Karena sistem kekuasaan politik di negara ketiga yang belum matang. Aktor politik sering terjebak dengan logika fisik kekuasaan dimana mereka merasa berkuasa penuh atas kewenangan terhadap negara. Maka sebahagian besar aktor politik kerap meninggalkan perahunya dan berjalan secara one man show dalam kekuasaan politik.
Lihatlah bagaimana kekuasaan di daerah provinsi dan kabupaten/kota yang satu level atau beberapa level lebih rendah kualitasnya dibanding kepemimpinan negara.Â
Hampir sebahagian besar para kepala daerah tidak menempatkan wakilnya sebagai orang kepercayaan utamanya (alter ego). Bahkan diantara mereka terjadi disharmoni sepanjang masa kepemimpinannya. Karena apa? Â
Salah satu faktornya adalah mereka di daerah lebih dominan belajar merebut atau memenangkan politik tapi mereka sedikit belajar sistem perawatan kekuasaan.Â
Sebahagian besar para pemimpin meninggalkan jabatannya dengan merusak image dan citra partai politiknya pada rakyat. Indikatornya setelah mereka memimpin dan berkuasa maka calon penerusnya sulit memenangkan pemilihan periode berikutnya.Â
Hal ini adalah kecenderungan dalam kepemimpinan di sebahagian besar negara dan daerah di dunia. Namun bukan tidak ada sama sekali setelah pemimpin negara mengakhiri tugasnya karena konstitusi membatasinya, tetapi karena rakyat mencintainya dan mengharapkan si pemimpin melanjutkan.
Maka kader pemimpin lain dengan mudah mendapat dukungan rakyat melalui partai politik yang sama.Â
Hal ini juga bisa terjadi di negara ini, namun di negara kita masih tersendat misalnya diakhir presiden pertama Ir. Â Soekarno memimpin terjadi gelombang protes besar kemudian digantikan Jenderal Soeharto.Â
Namun setelah beberapa waktu Soeharto berkuasa maka rakyat kembali merindukan Soekarno. Begitu juga setelah kepemimpinan negara setelah Soeharto diturunkan, Â kemudian kepemimpinan negara berada pada kelompok reformasi, Gusdur, Megawati dan SBY, kemudian rakyat justru merindukan Soeharto kembali.Â
Begitulah kecenderungan politik sosial pada sebahagian besar negara-negara ketiga. Siklus dukungan rakyat ini menjadi suatu pola politik yang berulang, Â ketika disambut dengan baik maka akan menjadi kekuatan politik, bila tidak disambut maka tunas politik itu akan hilang.Â