Lalu, kapan perubahan sosial bisa terjadi? Jawabannya tergantung pada pada pemimpin rakyat, arah pembangunan bangsa dan kebijakan publik yang tepat. Sebenarnya menurut hemat penulis sebahagian dari masyarakat Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir ini sudah memiliki pemikiran kearah tersebut dengan berkembangnya kampanye pilpres pasangan Jokowi-JK yang mengetengahkan tema perubahan mental dan arah yang tepat dalam pembangunan bangsa Indonesia.
Kebijakan Nasional Untuk Perubahan
Akibat ketertinggalan dalam membangun manusia lokal oleh pemimpin daerah, maka kebijakan nasional yang sentralistik dapat dijadikan dalih agar perubahan bangsa terjadi secara kolektif diseluruh Indonesia secara bertahap.
Penulis yakin kebijakan ini telah dipelajari secara mendalam oleh pemerintah Jokowi dan dampak-dampak fundamentalnya terhadap perubahan warga negara secara menyeluruh. Dengan kajian yang mendalam agar masyrakat tidak lagi terbenam akibat mentalitas yang terbelenggu oleh ikatan-ikatan yang menghambat pembangunan dirinya secara kolektif. Kebijakan ini menjadi beralasan karena bangsa Indonesia pernah dijajah dalam waktu yang begitu lama.
Berikut sebagai referensinya bisa saja diangkat kajian sebagai landasan pembangunan rakyat dari sisi budaya teology dan ideology, dimana budaya Islam yang berjalan 1.300 tahun dan budaya kristen yang 2.000 tahun, juga budaya budha dan hindu yang lebih lama. Sehingga pembangunan bangsa Indonesia menjadi lebih terarah. Berikutnya rakyat tidak larut dalam sentimen dan budaya yang dilandasi budaya teology yang beragam pemahaman para tokoh masyarakat. Karena perbedaan pemahaman justru budaya teology sulit menjadi alat pemersatu tetapi justru menjadi sumber perpecahan dalam kehidupan rakyatnya.
Dalam perspektif arah pembangunan bangsa seharusnya hal ini dapat digolongkan dalam visi pembangunan negara bangsa. Dimana negara harus menempatkan serta menghargai multi etnis (keragaman bangsa) yang menjadi warga negaranya. Sebagaimana menghormati falsafah Bhineka Tunggal Ika dalam konstitusi negara ini. Dalam hal inilah maka kehidupan bangsa jauh lebih utama dari sikap dan emosional rakyat dalam perbedaan pembangunannya yang dipenihi dengan sekedar sentimen. Hal ini harus dapat diminimalisir dengan mengedepankan alat pemersatu pemikiran dan kebersamaan lain yang menjadi pengikat warga negara dengan kesadaran yang tinggi. Meskipun dalam hal ini akan mendapat tantangan yang berat dalam masyarakatnya karena mereka telah lama hidup menoton dalam budaya yang memasungnya.
Sikap Masyarakat Daerah
Memahami visi pembangunan sosial secara nasional oleh masyarakat daerah sudah seharusnya masyarakat daerah beranjak dari ketertinggalannya dalam berpikir baik terhadap sistem kehidupannya yang masih saja terikat dengan budaya yang memasungnya. Kemudian pemimpin harus berani menyentuh dalam budaya teology yang terkadang tidak jarang kita menemukan sikap masyarakat yang salah kaprah dalam memahami nilai dalam beragama.
Padahal semua memahami dan menyadarinya bahwa tidak satupun agama yang dilahirkan untuk membawa permusuhan. Justru sesungguhnya agama adalah tool pembangunan manusia yang membawa kedamaian baik dalam komunikasi dengan tuhan maupun dalam komunikasi sesama makhluk apalagi dalam komunikasi lintas manusia itu sendiri. Jika agama belum bisa dimanfaatkan secara benar dan hanya menciptakan huru-hara maka rakyat belum benar dalam menjalankan agama tersebut. Tentu ada kesalahpahaman dalam ajaran yang berlaku dalam masyarakat. Jika kita masih kurang yakin maka silakan melihat fakta dan data terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh orang maupun kelompok yang memperlihatkan kesucian dalam aktivitasnya namun terakhir kita menemukannya berhadapan dengan hukum dan penjara.
Karena itulah pembangunan rakyat Indonesia secara nasional yang heterogen perlu dijauhkan dari sikap sentimen yang memicu emosional, perselisihan, perbedaan persepsi dan bahkan perang akibat perbedaan, akibat salah kaprah memahami dan mengimplementasikan budaya hidup maupun budaya dalam perbedaan teology (keyakinan).Â
Karena itu maka pembinaan umat beragama tidak perlu dibelenggu bahkan di beri ruang yang luas, asalkan tidak menimbulkan sekedar semangat emosional beragama yang dijadikan dalih untuk memicu konflik dan perang. Karena agama adalah wadah atau jalur berkomunikasi dengan tuhan dan menciptakan damai dengan sesama manusia. Jika yang terjadi sebaliknya maka orang yang mengatasnamakan agama tersebutlah yang salah kaprah dalam memahami ajaran agama tersebut serta mereka memanfaatkan agama untuk tujuan pribadi dan kelompok politiknya.