncul dan mengakibatkan kepanikan. Sholat jamaah dibatasi, shholat jum'at ditiadakan, begitupun pengajian dan tahlilan. ini tentu meresahkan masyarakat awam yang cenderung religius.
Disinilah peran santri diperlukan. Menyampaikan opini berdasakan syariat mengenai kebijakan pemerintah kepada aparatur desa misalnya, untuk kemudian pihak desa mengeluarkan kebijakan lokal bagi warga desanya. Dan santri harus turut serta mensosialisasikan pada masyarakat.Ini merupakan langkah kecil yang berakibat sangat besar.
Ketika sebuah kebijakan diterapkan tanpa dicerna terlebih dahulu tentu berakibat panjang. Jika diterapkan di daerah yang memang telah ditetapkan sebagai zona merah kebijakan ini sangat efektif dan harus di taati. Tapi di daerah yang jauh dari zona merah lain lagi akibatnya. Penerapan harus disesuaikan dengan kondisi wilayah. Santri sebagai intelektual di tengah masyarakat harus mampu memberikan solusinya.
Lain keadaanya dengan santri yang masih berada di pondok pesantren. Beberapa bulan terakhir banyak pesantren yang memulangkan santrinya untuk mentaati anjuran pemerintah dalam upaya mencegah penyebaran virus. Bahkan sebagian pondok pesantren di Indonesia memulangkan santrinya lebih awal dua minggu dari jadwal semula akibat meluasnya wabah virus covid-19. Namun tetap ada pondok pesantren yang memilih untuk tidak memulangkan santrinya dengan beberapa alasan.