Pertanyaannya, kenapa aparatur pemerintahan congkak dan sombong pada rakyat? Tentunya karena kekuasaan yang mereka miliki atas fasilitas negara. Terutama dalam kehidupan rakyat di negara sebagaimana negara kita. Bagaimana di negara maju? Misalnya di Denmark? Jelas berbeda mentalitas aparatur pemerintahannya dengan aparatur di negeri ini. Mereka hidupnya memberi pelayanan maksimal untuk rakyat sementara di negeri kita justru rakyat yang memberi layanan kepada pejabat. Jika tidak berbalik demikian maka sudah pasti pelayanan minus.
Rakyat menjadi miskin bisa juga disebabkan oleh faktor kepala daerah yang tidak becus melaksanakan tugas. Misalnya seorang mahasiswa yang memiliki tugas mewawancara kepala daerah tentang kebijakannya untuk materi skripsinya. Tapi untuk bertemu kepala daerah butuh waktu yang lama karena kepala daerah tidak mau bertemu dengan alasan kegiatannya penuh. Sehingga si mahasiswa harus membayar SPP nya lagi karena sudah masuk semester baru kuliahnya akibat tidak dapat data wawancara nara sumbernya. Orang tua siswa yang hidupnya sederhana itupun harus mengeluarkan uang untuk kebutuhan yang seharusnya tidak perlu lagi. Memang tidak banyak kasus yang sama persis seperti ini tetapi kasus yang sejenis yang merugikan masyarakat sangat banyak bahkan sampai mengakibatkan mereka putus kuliahnya.
Sekarang mari kita lihat anggaran negara untuk pemeliharaan mereka setiap tahun dan biaya pembangunan rakyat.
Belanja pambangunan rakyat dalam APBN dan APBD semua daerah di Indonesia sebahagian besar 30 persen berbanding 70 persen untuk pembiayaan rutinitas aparatur negara dan kelengkapannya. Memang bukan tidak ada yang 40 persen berbanding 60 persen tetapi itupun langka, mungkin hanya bisa dihitung dengan jari di seluruh Indonesia.
Kalau demikian logikanya maka dapat dipastikan bahwa partisipasi rakyat dalam pembangunan hanya bisa dilakukan oleh lapisan masyarakat berstatus pegawai negeri level bawahan dan pegawai negeri kontrakan. Sementara masyarakat biasa akan sulit memperoleh peluang untuk berpartisipasi dalam pembangunan di negeri ini. Peluang yang sempit ini juga hanya bisa dilakukan oleh anggota masyarakat yang memiliki keahlian dibidangnya.
Misalnya kontraktor dalam mengerjakan proyek-proyek pembangunan. Masih mendingan di masa Orde Baru yang bisa menempatkan penyuluh ditengah masyarakat untuk membimbing secara langsung masyarakat. Sementara saat ini aparatur negara berorientaai pada mendapatkan tambahan pendapatannya dalam semua aktivitasnya.
Karena begitu besar beban negara dalam memelihara kerja aparatur negara (birokrasi) di negara kita maka seharusnya mereka disiplin, peduli rakyat dan memahami dan cakap masalah rakyat. Jika tidak memenuhi standar tersebut alangkah baiknya mereka dipecat karena tidak dapat dikatagorikan sebagai abdi negara.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H