Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perempuan Kampung Jauh Lebih Kuat dari Lelaki

9 Maret 2021   13:39 Diperbarui: 20 Maret 2021   22:53 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : Pixels

Perempuan biasanya dipersepsikan sebagai makhluk lemah yang butuh kasih sayang dari kaum lelaki. Petuah ini berlaku dalam perspektif rumah tangga ketika berhadapan antara suami dan istri dan simpatisan itu berdatangan untuk istri (perempuan) dalam hidup rumah tangga dalam bermasyarakat.

Begitu juga dalam agama bahwa kaum Hawa adalah tulang rusuknya kaum Adam, dengan kata lain perempuan itu adalah bahagian terpenting dari kaum lelaki bahkan bagaikan tulang rusuknya.

Dalam kajian kehidupan berumah tangga antara lelaki dan perempuan sehari-hari tidak selamanya demikian, karena sesungguhnya perempuan nyatanya lebih kuat dari lelaki.

Kenapa begitu? Lihatlah pekerjaan  dalam rumah tangga sesungguhnya yang bertanggung jawab penuh adalah dominan kaum perempuan atau istri, meski ada juga istri yang liar dan tidak bertanggung jawab dalam rumah tangganya.

Perempuan dalam rumah tangga, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat diartikan sebagai seorang wanita yang mengatur penyelenggaraan berbagai macam pekerjaan rumahtangga (tidak bekerja di kantor). Ibu rumah tangga adalah wanita yang banyakmenghabiskan waktunya dirumah dan mempersembahkan waktunya terebut untuk mengasuh dan mengurus anak anaknya menurut pola yang diberikan masyarakat umum (Dwijayannti, 1999, hal. 32).

Dalam bahasa lain dipahami bahwa ibu rumah tangga adalah wanita yang mayoritas waktunya dipergunakan untuk mengajarkan dan memelihara anak anaknya dengan pola asuh yang baik dan benar (Kartono, 2011, hal.18).

Pengertian Rumah Tangga Islami Menurut Ensiklopedia Nasional jilid ke-1, yang dimaksud dengan "rumah" adalah tempat tinggal atau bangunan untuk tinggal
manusia. Sementara rumah tangga memiliki pengertian tempat tinggal beserta penghuninya dan apa-apa yang ada di dalamnya. 

Secara bahasa, kata rumah (al bait) dalam Al Qamus Al Muhith bermakna kemuliaan; istana; keluarga seseorang; kasur untuk tidur, bisa pula bermakna menikahkan, atau bermakna orang yang mulia.

Dari makna bahasa tersebut, rumah memiliki konotasi tempat kemuliaan, sebuah istana, adanya suasana kekeluargaan, kasur untuk tidur, dan aktivitas pernikahan. Sehingga rumah tidak hanya bermakna tempat tinggal, tetapi juga bermakna penghuni dan suasana. Rumah tangga islami adalah rumah yang di dalamnya terdapat sakinah, mawadah dan rahmah (perasaan tenang, cinta dan kasih sayang). Perasaan itu senantiasa melingkupi suasana rumah setiap harinya. Seluruh anggota keluarga merasakan suasana "surga" di dalamnya (Q.S. Ar-Ruum:21).

Jika kita kaji kehidupan dilingkungan masyarakat akar rumput di negeri kita, tentu kita akan benyak mendapatkan data yang mengetengahkan fungsi perempuan atau istri yang sangat bertanggung jawab dalam pemeliharaan keutuhan rumah tangganya.

Pekerjaan-pekerjaan utama dalam rumah tangga yang utama seperti merawat, mendidik dan mengembangkan pendidikan anak pada sebahagian besar keluarga ada ditangan seorang istri. Apalagi suami dalam pekerjaan-pekerjaan yang pendapatannya diperoleh dengan penyitaan waktu dalam rumah tangga.

Begitu juga pekerjaan alamiah yang dimulai dengan melahirkan dan merawat calon pemimpin-pemimpin bangsa dari mereka bayi, mulai mengurus buang air besar dan air kecil secara rutin hingga mereka tumbuh sebagai remaja bahkan ada juga hingga mereka sudah dewasa usianya.

Kondisi kesehatan dan pengenalan pendidikan bahkan mulai mereka merangkak hingga berjalan adalah tanggung jawab perempuan dengan angka persentase yang fantastis atau mutlak. Sedikit peran suami dalam membimbing pertumbuhan anak. Maka setiap orang dibumi ini selalu saja dibesarkan dan berkembang dengan bahasa ibunya masing-masing dan bukan bahasa ayahnya.

Anak sendiri juga secara dominan akan memilih keberpihakan kepada ibunya jika membuat pilihan antara kedua orang tuanya, jika mereka diharuskan memilih.

Kehidupan rutin perempuan dalam rumah tangga hanya bisa dilakukan dengan tingkat kesabaran yang sangat tinggi. Jika lelaki diposisi ini penulis yakin hanya bisa dilakukan oleh para kaum lelaki yang jumlah dapat dihitung dengan jari.

Perempuan di akar rumput di negeri ini adalah penyabar yang sempurna, bahkan ia harus menerima dan menikmati hidup dalam kesabaran dimana pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang tidak habisnya. Jika kita ukur dengan nilai uang maka peran dan fungsinya tidak dapat diukur dan diberi batasan.

Bayangkanlah pekerjaan ekstra lainnya seperti harus mencuci pakaian anggota keluaranya yang sering menjadi tugas perempuan di kampung. Hal ini masih bisa disaksikan dalam kehidupan keluarga yang tidak asing masih berlaku. Padahal mencuci pakaian suami bukan sesuatu yang harus bagi kehidupan warga yang normal. Karena tanggung jawab bersama antara suami dan istri. Demikian pula menyiapkan makanan bahkan memasaknya bukan kewajiban istri bagi kehidupan rumah tangga modern.

Tetapi hal ini masih merupakan pekerjaan utama bagi kaum istri atau kaum perempuan dalam keluarga tradisional terutama mereka yang hidup diwilayah pedesaan.

Fenomena ini sering tidak menjadi perhatian dalam kehidupan kita sehari-hari karena sudah menjadi kebiasaan sehingga tanggung jawab ini telah mendegradasi fungsi istri pada posisitioning dalam rumah tangga. Lihatlah bagaimana lampu di rumah kita yang sepanjang malam tidak pernah berhenti menyala. Kapan kita menyadari berharga hanya ketika listrik mati atau mengalami gangguan dan kesadaran kitapun baru tumbuh ketika lampu tersebut mati. Bahkan sebahagian masyarakat mencaci maki perusahaan listrik negara.

Uniknya perempuan tidak pernah menuntut ganti rugi atau biaya mereka melakukan pekerjaan rutinnya meski rumah tangganya terancam dan berhadapan dengan suaminya. Kebiasaan membebani istri dengan aktifitas pekerjaan rumah tangga yang telah menjadi biasa tersebut menyebabkan seseorang memandang istrinya sebagai kenyamanan suami dalam hidup, yakni minimal ada yang memasak dan mencuci pakaiannya. Pemahaman ini menjadi budaya dalam kehidupan warga masyarakat kita yang berlaku hingga hari ini dalam dominasi model tersebut.

Setiap hari lelaki keluar rumah dan menikmati kehidupannya secara bebas meski mereka dalam kapasitas pekerjaan untuk memperoleh pendapatan. Tetapi perempuan harus menerima terbelenggu dalam aktivitas dan pekerjaan rumah tangganya. Pernahkah kita berpikir tentang ketidakadilan antara kehidupan suami dan istri atau antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan kita?

Saya yakin sedikit warga masyarakat kita yang pandai merasa dan hanya membiarkan ketidakadilan ini sebagai bentuk keuntungan mutlak lelaki dalam rumah tangga.

Lalu dalam masyarakat patrilinial sebagaimana sebahagian besar masyarakatnya melihatnya aneh kehidupan masyarakat matrilinial tidak masuk akal. Padahal justru normal dalam perspektif pemberdayaan dan kesetaraan perempuan. Karena harta dalam rumah dan anak dominan tanggung tanggung jawab istri dan merupakan miliknya. Jika tidak maka perempuan adalah lebih tergolong sebagai korban kekuasaan lelaki dalam berumah tangga. Karena lelaki terlalu dominan kekuasaanya meski bentuk komunikasi atau hubungannya dengan ikatan cinta dan kasih sayang.

Karena itulah masyarakat modern mensetarakan antara lelaki dan perempuan sebagaimana peran dan fungsinya dalam rumah tangga, sehingga rumah tangga mereka hanya ada ketika keseimbangan itu tetap terpelihara bukan tergantung pada tingkat kesabaran seorang istri.

Dalam hal ini penulis memandang bahwa kehidupan warga masyarakat Indonesia di akar rumput memberi indikasi bahwa perempuan jauh lebih kuat dari laki-laki. Hanya saja hukum tersebut belum sepenuhnya dapat dituntut oleh perempuan sebagaimana perempuan di negara yang sudah lebih maju. Karena perempuan kita masih dominan dalam belenggu rumah tangga yang turun temurun menjadikan istri sebagai pembantu rumah tangga meski dalam pandangan masyarakat masih dalam katagori terhormat.

Salam

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun