Kelima, Masyarakat pemilih yang sebahagian besar beragama Islam terjebak dalam partai politik atau kontestan politik praktis. Padahal ulama dalam Islam memang diwajibkan berpolitik tetapi bukan berpartai politik. Politik itu begitu luas sehingga dalam mengembangkan agamapun ditempuh dengan strategy politik. Jika tidak maka agama disuatu daerah atau negara gampang diobok-obok oleh pihak lain yang beragama lain. Oleh karena itu mempertaruhkan agama dalam politik praktis adalah perkara yang sangat mahal pertanggung jawabannya kepada ummat dan Tuhan. Pemisahan ulama dan umara secara jelas dalam politik praktis adalah sesuatu yang cukup jelas supaya ummat dapat membedakan keduanya. Ketika ulama memilih masuk dalam partai politik maka sesungguhnya ulama sudah melepaskan keulamaannya dan memilih menjadi umara.
Justru karena pemahaman masyarakat yang kabur terhadap hal-hal yang berkait erat dengan politik yang luas sehingga masyarakat sebahagian besar mengartikulasikan politik dengan politik praktis atau politik dalam arti berpartai politik.
Padahal jika saja ulama yang status sosialnya lebih setingkat dari masyarakat biasa itu juga bahagian dari politik.
Sekarang mari kita uji, apa yang terjadi terhadap Makruf Amin yang beliau adalah seorang ulama dan penulis menghormatinya. Tetapi ketika beliau masuk sebagai kontestan politik praktis maka begitu banyak masyarakat yang menyelelanya bahkan tidak segan-segan memakinya. Apalagi kontestan politik yang berlainan pilihan dengan pasangan mereka yang justru menjadi lawan politiknya.
Sekarang status sosial Makruf Amin sebagai Wakil Presiden meski jabatannya sangat tinggi bahkan orang nomor dua di Indonesia tetapi fungsi dan perannya dalam membela hak rakyat tentu tidak sebagaimana yang diharapkan oleh ummat Islam.
Jika aspirasi ummat Islam sebagaimana yang berkembang mana mungkin di era ini justru ummat Islam merasa terdhalimi dengan wakil presiden dari organisasi pimpinan ulama se Indonesia.
Sementara pihak yang menentang kekuasaan Islam justru lebih mudah melemahkan Islam dengan menempatkan sanderanya seorang Makruf Amin yang wakil presiden dari kalangan ulama.
Pertanyaannya, apakah kekuasaan pada ulama dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang bukan berazas Islam membuat konsolidasi ummat Islam secara sempurna sebagaimana harapan ummat Islam?
Lihatlah bagaimana fenomena yang dapat pembaca menilai sendiri kehidupan ummat Islam dalam sistem kekuasaan di era ini yang disinyalir dalam berbagai ideology politik dan ancaman Islam itu sendiri.
Ini hanya kajian sederhana yang membutuhkan variable lain yang lebih sempurna dalam kajian keberadaan ulama dalam politik pragmatis dan tidak sabar berada dalam politik yang sesungguhnya.
Bagaimana seharusnya ulama dalam politik prgmatis? Tunggu tulisan berikutnya tentang itu jika kita masih diberi umur panjang.