Oleh: Tarmidinsyah Abubakar
Kondisi kehidupan rakyat sangat bergantung pada bagaimana pengelola negara dan mentalitas pelaku pemerintah dalam membuat serta melaksanakan kebijakan publik untuk mengarahkan kehidupan masyarakat. Jika pemerintah hanya bisa berpikir untuk kepentingannya kekuasaan semata tanpa bisa melihat kehidupan rakyat secara komprehensif sebagai suatu bangsa, maka kondisi sosial dalam negara akan kering kerontang tanpa kisi-kisi kehidupannya.
Rakyat akan melupakan budaya dan mereka akan meninggalkan kehidupannya yang normatif dan hidup rakyat hanya dalam dua perkara uang dan kerja.
Dimana-mana dalam kehidupan masyarakatnya hanya bicara uang dan kerja, kalau kondisinya sudah merata seperti fenomena diatas maka faktor-faktor lain dalam hidup dengan sendirinya selain uang dan kerja akan semakin menghilang. Pada akhirnya muara hidup itupun akan mengarah pada sistem hidup yang hipokrit dalam berbagai bidang, apakah politik, budaya dan bahkan dalam agama, orang-orang akan mempertimbangkannya dengan uang dan dianggap sebagai rezeki dan kemudahan dalam kehendak tuhan.
Karena pemahaman beragama yang salah kaprah maka agamapun akan terancam dan dianggap sebagai faktor pelemahan dalam mencapai tujuan hidup masyarakat untuk memperoleh sebanyak-banyaknya uang dalam hidup mereka.
Lebih berbahaya lagi, orang-orang akan melakukan ibadah karena ketakutan tidak mendapat rezeki, sehingga ibadahnya disandera oleh faktor rezeki.
Begitulah dampak hidup masyarakat dengan peradaban yang hanya mengandalkan uang dan kerja semata, ajaran-ajaran kerjasama dalam hidup menjadi lemah dan masyarakat akan melakukan segala cara untuk memperoleh uang karena semua berpunca kepadanya untuk bertahan hidup dan aktivitas kehidupan rakyat akan diwarnai secara total untuk itu.
Pertanyaannya, apakah membangun rakyat memang demikian arahnya? Atau kecenderungan rakyat mengarah kepada kerja dan uang semata tanpa mempertimbangkan pentingnya faktor-faktor lain dalam kehidupan mereka. Sehingga aktivitas orang yang tanpa mempertimbangkan moral dan mentalitas asal banyak uang meskipun merampok akan mendapat dukungan masyarakat banyak dan mereka mengelu-elukan dengan pujian seperti slogan penyelamat, dewa dan bermacam pujian untuk diposisikan sebagai "Tuan" yang menurut mereka adil dan murah hati.
Padahal yang terjadi sesungguhnya apa? Tidak lain adalah penggunaan jabatan bernegara yang tidak pada tempatnya karena ketidakmampuannya membangun bangsa dan negara. Maka mereka mengandalkan kekuasaan dan jabatan dengan uang dan fasilitas negara sebagai tujuan kesuksesan warga negara bukan pada bidang-bidang produktifitas yang mengarah pada kerjasama dan solidnya rakyat untuk membangun budaya dan peradaban yang menunjukkan bangsanya yang luhur.
Karena itulah pemimpin bangsa dan pemimpin rakyat adalah seorang guru yang bisa mendidik rakyatnya dengan prilaku dan ketauladanan serta kebijakan publik yang mendidik anak bangsa.
Kalau kita mempelajari sejarah bangsa-bangsa didunia tentu kita akan mengenal pemimpin-pemimpin yang baik dan jahat demi membangun bangsa dan masyarakatnya. Misalnya Gandhi di India, Ahmadenijad pemimpin di Iran dan lain-lain yang mengajarkan kehidupan rakyatnya dengan kesederhanaan dan mereka dikenal di dunia sebagai guru bangsa meskipun tidak lagi menjabat sebagai presiden atau perdana menteri atau sudah lama meninggalnya.
Tetapi mereka yang berkuasa secara arogan terhadap rakyatnya tidak akan dikenal diluar, karena kepemimpinannya hanya berkisar pada mengelola kekuasaan atas rakyatnya semata. Berbeda dengan pemimpin yang arogan dan mentalitas buruk tetapi menjajah bangsa lain pasti mereka terkenal menjadi pahlawan negerinya dan pemimpin di dunia meski mereka diketahui jahat.
Para pemimpin yang dipilih rakyat  ini tentu mereka berpeluang menjadi apa dimata masyarakat dunia, terutama kepemimpinan terhadap rakyatnya berandil memberi nilai kepada mereka dimata masyarakat dunia, apakah mereka sebagai penguasa yang hanya berkutat dalam komunikasi internal dan melupakan komunikasi politik ekternal yang menempatkan posisinya sebagai pahlawan atau sebagai pecundang dalam kehidupan masyarakat di dunia.
Karena itulah pemimpin sekelas presiden itu harus mengacu pada ilmu pengetahuan dalam kepemimpinan sosial bukan seseorang dengan pola kepemimpinan militer yang sekedar mengandalkan kekuasaan jabatan dan keberanian atau kenekatan dalam melakukan politik sebatas berani berhadapan dengan seseorang lainnya yang mengandalkan hal yang sama sebagai alat politik pragmatisnya.
Karena itulah seseorang yang memiliki kekuasaan tidak bisa dengan semena-mena merubah budaya masyarakat meski budaya itu dianggap tidak memberi manfaat kepada rakyatnya jika dinilai dari kerja dan uang semata. Padahal dengan budaya itu warga masyarakat banyak hidup dan berkarir disana dan mereka beresiko harus meninggalkan wawasan dan ilmunya yang sudah puluhan tahun warga masyarakat mempelajarinya.
Karena itulah rakyat hidup dan mengembangkan budayanya yang pada akhirnya menjadi alat yang berharga dalam memperoleh kehidupannya yang sejahtera. Dengan begitu maka tujuan dalam konstitusi negara berpotensi dapat dicapai yakni menuju masyarakat adil dan makmur.
Salam
Gambar : Pexels
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI