Pada waktunya masyarakat diam itu akan bangkit dan terjadilah pemberontakan sosial terhadap negara dan pemerintah sedang berkuasa. Sehingga secara terpaksa mereka melakukan aksi politik inkonstitusional namun karena telah menjadi kecenderungan sosial maka rebutan atau pemaksaan kehendak rakyat dapat menjadi kostitusional karena partai politik dianggap tidak punya kemampuan sebagai asset politik rakyat atau alat politik rakyat.
Sebagai contoh yang pernah dialami negeri ini pada tahun 1966 dan tahun 1998 yang lalu. Dimana momentum rakyat menurunkan Soekarno dan Soeharto dari presiden dengan cara paksa oleh rakyat.
Meskipun yang melakukan aksi politik itu pembantunya presiden tetapi khalayak yang melek politik memahami aktivitas politik itu sebagai pekerjaan yang dipertanggung jawabkan oleh presiden.
Dengan kondisi politik sosial saat ini mungkin saja penguasa dapat melakukan pekerjaan politik semacam ini. Karena masyarakat tidak memahami politik yang sesungguhnya. Yang dikonsumsi oleh masyarakat hanya propaganda politik kemudian membangun opini seakan memang begitulah normalnya politik bisa melakukan segala cara.
Padahal politik itu mengilustrasikan suatu bangsa, apakah abal-abal, kanibal atau bangsa yang beradab. Karena itulah pemimpin dibutuhkan wawasan bernegara dan seseorang yang cukup kualitas dan kapasitasnya sebagai pemimpin rakyat banyak yang diikat dengan organisasi bernama negara.
Kita sebagai rakyat tentu tidak ingin melihat negara ini hancur lebur dan rakyat sengasara dalam suatu kepemimpinan. Karena negara bagi rakyat secara umum adalah alat untuk membawanya pada peningkatan kesejahteraan. Sementara bagi politisi negara bisa saja dijadikan alat mainannya sesuai selera dengan politik yang menghalalkan segala cara yang mengutamakan kekuasaan daripada kesejahteraan. Mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok diatas kepentingan rakyat banyak.
Kenapa rakyat tidak boleh tinggal diam menyaksikan sistem politik ini, tentunya menyebabkan runtuhnya pembangunan demokrasi sebagaimana konstitusi negara yang merupakan kesepakatan seluruh rakyat Indonesia.
Partai politik sejak sepuluh tahun belakangan ini tidak nyaman melaksanakan sistem demokrasinya. Berbeda dengan partai politik yang memang tidak menerapkan sistem demokrasi atau mereka memelihara sistem militeristik pada organisasi sipil. Dan jika rakyat memilihnya maka itu adalah bahagian dari ketertinggalan daya pikir rakyat itu sendiri.
Partai politik yang melalui sistem pemilihan akan berhadapan dengan pengkhianatan dari dalam (internal). Ada sinyalemen penguasa sebagai kapitalizem yang membiayai politik para avonturir demi menundukkan politik partai yang berorientasi pada sistem kepemimpinan demokratis. Hal iniemungkinkan karena alat tukar politik di negara ini masih berorientasi pada alat tukar barang dan jasa sebagaimana dalam perdagangan biasa.
Apalagi uang sogok masih menjadi alternatif untuk memelihara kebutuhan primery pemain politik, sehingga masyarakat politik belum cukup syarat sebagai anggota musyawarah yang berperan mengambil keputusan kehidupan publik.
Jika hal ini terpelihara secara rapi maka dapat dipastikan bahwa pemimpin partai politik sebahagian besar adalah justru pengkhianat partai politik itu sendiri. Sedangkan pimpinan daerah yang memberi suara adalah para politisi yang menjual kepala masyarakat di daerahnya untuk kepentingan pribadi.