Bagaimana kalau gubernur Aceh ulama?
Pertama, Karena sistem negara yang multi agama tentu akan menambah masalah yang lebih parah karena pengharapan penegakan budaya Islam padanya, Â sementara gubernur juga tidak total bisa melakukannya meski dia paham tujuan masyarakatnya. Lalu ulama yang gubernur akan menjadi sasaran dan sumber perpecahan ditengah pandangan masyarakat. Image dan kepercayaan terhadap ulama yang menjadi gubernur atau pejabat akan luntur dan rakyat Aceh semakin kehilangan penunjuk arahnya tentu saja akan semakin liar.
Kedua, Sesungguhnya pemeliharaan budaya dan peradaban adanya pada masyarakat yang sejahtera. Dengan kondisi ekonomi yang semakin terpuruk maka budaya juga ikut mengalami pelemahan dalam kehidupan masyarakat. Namun dalam kebudayaan tunggal yang dianut oleh rakyat Aceh maka apapun yang dilakukan dalam budayanya akan menjadi ibadah atau sebahagian dari ibadah dalam agama.
Ketiga, Kecenderungan masyarakat Aceh memilih pemimpin daerah yang bukan dari kalangan ulama adalah bentuk kecerdasan dalam menjaga kesucian agamanya. Karena di provinsi manapun meski yang menjadi kepala daerah itu ulama namun kondisi kehidupan rakyatnya tidak menunjukkan adanya perbaikan, akhirnya pimpinan rakyat tersebut hanya menjadi bahan kemakluman yang menjadi alat ukur kredibilitas seseorang dangan profesinya sebatas citra baik dan buruk.
Keempat. Karena tidak akan sinkron sistem kepemimpinan dalam konstitusi negara Indonesia dengan sistem budaya Islam dan  sistem kepemimpinan rakyat Aceh ketika Aceh masih menjadi negara  kerajaan dimasa lalu, maka terjadi berbagai silang singkarut dalam masyarakat kemudian masyarakat Aceh terkesan sebagai masyarakat non paternalistik bahkan menjadi liar dalam konstitusi negara Indonesia.
Kelima, Dalam kepemimpinan tradisional dimasa lalu soliditas sosial sangat erat, sehingga dalam masyarakat dikenal dengan pepatah Aceh yang dikaitkan sebagai hadih maja yakni "udeep saree matee syahid". Karena itulah ketika masyarakat mengalami kemunduran dalam ekonominya, terjadi masalah sosial seperti menghadapi pandemi, terjadi ancaman gagal panen dan ancaman kemelaratan maka harta kerjaan dibagi secara merata kepada rakyat terlepas mereka miskin atau kaya, mereka yang kaya juga akan mengutamakan yang miskin karena semua budaya hidupnya adalah bahagian dari ibadah kepada Allah SWT.
Keenam, Apabila terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh ulama yang menjadi gubernur maka dapat dipastikan kepercayaan terhadap ulama akan hancur total dan sulit memulihkan kepercayaan itu membutuhkan waktu yang lama. Bahkan agama Islam ikut terdiskreditkan apabila benar-benar terjadi terhadap ulama yang sebenarnya dalam status sosialnya lebih setingkat derajatnya dalam kehidupan sosial di Aceh, karena agama dan budaya dalam masyarakat Aceh hanya satu yakni Islam.
Sejarah kehidupan masyarakat Aceh dalam berbagai perspektif terminology kekompakan dan pembangunannya menuntut adanya kesamaan dalam rasa sosial. Oleh karena itulah yang disebut adil dalam kehidupan rakyat Aceh adalah kehidupan bersama yang juga diartikan sejahtera dalam bahasa Aceh "Udeep Saree" jika miskinpun mereka menerimanya asalkan semua miskin.
Kondisi hari ini yang kita lihat sesungguhnya kehidupan rakyat Aceh sangat jauh berbeda dari budayanya. Karena Aceh dalam statistik masuk sebagai daerah miskin sementara para pimpinannya justru orang kaya. Kesenjangan sosial yang parah  inilah yang berbenturan dengan adat dan budaya masyarakat Aceh dimasa lalu ketika mereka berada dalam suatu bangsa dan negara Aceh.
Kondisi ini memang terlanjur menjerumuskan masyarakat yang tidak percaya terhadap pimpinannya sendiri dan pemerintah pusat. Hanya saja rakyat Aceh tidak mampu melihat secara transparant, apakah yang salah dan melakukan pembodohannya itu adalah pemerintah pusat atau para pumpinannya yang dipilih pada saat pemilu dan pilkada. Ketika kejelasan itu terlihat secara nyata dan pemahaman normal maka rakyat sudah pasti memiliki sikap dan kesimpulan masing-masing terhadap siapa yang sesungguhnya menjadi lawannya.
Karena itulah maka sudah seharusnyalah gubernur (eksekutif), DPRA (legislatif) dan Yudikatif membuat kesepakatan agar "Dana Otsus Aceh dibagi secara merata kepada rakyat" sehingga sikap partisipasi mereka dalam bernegara dapat ditumbuhkan secara normal. Apalagi keberadaan masyarakat  di daerah bekas konflik yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah induknya.