Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sentimen dan Propaganda Warnai Ranah Politik, Penghambat Rakyat Maju

19 Mei 2021   16:41 Diperbarui: 3 Juni 2021   13:21 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Tarmidinsyah Abubakar

Beberapa perbedaan yang begitu signifikan dalam ranah politik setiap tempat baik negara maupun daerah yang kemudian secara otomatis mempengaruhi ranah kebijakan publik dalam wilayah tersebut. Sehingga ada negara yang masyarakatnya maju dan tidak kurang pula negara yang tertinggal akibat keterbatasan kemampuan, wawasan dan pengetahuan pemimpinnya.

Ketika kita bicara tentang kondisi sosial dalam suatu negara, lalu kenapa kita utamakan berbicara tentang pemimpin? Karena pemimpin negara adalah satu-satunya yang bertanggung jawab penuh terhadap keberadaan nasib suatu bangsa, apakah bangsa itu di jajah atau merdeka terhadap bangsa-bangsa lain, begitu pun kondisi masyarakat di suatu daerah, kepala daerah dapat mempengaruhi secara dominan untuk menentukan masyarakatnya berkembang atau tertinggal.

Jika anda berpikir negara-negara di dunia semua merdeka maka pemahaman sahabat harus dikaji ulang karena berdasarkan pengalaman sejarah kehidupan semua bangsa-bangsa di bumi ini terikat dengan penjajahan, hanya saja di jaman ini perbudakan sudah dihapuskan sehingga kehidupan di depan mata kita tidak  lagi secara kasat mata semua orang mampu melihat penindasan manusia atas manusia lain.

Namun jika anda memiliki kacamata yang jernih sebenarnya perbudakan masih saja terjadi di bumi meski tidak terlihat oleh semua orang meskipun dilingkungannya dan masyarakat lintas bangsa. 

Apalagi dalam konsep negara yang sedikit saja orang bisa memahaminya, maka hanya sedikit pula dari para pemimpin yang dipilih rakyat bisa melakukan perubahan kehidupan kesejahteraan rakyatnya. 

Jika kita menyaksikan pemimpin negara-negara tertinggal maka sebahagian besar pemimpinnya hanya menikmati keberadaan mereka berjabatan sebagai penguasa sebagaimana raja dimasa lalu bahkan keberadaannya kebanyakan justru menghambat produktivitas rakyat dengan kebiasaan hidup turun-temurun (tradisional) yang sulit dibawa untuk berubah karena pemikiran mereka telah dibentuk secara kolektif sejak mereka dilahirkan dan lingkungan pertumbuhannya. Bahkan orang yang membawa perubahan dengan berpikir yang lebih maju dalam suatu masyarakat tertutup justru akan menjadi lawan dan sudah pasti terjadi pertaruhan hidup yakni menang dan kalah suatu bangsa, demikian pula pada masyarakat suatu daerah.

Daerah yang maju karena pemikiran pemimpinnya memang cerdas dan memiliki visi kebangsaan dan semua misi-misinya membawa dampak pada keterbukaan bagi manfaat hidup yang lebih baik bagi rakyatnya sekaligus membangun pengaruh kebangsaannya yang lebih luas.

Kalau kurang yakin tentang narasi di atas silakan ingat-ingat berapa abad bangsa Indonesia di jajah oleh bangsa lain. Maka sungguh masuk akal kalau kita menemukan ada suatu bangsa yang hidupnya mendiami hutan dan mereka masih belum menggunakan pakaian yang menutupi badannya secara sempurna. 

Kenapa sampai tertinggal sangat parah? Karena hidupnya sejak lahir dipimpin dan diikat dengan budaya dan nilai-nilai kepercayaan yang diyakini terlalu sakral baik terhadap alam maupun dalam keyakinan terhadap Tuhannya. Ketika diantara mereka ada yang keluar dari kehidupan itu mereka menganggap sebagai pengkhianat bangsanya kecuali dia telah mampu menunjukkan manfaat kemapanan hidup langsung pada masyarakat banyak dan disitulah dapat terjadi pembukaan pintu perubahan dan terjadi transisi sosial.

Melihat ranah politik sosial di Indonesia dengan daerah-daerahnya masih berada dalam lingkaran tersebut yang penuh dengan tali-tali pengekangan masyarakat, sehingga politik sosial berjalan dengan mesin penggerak yang tradisional. Sementara konstitusi negara justru sudah dalam tatanan yang terbuka tetapi prilaku politik masih dihantui dengan sikap-sikap politik tradisional bahkan yang paling parah melanda prilaku politik di daerah-daerah.

Lalu, kapan perubahan sosial bisa terjadi? Jawabannya tergantung pada pada pemimpin rakyat, arah pembangunan bangsa dan kebijakan publik yang tepat. Sebenarnya menurut hemat penulis sebahagian dari masyarakat Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir ini sudah memiliki pemikiran kearah tersebut dengan berkembangnya kampanye pilpres pasangan Jokowi-JK yang mengetengahkan tema perubahan mental dan arah yang tepat dalam pembangunan bangsa Indonesia.

