Lalu siapakah yang memberi pendidikan politik rakyat? Jawabnya adalah para avonturir politik yang mengkhianati konstitusi partai politiknya.
Kapan hal ini berakhir? Ketika penyalahgunaan kekuasaan negara dan partai politik sampai pada klimaknya, dimana rakyat menjadi jenuh dan stagnan dalam pembangunannya. Selanjutnya mereka berkesadaran terhadap pentingnya politik dalam hidup bernegara. Atau ketika ada penggerak revolusi atau reformasi sebagaimana terjadi pada tahun 1998 di Indonesia.
Saat itulah para pendhalim hak politik rakyat menjadi sasaran kemarahan politik, dan para avonturir itupun sudah tidak sanggup membiayai politiknya karena sistem politik yang salah kaprah. Akhirnya menekan dan memeras kader dan anggota politiknya sendiri.
Sementara itu kerugian dalam politik seperti ini sangat parah bagi kekuasaan rakyat dalam sistem negara. Rakyat akan menjadi terjajah menjadi budak dan pemimpin politik menjadi tuan atau majikan rakyat. Siapapun yang bertentangan dengan pemimpin partai politik akan mendapat sanksi hidup baik masyarakat dalam partai politik pusat maupun masyarakat di daerah bahkan sama sekali tidak dihitung dalam politiknya. Bahkan menjadi korban politiknya meski masyarakat tidak sepenuhnya paham tentang logika tersebut.
Karena kapahaman dan wawasan terbatas maka prilaku ini menjadi kecenderungan bahkan masyarakat menganggap mereka hanya bisa melihat mereka sebagai pemenang dan pemimpin politiknya. Padahal merekalah yang secara terorganisir merusak kehidupan rakyat dan negara dalam waktu yang lama. Karena itulah kehidupan rakyat negara terjajah akan menjadi budaya yang hanya bisa dipulihkan dalam waktu yang lama. Karena prilaku para pengkhianat politik selalu menjadi kebijakan publik dan mendidik rakyat secara masif dan merekalah penjajah baru anak bangsanya sendiri.
Salam
Sumber gambar : freeimages.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H