Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Memantau perkembangan Partai Politik PAN di Kota Banda Aceh yaitu Ibukota Provinsi bekas konflik begitu menarik, karena pada awalnya Kota Banda Aceh adalah Kota yang dominan pemilih partai berlogo matahari ini.Â
Pemilu 1999 ketika pertama kali diselenggarakan pemilu dimasa reformasi PAN di Kota Banda Aceh memperoleh 10 (sepuluh) kursi DPRK.
Menariknya pada setiap pemilukada di Kota Banda Aceh selalu menjadi kontestan, yang menempatkan kadernya baik sebagai calon Walikota maupun Wakil Walikota. Hal ini juga akan berlangsung dalam pilkada ke depan baik tahun 2022 atau tahun 2024.
Pada masa awal kehadiran PAN di Kota Banda Aceh disambut sangat antusias, dan belum ada partai lain yang dapat memecahkan rekor kemenangan PAN dalam pemilu dengan sepuluh kursi. Meskipun kemudian paska penyelesaian konflik, Demokrat berhasil menguasai koloborasi dengan politik lokal di seluruh Aceh dengan tujuh kursi DPR RI tetapi belum mampu mengalahkan rekor politik PAN di Kota Banda Aceh. Namun faktor lain dalam pilpres yang diikuti Amien Rais saat itu mampu memperoleh (54 persen) suara diseluruh Aceh yang kemudian suara itu dialihkan kepada SBY di putaran kedua Pilpres pertamakali pemilihan langsung tahun 2004.
Bagaimana pandangan masyarakat Kota Banda Aceh kala itu terhadap PAN? Mereka menganggap sebagai partai yang membawa pembaharuan dalam berbangsa dan bernegara. Sehingga kalangan terdidik dari semua kampus negeri dan swasta begitu solid bersama partai tersebut. Selain itu tidak kurang para mahasiswa melihat sebagai model baru dalam bernegara dengan pintu masuk dalam kesetaraan sebagai warga negara, dengan mengusung demokratisasi bagi warga dan daerah.
Meski saat itu belum terbukanya seluruh pola dan sistem politik, namun masyarakat antusias melihat harapan terhadap perubahan begitu besar dengan kehadiran partai yang di dirikan pejuang reformasi tersebut.
Pada masa-masa berikutnya realitanya memang tidak seindah yang dibayangkan, karena dalam perjalanannya terjadi berbagai peristiwa politik akibat partai PAN tidak mengendalikan kekuasaan dengan kepercayaan yang begitu besar.
Ketua DPRK kala itu masih dipilih dan PAN tidak memperoleh kursi itu, yang direbut oleh PPP. Sementara PAN hanya memperoleh kursi Wakil Ketua DPRK. Akibatnya persaingan Wali Kota terjadi secara brutal yang menyeret Ketua DPRK dan semua anggota DPRK bahkan Walikota juga dalam kasus keuangan daerah dan berhadapan dengan kasus penyalahgunaan kewenangan (abuse power).
Pada pemilu berikutnya sebenarnya PAN masih memperoleh kesempatan merebut pemenangan suara di Kota Banda Aceh melalui pemilukada. Tapi terlambat selangkah bahkan kemudian salah fatal dalam memutuskan calon Walikota dan hal ini dimanfaatkan secara sempurna oleh partai Demokrat yang lebih terbuka dan mengangkat Walikota sebagai Ketua Partai itu ditingkat provinsi. Padahal awalnya sang Walikota terpilih tersebut, harapan besarnya maju dari partai PAN sebagai Partai utamanya tapi sebahagian besar kader PAN Kota Banda Aceh menolaknya (penulis adalah saksi hidup sasaran yang diserang).
Kekuasaan politik di Kota Banda Aceh bagi PAN hilang dan diambil alih oleh partai lain dan PAN terseok-seok dalam kekuasaan, karena kalah dalam pemilihan Walikota.
Namun perolehan kursi PAN di Kota Banda Aceh masih dalam peringkat lima besar, padahal memperoleh kekuasaan kembali bagi PAN sangat terbuka peluang, karena partai lain juga redup dalam pengembangannya.
Dalam teori politik dikenal terminology bahwa seseorang yang pernah memilih atau mendukung suatu partai politik karena ideology akan sulit meninggalkan partai tersebut, karena mereka tersosialisasi sebagai orang berjalan di depan ditengah masyarakat.
Lalu bagaimana kondisi PAN di Kota Banda Aceh sekarang?
Pertama, PAN memang masih mampu menempatkan kadernya sebagai Wakil Walikota melalui pemilihan DPRK, sejak pergantian karena meninggalnya Walikota sebelumnya. Kemudian ketepatan memilih calon Walikota yang elektabilitasnya memang sukses memasuki pemilihan dalam pemilukada. Faktor tersebut masih bisa menempatkan kader sebagai wakil Walikota.
