Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Pada hakikatnya jabatan-jabatan baik dalam pemerintahan, jabatan dalam organisasi bermasyarakat termasuk jabatan yang terkecil seperti kepala desa, kepala dusun, kepala lorong, ketua komplek perumahan pada hakikatnya adalah pelayan rakyat.
Demikian pula jabatan yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu, pilkada dan pilpres, seperti jabatan bupati, gubernur dan presiden dan anggota DPRK, DPR Provinsi, DPR RI, DPD RI mereka semua adalah pelayan rakyat.
Dasar kelahiran mereka adalah sebagai suatu kesepakatan sejumlah anggota, sejumlah anggota komunitas dan sejumlah warga negara untuk suatu negara.
Apalagi dalam sistem kepemimpinan partai politik yang bertujuan untuk mencapai kedaulatan rakyat. Jika ada partai politik yang dipimpin secara otoritarian atau top down maka sesungguhnya partai politik tersebut tidak memenuhi syarat untuk menjadi kontestan politik di negara yang konstitusinya menganut sistem demokrasi sebagaimana Republik Indonesia.
Demikian pula jika kita menemukan seorang pemimpin atau pelayan rakyat yang berhadapan dengan rakyat dan masalahnya sebenarnya mereka harus dijatuhkan, karena pada dasarnya mareka tidak memahami menjadi pemimpin di alam demokrasi. Apakah presiden, gubernur, bupati, walikota, juga kepala desa atau bahkan kepala komplek perumahan yang sistem pemilihannya secara langsung.
Meski mereka disebut sebagai pemimpin tetapi pada dasarnya kelahiran mereka berbeda dengan kelahiran seorang raja, sultan maupun nabi dalam kepemimpinan rakyat.
Oleh karena itu sistem demokrasi dikenal juga sebagai sistem kepemimpinan dari rakyat untuk rakyat. Kandungan lahirnya seorang pemimpin dari sistem demokrasi tidak bisa memimpin sebagaimana seorang raja dalam kekuasaan politiknnya.Â
Dia juga tidak bisa sebagaimana kepemimpinan perompak atau mafia yang bisa memerintah dan memposisikan dirinya sebagai pembuat perintah sesukanya jika tidak karena musyawarah anggotanya.
Kekuasaan dalam sistem demokrasi berbeda jauh dengan sistem kepemimpinan otoriter yang dikenal oleh masyarakat Indonesia dalam waktu yang begitu lama, baik dalam sistem penjajahan asing maupun sistem kepemimpinan oleh anak bangsa sendiri sejak Indonesia merdeka.
Maka dalam memimpin mereka yang dipilih langsung oleh rakyat tersebut tidak boleh melakukan perintah kepada anggotanya sebagaimana komandan terhadap anak buahnya.Â
Mereka yang dipilih langsung tersebut harus memposisikan dirinya sebagai pengkordinasi semua keputusan-keputusan yang dibuat oleh rakyat. Kalau presiden maka harus tunduk dan patuh kepada keputusan rakyat yang diwakili DPR sebagai wakil rakyat, dimana rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi atau sebagai raja dalam sistem demokrasi.
Karena rakyat terlalu ramai dan tidak ada gedung yang cukup besar kapasitasnya untuk memuat dan menampung musyawarah dan rapat-rapat rakyat maka karena itulah wakil rakyat atau DPR diperlukan untuk menyampaikan suara rakyat dalam membangun negara dan masa depannya.
Jika anda tanyakan kepada penulis, kenapa demokrasi di negara kita mulai dari atas hingga ke bawah para pemimpin selalu bertentangan dengan rakyat setelah mereka dipilih. Kenapa sebahagian besar mereka tidak mampu memenuhi janjinya sebagai pelayan rakyat?
Pertama, politik di negeri kita secara umum tidak memberikan pendidikan politik dan kepemimpinan sebagaimana sistem demokrasi dalam aktivitas kepemimpinannya.Â
Demikian juga kebijakan publik dan prilaku pemimpin yang seharusnya menjadi alat pendidikan politik rakyat justru tidak mampu dijalankan oleh para pemimpin dan tokoh politik di negeri ini dalam berbagai tingkatan.
Kedua, partai politik di negeri kita juga tidak di bangun dalam standar sistem demokrasi yang benar, para pemimpin partai politik justru membangun sistem kepemimpinan otoriter yang dibungkus dengan demokrasi.Â
Pembangunan sistem kepemimpinan rakyat yang seharusnya merekalah yang beranggung jawab. Menurut hemat penulis mereka yang tidak paham memimpin partai politik dalam sistem demokrasi inilah yang merusak sistem politik rakyat, merusak demokrasi dan merusak berbagai sisi hidup rakyat, termasuk memperkuat prilaku korupsi para pejabat bahkan penyalahgunaan kewenangan (abuse power).
Ketiga, Pendirian dan pembangunan partai politik baru sebagai bahagian merubah kondisi juga tidak memenuhi syarat, misalnya memberikan mandat pembentukan partai politik di daerah yang menunjukkan ketidakpahaman mereka para pendiri partai yang tanpa konsep pemberdayaan demokrasi dan tidak sedikitpun kita melihat bahwa mereka berkeinginan memperhatikan rakyat di daerah.Â
Hal ini tentunya sama sekali tidak memenuhi harapan dan penghargaan rakyat di daerah apalagi berharap untuk perubahan sistem politik. Misalnya begini lho, kalau di daerah dominan heterogennya maka bisa diambil wakil dari masyarakat berdasarkan asal atau suku bangsa.
Jika budaya teritorial yang dominan maka pemimpin partai pusat bisa memberi mandat pembentukan partai di daerah kepada orang-orang yang mewakili kepemimpinan partai secara teritorial seperti wilayah kepulauan satu orang, daerah perkebunan satu orang dan demikian juga tiga orang berikutnya.
Tetapi yang kita lihat dalam pembentukan partai politik di daerah tidak lebih justru hanya sekedar orang yang hanya  mempersiapkan fasilitas perangkat politik yang remeh temeh lantas memberikan kewenangan kepadanya.Â
Padahal penyiapan kantor partai itu hanya urusan kue bawang dalam partai politik. Apalagi fenomena yang kita lihat bahwa pembentukan partai baru pada akhirnya hanya menambah masalah yang lebih parah dalam ranah politik rakyat dari kondisi partai yang sudah ada yang menyakitkan rakyat.
Keempat, pemerintah tidak menjadikan pembangunan demokrasi dalam politik sebagai salah satu orientasi pembangunannya. Padahal dinegara maju pembangunan partai politik dan demokrasi adalah suatu hal yang prioritas. Karena apa? Tentu saja karana sistem kepemimpinan sebagai budaya bermasyarakat.Â
Kalau kita tinjau bagaimana sesungguhnya sistem kepemimpinan rakyat maka  kita dapat menyimpulkan bahwa selama mereka tidak memahami kesetaraan dalam pengambilan keputusan berpolitik dan bermasyarakat maka rakyat akan selalu terjajah.Â
Meski pemimpin rakyat tersebut bukan sengaja menjajah rakyat daerah tersebut, tetapi karena keterbatasan memahami kepemimpinan rakyat maka hal itupun tidak bisa dihindarkan.
Kelima, politik boros, dimana  para politisi menjalan rumus politik mashab machiavally dengan menghalalkan segala cara telah mendegradasi politik dalam "propaganda politik" yang beda tipis sebagai cara menipu atau strategi menipu rakyat
Keenam, kebiasaan politisi yang tidak belajar ilmu politik kemudian mereka menjadi tidak sabar sehingga mendapatkan suara rakyat dengan membeli suara atau memanipulasi suara rakyat dengan kekuasaan penyelenggara dan penguasa.
Hal ini menyebabkan pendidikan politik rakyat terjebak dalam lingkaran setan, sehingga rakyat dengan sendirinya mengalami pembodohan politik dalam jangka panjang dalam kepemimpinan baik dalam organisasi masyarakat maupun dalam organisasi masyarakat ditingkat bawah baik bidang umum maupun profesinya.
Ketujuh, masyarakat pemilih menjadi apatis dengan cara-cara politisi melakukan kampanye politiknya dan berkomunikasi dengan rakyat sehingga mereka menjadi korup, dimana pemilu, pilkada dan pilpres menjadi momentum rakyat mendapatkan uang receh dalam politik untuk memenuhi kebutuannya.
Kedelapan, kecenderungan melakukan pekerjaan politik secara transaksional dan cukup korup inilah yang menyebabkan para politisi tidak mampu memenuhi janji pemilu karena mereka wakil rakyat dan kepala daerah hanya berpikir bagiamana mendapatkan uang untuk menutupi hutang dan biaya kampanyenya yang tidak seimbang.
Demikianlah beberapa sumber masalah yang menimbukan ranah politik kita di tanah air tidak normal dan politik di negeri ini salah kaprah. Hal ini sangat besar dampaknya terhadap penghabisan uang negara untuk para politisi yang duduk sebagai anggota parlemen dan kepala daerah juga sebagai presiden.
Salam
Gambar : pexels
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H