“di sana bu, di bukit yang banyak pohon dan kupu-kupu, dan kumbang, dan masih banyak lagi pokoknya” jawab Taty bersemangat
Si ibu bingung dengan cerita Taty namun dipaksanya tersenyum dan mengajak Taty untuk beristirahat sebentar lagi. Diatas pembaringannya Taty dengan wajah polos tertidur sambil tersenyum.
***
Entah berapa lama Taty tertidur, begitu bangun hari sudah menjelang siang dengan kebisingan di luar bak kota besar yang padat penduduk dengan beragam aktivitas. Masih dalam kondisi setengah sadar Taty memandang sekeliling kamar tidurnya semua yang ia lihat terasa asing, dikucak matanya berkali-kali untuk memastikan seisi kamarnya namun kamar tersebut tetap dengan gambaran seperti pertama kali ia membuka mata tadi. Kamar yang dibangun dari kayu dengan ukiran indah dengan bentuk dinding yang tak lurus dan juga tak berbentuk persegi layaknya kamar pada umumnya, seluruh perabotannya juga terbuat dari kayu tentu saja tempat ia tidur juga termasuk. “Ma…,Pa… kita dimana? Kok kamar Taty aneh?” teriak Taty sambil berlari keluar kamarnya. Ia sudah melupakan kejadian lalu yang menimpa dirinya dan membawanya ke rumah itu.
Terkejut begitu membuka kamar tidur, ruangan dengan bentuk melengkung dimana langit-langitnya berbentuk parabola dengan dekorasi ruangan yang tak kalah aneh menurut pandangannya. Di salah satu ruangan tampak seorang wanita tengah menyiapkan makanan ditemani dua anaknya yang menanti sambil duduk di bangku yang terbuat dari dahan pohon yang ditebang dengan meja makan yang juga terbuat dari pohon.
“ayo sarapan Taty” ajak sang ibu
“mama sama papa Taty di mana? Ini di mana?” Tanya Taty penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.
“makan saja dulu, nanti kita sama-sama cari orang tua Taty” jawab sang ibu tenang dengan senyum yang mengemban dia membantu Taty duduk di salah satu bangku kosong dan meletakkan sepiring makanan yang berisi olahan sayur-sayuran.
Tanpa pikir panjang Taty yang memang mulai lapar melahap semua makan yang terlihat menarik itu, sambil sesekali memperhatikan tiga orang disekelilingnya itu. “Ada yang aneh” batinnya, “telinga mereka kok tidak sama dengan punya Taty?” masih tetap melanjutkan makan matanya tertuju pada si bungsu yang berlari meninggalkan meja makan, tampak sesuatu yang aneh mengepak-ngepak dibagian bokongnya “itu ekor kan? Kok dia bisa punya ekor?” batinnya msih terus bergejolak untuk bertanya secara langsung namun takut untuk mengutarakannya.
Seusai makan sang ibu ditemani putri sulungnya yang bernama Trisna mengajak Taty mengelilingi kota dengan tujuan mencari rumah dan orang tuanya namun malang dikata, tak satupun rumah yang dari luar tampak menyerupai jamur payung yang besar itu adalah rumahnya. Mereka kembali kerumah Trisna dengan tangan perasaan hampa. Disisi lain, Taty mulai merindukan kedua orang tuanya. Bayangan ketika dia bersama kedua orang tuanya silih berganti dalam kepalanya, hingga ingatan terakhirnya ketika mereka sedang santai makan dibawah sebuah pohon yang besar didaerah pegunungan.
Entah karena sangat merindukan atau sekedar memberi informasi, Taty mulai menceritakan tentang perjalanan kepuncak gunung bersama keluarganya kepada Trisna. Dengan sedikit informasi itu, Trisna mengajak Taty ke sebuah tempat yang terletak diujung jalan, tampak dari jauh dibalik lorong itu hanya warna putih, semakin dekat warna itu berubah menjadi cahaya yang sangat menyilaukan mata hingga memaksa mereka menggunakan tangan untuk menghalangi silau cahaya itu.