Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Beberapa waktu lalu saya membaca berita tentang pemerasan oleh salah seorang wartawan, karena berita itu fulgar maka saya ingin mendalami substansi beritanya agar tidak mengusik opini ke perihal lain-lain. Saya heran, kenapa larinya berita itu entah kemana-mana yang membuat satu paragraf dengan paragraf lain bertabrakan.
Begini beritanya, salah seorang wartawan ditangkap. Oknum menggunakan rompi bertulis singkatan lembaga anti rasuah, rupanya hanya tiruan. Yang menjadi pertanyaan kenapa disebut tiruan padahal soal rompi sama biasa saja, banyak nama sama karena alfabet singkatan. Terus mulailah di ulas berita itu seakan ada yang suci sementara Media, Koran tersebut seperti Najis dalam ilustrasi tersebut.
Lalu jika balik dipertanyakan, apakah jika yang melakukan pemerasan itu aparatur negara bukan media independen diperbolehkan? karena lembaga negara baik dan suci sementara elemen indepenpen itu buruk citranya.
Jadi seharusnya yang menjadi substansi berita itu adalah yang melakukan pemerasan harus dihukum berat karena pemerasan yang direncanakan dan seterusnya, bukan menyoalkan status kedudukan serta perbedaan antara lembaga resmi negara dan media independen.Â
Jika pembahasan melebar kearah itu tentu akan menimbulkan pertanyaan, lalu jika aparatur pemerintah mengatasnamakan negara yang melakukan hal yang sama apakah boleh? Tentu juga tidak bolehkan?
Lalu kenapa justru penekanan berita pada pelaku sebagai lembaga negara resmi atau bukan, kalau opini dibawa kesana tentu saja ada anggapan seakan jika pelaku adalah aparatur pemerintah maka mereka bebas melakukan apa saja.Â
Berikutnya termasuk pemerasan, padahal yang namanya pemerasan itu oleh mereka yang memiliki jabatan presiden sekalipun tidak bisa dilakukan karena sudah melanggar kode etik jabatan tersebut.
Maksud tulisan ini adalah untuk meluruskan agar dalam menyajikan berita tidak menjadi pendidikan sosial yang salah kaprah dan merugikan pihak lain bahkan melemahkan pihak independen, karena tulisan dimaksud dikonsumsi oleh semua kalangan masyarakat bahkan masyarakat awam dapat menterjemahkan dimana media independen sebagai perusak dan negatif, padahal media tersebut ketika mendapat izin terbit mereka juga harus membayar pajak dan iuran lain yang lebih besar dan beban mereka lebih besar daripada aparatur pemerintahan yang hanya membayar sekali saja ketika mereka melakukan sogok untuk masuk pegawai negeri, Â itupun mereka yang menyogok.
Berikutnya pemberitaan itu seakan media independen dan wartawannya itu bagaikan media haram yang tidak memiliki izin, padahal koran tersebut establish dan sudah berkontribusi untuk membangun negeri ini dalam memperkuat barisan yang mereka berfokus.
Kenapa diragukan pihak media independen, jika izin terhadap media tersebut dikeluarkan oleh negara dan para pemilik yang telah melengkapi seluruh syarat yang diwajibkan negara. Ketika izin sudah dipenuhi tentu media tersebut bebas dalam melakukan aktivitas asalkan tidak melanggar etika dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan itu.