Kebijakan Nasional Untuk Perubahan

Akibat ketertinggalan dalam membangun manusia lokal oleh pemimpin daerah, maka kebijakan nasional yang sentralistik dapat dijadikan dalih agar perubahan bangsa terjadi secara kolektif diseluruh Indonesia secara bertahap.

Penulis yakin kebijakan ini telah dipelajari secara mendalam oleh pemerintah Jokowi dan dampak-dampak fundamentalnya terhadap perubahan warga negara secara menyeluruh. Dengan kajian yang mendalam agar masyrakat tidak lagi terbenam akibat mentalitas yang terbelenggu oleh ikatan-ikatan yang menghambat pembangunan dirinya secara kolektif. Kebijakan ini menjadi beralasan karena bangsa Indonesia pernah dijajah dalam waktu yang begitu lama.

Berikut sebagai referensinya bisa saja diangkat kajian sebagai landasan pembangunan rakyat dari sisi budaya teology dan ideology, dimana budaya Islam yang berjalan 1.300 tahun dan budaya kristen yang 2.000 tahun, juga budaya budha dan hindu yang lebih lama. Sehingga pembangunan bangsa Indonesia menjadi lebih terarah. Berikutnya rakyat tidak larut dalam sentimen dan budaya yang dilandasi budaya teology yang beragam pemahaman para tokoh masyarakat. Karena perbedaan pemahaman justru budaya teology sulit menjadi alat pemersatu tetapi justru menjadi sumber perpecahan dalam kehidupan rakyatnya.

Dalam perspektif arah pembangunan bangsa seharusnya hal ini dapat digolongkan dalam visi pembangunan negara bangsa. Dimana negara harus menempatkan serta menghargai multi etnis (keragaman bangsa) yang menjadi warga negaranya. Sebagaimana menghormati falsafah Bhineka Tunggal Ika dalam konstitusi negara ini. Dalam hal inilah maka kehidupan bangsa jauh lebih utama dari sikap dan emosional rakyat dalam perbedaan pembangunannya yang dipenihi dengan sekedar sentimen. Hal ini harus dapat diminimalisir dengan mengedepankan alat pemersatu pemikiran dan kebersamaan lain yang menjadi pengikat warga negara dengan kesadaran yang tinggi. Meskipun dalam hal ini akan mendapat tantangan yang berat dalam masyarakatnya karena mereka telah lama hidup menoton dalam budaya yang memasungnya.

Sikap Masyarakat Daerah

Memahami visi pembangunan sosial secara nasional oleh masyarakat daerah sudah seharusnya masyarakat daerah beranjak dari ketertinggalannya dalam berpikir baik terhadap sistem kehidupannya yang masih saja terikat dengan budaya yang memasungnya. Kemudian pemimpin harus berani menyentuh dalam budaya teology yang terkadang tidak jarang kita menemukan sikap masyarakat yang salah kaprah dalam memahami nilai dalam beragama.

Padahal semua memahami dan menyadarinya bahwa tidak satupun agama yang dilahirkan untuk membawa permusuhan. Justru sesungguhnya agama adalah tool pembangunan manusia yang membawa kedamaian baik dalam komunikasi dengan tuhan maupun dalam komunikasi sesama makhluk apalagi dalam komunikasi lintas manusia itu sendiri. Jika agama belum bisa dimanfaatkan secara benar dan hanya menciptakan huru-hara maka rakyat belum benar dalam menjalankan agama tersebut. Tentu ada kesalahpahaman dalam ajaran yang berlaku dalam masyarakat. Jika kita masih kurang yakin maka silakan melihat fakta dan data terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh orang maupun kelompok yang memperlihatkan kesucian dalam aktivitasnya namun terakhir kita menemukannya berhadapan dengan hukum dan penjara.

Karena itulah pembangunan rakyat Indonesia secara nasional yang heterogen perlu dijauhkan dari sikap sentimen yang memicu emosional, perselisihan, perbedaan persepsi dan bahkan perang akibat perbedaan, akibat salah kaprah memahami dan mengimplementasikan budaya hidup maupun budaya dalam perbedaan teology (keyakinan). 

Karena itu maka pembinaan umat beragama tidak perlu dibelenggu bahkan di beri ruang yang luas, asalkan tidak menimbulkan sekedar semangat emosional beragama yang dijadikan dalih untuk memicu konflik dan perang. Karena agama adalah wadah atau jalur berkomunikasi dengan tuhan dan menciptakan damai dengan sesama manusia. Jika yang terjadi sebaliknya maka orang yang mengatasnamakan agama tersebutlah yang salah kaprah dalam memahami ajaran agama tersebut serta mereka memanfaatkan agama untuk tujuan pribadi dan kelompok politiknya.

Meskipun agama memiliki musuh bukan berarti memperlakukan musuh harus dengan perang tetapi damai adalah kata kuncinya. Karena pada prinsipnya musuh dalam agama tidak diidentikkan sebagai musuh tuhan. Karena jika menempatkan mereka sebagai musuh tuhan maka orang tersebut tidak berbeda dengan sedang mendegradasikan arti dan makna tuhan. Tuhan yang dalam ajaran agama tidak boleh di sejajarkan apalagi berhadapan dengan makhluknya yang merupakan juga ciptaannya.

Wassalam


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun