Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sistem Politik Ibarat Handphone dan Mereknya, Demokrasi Ibarat Pulsanya, Begitulah Vitalnya Demokrasi

22 April 2021   20:35 Diperbarui: 7 Mei 2021   02:46 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : pexels

Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Suatu hari saya bertemu istri seorang ketua partai politik dan saya berdiskusi lima belas menit sambil memilih belanjaan ringan di sebuah supermarket.

Gawat, kondisi politik sekarang pak ya, katanya setelah saling bersalaman. Iya bu, masalahnya sekarang sistem politik dan pemerintahan yang tidak lagi demokratis sebut saya.

Memang demokrasi hanya ada dalam kelas pak, ketika pemilihan ketua kelas di SD sampai dengan SMA ketika kita dulu bersekolah, sebutnya. Saya menanggapi bahwa saat itu dimasa Orde Baru memang demokrasi tetap aja diajarkan disekolah atau ditingkat masyarakat bawah, dengan landasannya gotong royong. Meskipun dalam sistem pemerintahan dan organisasi diatas demokrasi dan hak politik sering dikebirikan untuk kepentingan kekuasaan Orde Baru.

Nilai positifnya ya masyarakat masih mendapat pelajaran meski bukan dalam perspektif demokrasi yang sebenarnya atau demokrasi yang seutuhnya.

Benar sekali pak, sekarang memang susah kita dapatkan sistem demokrasi dalam organisasi, bahkan organisasi politikpun hampir tidak mengenal bagaimana demokrasi yang sesungguhnya. Sebut si Ibu istri ketua partai.

Bapak kan ketua partai politik lokal, bagaimana bapak bisa mengajarkan ilmu demokrasi kepada masyarakat sekarang karena partainya di bredel oleh konspirasi KIP dan pemerintah Aceh? Maaf pak ya, saya mendapat berita dari pengurus partai bapak kebetulan berteman dengan saya.

O,,iya, saya sudah berusaha membuat partai sebagai alat politik untuk kebaikan dan wadah untuk memberi pendidikan politik kepada rakyat. Sebut saya.

Tapi teman-teman di Aceh yang berwenang kurang sependapat karena saya bukan berasal dari komunitas mereka. Sebut saya sambil tersenyum. Saya tidak perlu pusing yang penting saya sudah berniat baik dan telah mengusahakannya. Kalau tidak di loloskan oleh mereka yang berwenang, sayapun terpaksa terima dengan lapang dada meskipun hati kesal karena sudah begitu lelah mendirikan dan membangun partai lokal tersebut, sambung saya.

Kasian bapak yach,,,,udah lelah, saya paham bagaimana melelahkan mendirikan partai politik. Sela si Ibu.

Yach,,,,tidak perlu diingat lagi ibu, semua sudah berlalu, kita sudah ikhlas dan kalau Allah izinkan pemilu kedepan kita usahakan kembali, semoga banyak tokoh yang sudah tersadar dan rakyat memahami tujuan politik kita, sebut saya.

Kamipun tertawa sambil ke maja kasir untuk membayar belanjaan dan saling menanyakan kondisi kesehatan suaminya dan istri saya,  karena sehat-sehat aja, akhirnya kamipun berpisah ke mobil masing-masing sambil saling menyalami dan menitip salam kepada pasangan.

Dalam cerita diatas yang ingin saya sampaikan adalah betapa seorang istri ketua partai di daerah  juga tidak bisa berbuat untuk kebaikan dan mengarahkan ketua partai politik ke arah yang benar. Padahal kebanyakan ketua partai tunduk kepada istrinya sebagaimana cerita sinetron preman pensiun. Tetapi pengaruh istri masih bisa dikalahkan oleh nafsu kekuasaan politik dalam hidup seseorang.

Begitulah pemahaman seorang istri ketua partai yang ibu rumah tangga dan lumayan baik karena sering memperhatikan pekerjaan-pekerjaan politik suaminya dan keluhan ketidakadilan bersama kader barangkali.

Kemudian di mobil saya tertegun membaca komentar teman lainnya di medsos yang dalam pikiran saya kenapa begitu lemah dia memahami demokrasi. Bagaimana seseorang yang hidup diluar negeri justru jiwa feodalnya terbaca dalam komentar-komentar pada akun facebook saya yang ia juga sebenarnya mempertujukan komen tersebut kepada masyarakat selain mendiskusikan dengan saya dan teman lainnya.

Padahal negara tempat dia mencari suaka adalah negara demokratis dan sosialis dalam ajaran pemerintahannya.

Apakah ada yang salah, pikir saya dengan teman di luar negeri tadi. Apakah dia salah membaca atau ia hanya membaca sistem pemerintahan kerajaan dimasa lalu yang ingin di bawa ke jaman ini yang sama sekali tidak sesuai lagi.

Dalam menanggapi komentarnya atas narasi saya di status facebook, saya bahkan memberinya informasi cara memahami demokrasi yang semudah-mudahnya. Sementara mereka masih berorientasi pada sistem kepemimpinan dimasa lalu yang bersentuhan atau pernah diterapkan dalam masa kepemimpinan nabi dimasa lalu.

Karena sistem politik itu dianggap yang terbaik karena diterapkan dimasa nabi masih hidup, kemudian saling membandingkan dengan sistem lainnya di Mesir, Saudi, Amerika atau negara lain dan juga di negara kita. Kesimpulannya mereka tetap saja berpikir sistem politik khilafah, padaha yang perlu dikaji ada atau tidakya hak politik rakyat dan keadilan di dalamnya.

Saya manyampaikan bahwa sistem  politik itu ibaratnya ya sebagaimana handphone dengan merk seperti nokia, samsung, iphone, vivo, oppo dan lain-lain. Tapi demokrasi itu justru pulsa yang membuatnya pemiliknya bisa menggunakan handphone dari berbagai merk itu untuk melakukan operasi komunikasi misalnya melakukan telephon, dan menggunakan data untuk menjelajahi dengan internet.

Sistem demokratis adalah sebuah sistem yang mengedepankan semangat dan essensi demokrasi dalam kepemimpinannya baik dalam organisasi masyarakat, organisasi politik dan organisasi pemerintahan. Memang sistem ini meskipun namanya demokratis namun dalam penerapannya jika rakyat kurang paham dan pemimpinnya juga kurang paham bisa jadi demokrasi hanya lips service sebagaimana sebuah kelapa yang dibutuhkan adalah "isinya" tetapi sistem formalistik ini justru rakyat dan pimpinannya hanya membicarakan kulitnya atau sabuknya.

Bagaimana kita berdemokrasi? jadi begini, kalau rakyat semua sudah sepakat maka semua orang harus sebahu, tidak ada yang tinggi dan tidak ada yang rendah kedudukannya dalam pembahasan pembangunan rakyat.

Gampangnya begini, misalnya ada suatu kampung ingin menghidupkan demokrasi sebagaimana perintah Undang-Undang dalam negara Republik Indonesia maka semua warga kampung itu memiliki keanggotaan dimana hak dan kewajibannya sama.

Tidak boleh seseorang yang dipilih menjadi kepala kampung itu bermental arogan dan semena-mena seakan kampung itu miliknya. Dia juga adalah anggota dan karena sedang dipilih sebagai kepala kampung maka dia harus melayani kepentingan warga kampung itu, dan perlu diingat tidak boleh si kepala kampung ini mengambil keputusan sendiri meski untuk urusan kampung itu.

Jadi philosophinya kepala kampung yang dipilih itu melakukan tugasnya perlu memahami demokrasi, menjalankan tugasnya dari anggota kampung kepada anggota komplek itu sendiri. Jadi dia tidak boleh memerintah secara otoriter, egoisme, mementingkan kepentingan sendiri dan kelompoknya.

Jika anda tidak paham demokrasi sementara anda hidup dalam negara yang menganut konstitusinya dengan sistem demokrasi maka sama dengan anda memiliki handphone tetapi tidak memiliki pulsa. Karena itu sama aja bohong karena peralatan itu sama sekali tidak berfungsi untuk membangun komunikasi anda.

Jadi sistem demokrasi tanpa memahami demokrasi dalam kepemimpinan pada diri anda maka sama saja anda berlaku otoriter dan justru menjadi perusak demokrasi itu sendiri.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun