Sebenarnya jabatan politis adalah jabatan yang sangat menentukan dalam kepemimpinan pemerintahan, karena setelah dipilih dan mereka memangku jabatan semisal bupati, gubernur dan presiden menjadi orang utama dalam menentukan keberadaan rakyatnya. Kalau pemimpin yang dipilih memiliki sumber daya yang baik maka perubahan-perubahan rakyat pasti dapat dilakukan dengan baik, atau minimal pembangunan rakyat akan lebih terarah.
Demikian sebaliknya, jika pemimpin yang dipilih rakyat dengan sumber daya manusia yang rendah tentunya mereka hanya menikmati jabatan itu untuk kuasa mereka sendiri, keluarga dan kerabat serta teman-temannya.
Bagaimana orang yang berilmu politik menguasai kekuasaan politik? Kelompok atau orang yang berilmu politik bisa menggunakan segala potensi untuk memperkuat politiknya. Misalnya mereka memusuhi Islam, bisa saja mereka mendorong orang Islam yang haus jabatan kedepan dalam politik pragmatis. Padahal menempatkan orang Islam sebagai tumbal untuk mengadu domba sesama warga Islam.
Hal ini tidak berbeda dengan tragedi ketika bangsa Indonesia di adudomba oleh penjajahan asing dimasa lalu. Mereka menempatkan bangsawan dengan jabatan yang tinggi sebagai tumbal, kemudian mereka dengan mudah menghancurkan bangsa dan menguasainya dalam waktu berabad lamanya. Padahal bangsa penjajah waktu itu bukan bangsa penjajah yang super power sebagaimana Inggris.
Lalu, dimana kesalahan utama warga masyarakat kita dalam memilih pejabat dimana dalam hukum demokrasi jabatan itu digolongkan sebagai pelayan rakyat? Berdasarkan pantauan dan pengalaman pemilu, pilkada dan pilpres yang dipilih langsung.Â
Apakah ulama menjadi pelayan rakyat dalam bernegara? Tentu tidak demikian yang kita harapkan.Â
Kesalahan utama warga masyarakat kita dalam memilih pejabat yang merupakan pelayan rakyat adalah sebagai berikut :
Pertama, Seringkali pemilih terjebak dengan sikap primordialis sempit yang mempersoalkan kedudukan tempat tinggal dan pergaulannya, masyarakat akan cenderung memilih yang selalu bersama mereka, kecuali kontestan mengandalkan uang masyarakat akan memilihnya meski mereka sama sekali tidak mengenalnya.
Kedua, Kebiasaan mempersepsikan anggota parlemen sebagai wakil dari kalangan rakyat, sehingga keberadaan mereka yang dikirim sebagai anggota parlemen diutamakan pada yang bisa memberi fasilitas dan pendapatan kepada mereka atau yang berjanji dan meyakinkan rakyat untuk itu.
Ketiga, Pada masyarakat tertinggal seringkali terjadi sikap antipati terhadap kontestan yang dipandang berbeda, misalnya dianggap pintar dan aktif justru menjadi lawan, sehingga yang dipilih adalah orang-orang biasa yang bahkan terkadang keluguan yang tidak memiliki kemampuan intelektual dalam rangka melakukan perubahan rakyat.
Keempat, Masyarakat pemilih seringkali terjebak pada indikator memilih orang jujur dan alim yang sebenarnya tipis sekali berkait dengan kemampuannya dalam politik. Padahal kriteria itu sudah lama menimbulkan kekecewaan masyarakat pemilihnya. Bahkan kemudian masyarakat mendapatkan mereka justru telah berprilaku sebaliknya dari yang mereka nilai. Bukan sesuatu yang langka jika kemudian orang yang alim dimaksud justru menjadi koruptor terlepas sengaja maupun tidak sengaja.