Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Aparatur Negara Takut Jumpa Rakyat, Sebaiknya Dipecat

3 Maret 2022   21:14 Diperbarui: 3 Maret 2022   21:29 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Era kepemimpinan negara saat ini sedang dalam ranah terbuka (transparan) dalam semua bidang pelayanan publik. Rakyat tidak perlu lagi sungkam dalam menghadapi aparatur pemerintahan sebagaimana masa lalu. Sesungguhnya rakyat harus dilayani dengan sebaik-baiknya dalam mengurus berbagai kepentingannya dengan pemerintah. Karena pemerintah dan rakyat dalam negara yang konstitusinya demokratis seharusnya tidak perlu saling menutupi dan memberatkan. Tidak ada pendapatan yang halal jika hubungan rakyat dan pemerintah dibangun birokrasi yang hanya memberatkan rakyat.  Karena pada prinsipnya pemerintah adalah pelayan publik,  jika hal ini masih belum bisa dipenuhi maka pemerintah tidak mampu melakukan tugasnya dengan baik.

Aparatur negara (PNS) dalam pelayanan rakyat perlu menjauhkan sikap arogan, primordialis,  kapitalis dan menjadikan jabatan pemerintah sebagai alat untuk pressure anggota masyarakat dalam berurusan dengannya. Jika kita menemukan hal semacam ini maka mereka (PNS) tersebut adalah perusak pemerintahan di Republik ini. Demikian juga pejabat politis dalam pemerintahan yang menghambat pelayanan kepada rakyat adalah sebagai perusak negara.

Terkadang kita masih menemukan sikap aparatur negara dimana ketika tidak memiliki jabatan mereka bergaul dengan masyarakat tapi begitu punya jabatan merekapun menghilang ditengah pergaulan dengan rakyat dengan berbagai dalih. Sebenarnya aparatur pemerintah dalam katagori penilaian mereka dalam kenaikan jabatan harus berorientasi pada kemampuan mereka melayani. Yang paling cakap diantara merekalah yang harus ditempatkan sebagai atasan bukan soal kemampuan intelektual dan faktor lain.

Faktor intelektual memang dibutuhkan tetapi bukan pada urutan nomor satu karena fungsi dan tugas mereka lebih berorientasi pada pelayanan rakyat secara terbuka. Kapasitas inteletual pada negara yang demokratis seperti Indonesia sesungguhnya dibutuhkan pada level pimpinan mereka yang diangkat dan dipilih langsung oleh rakyat secara politis.

Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat pelayanan pemerintah terhadap anak-anak, study (anak sekolahan), mahasiswa dianggap sangat urgen karena mereka mendidik generasi bangsanya. Bukan soalan bisnis yang diutamakan meskipun atau beranggapan bahwa kantor pemerintah seperti kementerian atau dinas di daerah provinsi, kabupaten/kota, hanya sebagai pekerjaan orang gedean saja,  dimana anak-anak tidak boleh mengganggu. Mereka terkesan eksklusif congkak minta ampun. Padahal mereka adalah abdi negara yang harus melayani semua lapisan masyarakat. Jika berprilaku bertentangan dengan semangat transparansi publik maka sewajarnya di pecat dari pekerjaan pada pemerintah tersebut.

Lalu, kepala pemerintahan yang mereka dipilih untuk jabatan politis, kan tidak bisa dipecat? Berarti anggota masyarakat harus melaporkan mereka kepada stakeholder pengawas yang berwenang. Kemudian juga harus memberitahukan kepada publik sehingga mereka diberi catatan oleh rakyat sebagai pemimpin pemerintah yang korup dan tidak becus melayani rakyatnya. Hal ini menjadi referensi bagi rakyat untuk tidak mendukungnya lagi dimasa pemilihan berikutnya.

Oleh karena itu maka suatu pemerintahan harus diawali dengan transparansinya suatu pengawasan pelayanan publik agar rakyat tidak mengalami hambatan dalam berpartisipasi dalam pembangunannya.

Menjadi aneh, suatu pemerintah bertugas dan berfungsi melakukan pembangunan untuk rakyat sementara rakyat bertemu saja sulit dengan pelaku pelayanan publik. Lalu pertayaaannya untuk siapa mereka bekerja dan melakukan pembangunan yang diperintahkan atas nama negara kepada mereka?

Tentunya bukan untuk hantu, jika tidak, maka tolong carikan jawaban lain selain untuk rakyat. Kalau pelayanan minus maka logikanya aparatur pemerintah melakukan pembangunan untuk dirinya sendiri. Itulah yang disebut mentalitasnya korup, mereka arogan karena memanfaatkan dinas pemerintah untuk kepentingan mereka sendiri.

Padahal jabatan semisal gubernur,  bupati,  walikota dan para wakilnya,  jabatan kepala dinas dan lain-lain adalah murni sebagai  pelayan publik karena mereka diberi upah oleh rakyat melalui negara dengan segala macam pajak yang dibebankan oleh pemerintah kepada rakyat termasuk untuk menggaji mereka aparatur pemerintahan.

Pertanyaannya, kenapa aparatur pemerintahan congkak dan sombong pada rakyat? Tentunya karena kekuasaan yang mereka miliki atas fasilitas negara. Terutama dalam kehidupan rakyat di negara sebagaimana negara kita. Bagaimana di negara maju? Misalnya di Denmark? Jelas berbeda mentalitas aparatur pemerintahannya dengan aparatur di negeri ini. Mereka hidupnya memberi pelayanan maksimal untuk rakyat sementara di negeri kita justru rakyat yang memberi layanan kepada pejabat. Jika tidak berbalik demikian maka sudah pasti pelayanan minus.

Rakyat menjadi miskin bisa juga disebabkan oleh faktor kepala daerah yang tidak becus melaksanakan tugas. Misalnya seorang mahasiswa yang memiliki tugas mewawancara kepala daerah tentang kebijakannya untuk materi skripsinya. Tapi untuk bertemu kepala daerah butuh waktu yang lama karena kepala daerah tidak mau bertemu dengan alasan kegiatannya penuh. Sehingga si mahasiswa harus membayar SPP nya lagi karena sudah masuk semester baru kuliahnya akibat tidak dapat data wawancara nara sumbernya. Orang tua siswa yang hidupnya sederhana itupun harus mengeluarkan uang untuk kebutuhan yang seharusnya tidak perlu lagi. Memang tidak banyak kasus yang sama persis seperti ini tetapi kasus yang sejenis yang merugikan masyarakat sangat banyak bahkan sampai mengakibatkan mereka putus kuliahnya.

Sekarang mari kita lihat anggaran negara untuk pemeliharaan mereka setiap tahun dan biaya pembangunan rakyat.

Belanja pambangunan rakyat dalam APBN dan APBD semua daerah di Indonesia sebahagian besar 30 persen berbanding 70 persen untuk pembiayaan rutinitas aparatur negara dan kelengkapannya. Memang bukan tidak ada yang 40 persen berbanding 60 persen tetapi itupun langka, mungkin hanya bisa dihitung dengan jari di seluruh Indonesia.

Kalau demikian logikanya maka dapat dipastikan bahwa partisipasi rakyat dalam pembangunan hanya bisa dilakukan oleh lapisan masyarakat berstatus pegawai negeri level bawahan dan pegawai negeri kontrakan. Sementara masyarakat biasa akan sulit memperoleh peluang untuk berpartisipasi dalam pembangunan di negeri ini. Peluang yang sempit ini juga hanya bisa dilakukan oleh anggota masyarakat yang memiliki keahlian dibidangnya.

Misalnya kontraktor dalam mengerjakan proyek-proyek pembangunan. Masih mendingan di masa Orde Baru yang bisa menempatkan penyuluh ditengah masyarakat untuk membimbing secara langsung masyarakat. Sementara saat ini aparatur negara berorientaai pada mendapatkan tambahan pendapatannya dalam semua aktivitasnya.

Karena begitu besar beban negara dalam memelihara kerja aparatur negara (birokrasi) di negara kita maka seharusnya mereka disiplin, peduli rakyat dan memahami dan cakap masalah rakyat. Jika tidak memenuhi standar tersebut alangkah baiknya mereka dipecat karena tidak dapat dikatagorikan sebagai abdi negara.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun