Penguasa atau kepala pemerintah di daerah cenderung menjadi pemilik atau penguasa daerah bukan sebagai guru rakyat daerah dan mengelola daerah sebagai milik bersama dan saling memiliki daerah tersebut bersama rakyat. Karena itu kekuatan kepala daerah yang baik tergantung pada sejauhmana partisipasi elemen rakyat dalam pembangunan daerahnya.Â
Bukan apa yang fenomenal dibangun oleh gubernur atau bupati apalagi mereka tidak berbuat apapun bagi rakyatnya kecuali proyek-proyek berstandar yang bagi mereka mudah memperoleh keuntungan atau mendapatkan fee (komisi) yang empuk.
Dalam kasus seperti ini kepala daerah tidak ingin repot dengan tantangan pembangunan terhadap rakyat di daerahnya tetapi mereka memilih aman dan memposisikan diri sebagai pekerja bukan sebagai pemimpin sehingga tanggung jawabnya hanya sebatas tugas kantornya bukan sebagai pemimpin rakyat. Belum lagi melihat fenomena prilaku mereka yang bagaikan tidak membutuhkan warga lain dan tokoh rakyat karena mereka merasa harus ditemui siapapun tanpa mementingkan pihak lain dalam pembangunan.Â
Dengan begitu sesungguhnya kepala daerah tersebut tidak sadar sedang memperlihatkan kelemahannya sebagai pemimpin yang terangkat hanya sikap egoisme yang seharusnya dijauhkan dari kepemimpinan yang sesungguhnya. Kemampuan memisahkan sikap egoisme dalam kepemimpinan rakyat adalah indikator utama seseorang dapat dikatagorikan sebagai pemimpin rakyat. Sikap egois itulah yang telah mendistorsi kepemimpinan menjadi penguasa yang meski diidentikkan dalam terminology pasaran tetapi kedua hal tersebut terdapat perbedaan bagai langit dan bumi.
Berikutnya kualitas kepala daerah turut serta menggerus nilai ketokohan masyarakat bahkan ketokohan dalam politik bahkan dalam partai politik sendiri karena mereka merasa lebih berhak dalam kepemilikan dalam segala hal daripada tokoh lain meski kemampuan dan kualitasnya lebih baik dan lebih cerdas darinya. Pengelola kekuasaan semacam inilah yang telah nenghilangkan peran tokoh rakyat, tokoh politik, Â tokoh yang kritis, tokoh yang berani dan tokoh-tokoh yang menganut sikap kebenaran yang berani menentang pendhaliman terhadap rakyat.
Akibat sikap kepala daerah baik bupati maupun gubernur yang tidak paham memanage kekuasaan antara pemerintah dan kepentingan rakyat dan tidak bisa menempatkan tokoh masyarakat serta tokoh politik itu sendiri maka terjadilah distorsi dan terdegradasi fungsi rakyat menjadi tunduk dan patuh pada kekuasaan pemerintah. Dengan sendirinya rakyat terjajah oleh kepala daerah dan tokoh politik yang punya sikap menjadi lemah karena tanpa disadari dilemahkan oleh sikap kepala daerah itu sendiri atau pimpinan partai politik yang berpikiran dan berwawasan sempit dalam kepemimpinan sosial.
Fenomena ini terjadi secara masif akibat lemahnya wawasan kepala pemerintahan dalam memimpin daerahnya. Karena itulah maka otonomi daerah yang pernah kuat dan kental dalam kehidupan rakyat Indonesia semakin terasa hilang ditelan bumi, sehingga kekuasaan pusat menjadi sentralistik dan kita set back (kembali) kemasa lalu.
Logika pelemahan daerah tentu saja rumusnya mudah dicerna,  tidak rumit untuk dipahami. Ketiga kepala daerah menjadi penguasa daerah maka pemerintah pusat hanya perlu memandang pendapat dan sikap kepala daerah tanpa memandang tokoh politik, tokoh adat, tokoh politik kritis, tokoh oposisi dan tokoh  rakyat yang sesungguhnya elemen yang sangat penting dalam pembangunan rakyat. Padahal pimpinan pemerintah pusat harus mengutamakan sikap tokoh-tokoh tersebut untuk melakukan pembangunan, sementara gubernur dan bupati adalah sistem yang dapat diperintah secara langsung karena hirarkhi sistem kekuasaan negara.
Kenapa tokoh-tokoh rakyat dan tokoh politik lain yang kritis tidak dapat perintah secara langsung? Â Karena merekalah sebagai representasi sikap rakyat dan dengan menempatkan mereka sebagai elemen yang sangat vital dalam pembangunan maka kepala pemerintah itu dapat dianggap korperatif dan paham menempatkan dirinya sebagai pejabat negara dan pimpinan rakyat yang sesungguhnya.
Begitupun porak porandanya dunia partai politik disebabkan kualitas fungsi dan peran pimpinan partai politik itu sendiri baik di daerah maupun dipusat yang menghadapkan aktivitas hidup rakyat dan tokoh dalam ruang sempit fungsi pemerintahan bahkan pembagian keuangan daerah dianggap sebagai aktivitas dalam kalimat pejoratif yakni bagi-bagi kue dalam pembangunan. Dengan begitu maka keberadaan kepala daerah hanya sebagai penguasa kue-kue tersebut dan sejauhmana keadilan dan pemetataan yang mampu mereka implementasikan. Â Maka keberhasilan seorang kepala daerah saat ini sungguh sederhana yaitu hanya sejauhmana rakyat mendapat jatah yang negara setiap tahunnya, Â tanpa kebijakan benar dari seorang kepala daerah dalam melihat kebutuhan mereka. Akibatnya apa? Terjadi kesenjangan yang parah antara masyarakat yang dimanja dengan APBN dan APBD dan tokoh masyarakat yang kritis yang cenderung dianggap lawan oleh kepemimpinan sempit kepala daerah.
Bagaimana dalam partai politik?  Tokoh politik kritis, tokoh pimpinan partai politik yang telah dikenal dan berada dalam sistem politik partai tersebut dapat kehilangan marwahnya dan lemah dalam kehidupannya akibat pemimpin partai salah memaknai kepemimpinan partai politik.  Karena mereka tidak lagi berkuasa  dan partai menjadi objek yang dianggap simbol perebutan dalam hukum penguasa sebagaimana orang kuat masa lalu dalam pertarungan klasik masa kerajaan yang kuno.