Harapan Baru Pemilih
Tetapi secara internal, perlu dievaluasi bahwa dalam teori politik, bahwa pemilih tidak pernah berterimakasih. Mereka tidak akan mempertimbangkan apa yang pernah kita berikan dan sajikan, tetapi mereka akan menanti harapan baru yang lebih prospektif. Tetapi dalam politik sebagaimana di negeri kita partai politik memberi bisa diartikan diluar memberi dalam kapasitas politik tapi bisa diartikan memberi barang dan jasa sebagaimana pemberian diluar politik.
Bagaimana memberi harapan baru kepada pemilih? Salah satu cara yang paling efektif adalah menampilkan kader baru sebagai pimpinan. Karena masyarakat cenderung jenuh dengan kondisinya dan prilaku seseorang pemimpin yang defensif. Karena itu juga maka diperlukan penyegaran dan pengkaderan sehingga bisa menampilkan agresifitas dalam politik dan kepemimpinan.
Ujian Kepemimpinan
Kemudian seorang kader yang pernah diangkat sebagai pimpinan tidak mampu berbuat banyak untuk mengembangkan partai, apalagi menjadi bahagian dari pimpinan daerah tentu saja dapat dikurangi perannya agar hanya berkonsentrasi pada tugasnya karena kekurangannya akan menentukan masa depan semua kader di suatu daerah. Kenapa demikian?
Dalam Teori politik di jelaskan bahwa semakin tinggi jabatan publik seseorang semakin besar pula investasi yang harus dikorbankan untuk politik jika tidak maka kader lain menjadi korban ketidakpercayaan masyarakat pemilih. Pengorbanan bagaimana? Tentu tergantung ranah politiknya. Kalau politik masih sebatas meraih suara dengan uang dan fasilitas maka semakin besar pula uang dan fasilitas untuk investasi berikutnya. Jika dengan faktor politik yang benar maka semakin perlu menambah ilmu dan kerja keras serta bersikap untuk membela rakyat dalam aktivitas pemerintahannya
Begitupun dalam kearifannya mengatur dan membangun kekaderan yang dapat menimbulkan tanda tanya simpatisan, walaupun hanya sekedar menempatkan posisi kader pada jabatan dalam partai. Hal ini bisa saja pimpinan partai berlaku tidak fair dan mendhalimi kader lainnya karena faktor salah paham dalam makna mendukungnya.
Kemudian integritas pribadi juga dapat di evaluasi, apakah konsisten ia menyelesaikan tanggung jawabnya secara keseluruhan? Baik tanggung jawab partai, tanggung jawab kader dan tanggung jawab pribadinya bahkan terkait dengan hutang dan piutang dalam kapasitas politiknya.
Akumulasi semua masalah pengelolaan partai politik harus dipahami bahwa jabatan yang besar membutuhkan investasi politik yang juga cukup besar dan sangat tergantung tingkat investasi yang bagaimana. Apakah masyarakat harus disogok dengan uang dan fasilitas? jika demikian maka sogok itu juga yang lebih besar.
Kalau mamang sedemikian cara mendapat dukungan maka perlu injeksi investasi yang lebih besar dalam bidang tersebut. Tetapi jika investasi dengan faktor politik yang benar maka anda hanya perlu bekerja keras untuk pekerjaan politik yang benar dalam melayani publik dan bersikap untuk kepentingan publik.
Karena itulah maka partai politik yang dapat mengukur ukuran daya ungkit politik dan daya investasi serta keseimbangannya sudah dapat memenangkan setengah pemilihan.
Kembalinya Kekuasaan PAN
Penempatan Walikota Banda Aceh sebagai ketua PAN adalah bentuk kembalinya kekuasaan Partai PAN dalam kekuasaan politik di Kota Banda Aceh. Dalam perspektif partai politik kondisi ini tentu saja sebagai ujian besar bagi PAN sendiri untuk mempertahankan dukungan pemilihnya yang pada dasarnya, masyarakat Kota Banda Aceh sudah pernah terbudayakan dalam memilih partai itu sebagai pemenang pemilu.
Penyegaran pimpinan ini tentunya menuntut kerja keras dan opini yang baik bagi masyarakat Kota Banda Aceh, karena mempertahankan kekuasaan politik justru lebih berat daripada merebut kekuasaan politik. Dalam hal ini walikota akan mempertaruhkan kekuasaannya dan sekaligus mempertaruhkan partai politik yang diketuainya dalam pertaruhan pilkada ke depan.
Dengan perkembangan sumber daya manusia yang semakin baik dan tingkat wawasan politik masyarakat semakin baik, minimal dengan berkembang dan mudahnya masyarakat memperoleh informasi tentunya politik akan cenderung dinamis sebagaimana teori dan ilmu politik yang normatif, karena masyarakat tidak akan meraba-raba lagi dalam politik. Mereka akan paham yang wajar dan tidak wajar, mereka akan paham yang layak dan tidak layak dalam politik.
Ketika indeks masyarakat dalam membaca semakin tinggi maka politik juga akan berorientasi pada ilmu politik yang sebenarnya, ia tidak akan berkutat pada politik yang sebatas harapan rakyat dalam mencari Tuan Yang Adil atau Orang Utama yang membantu rakyat. Tetapi tuntutan transparansi dalam kepemimpinan daerah dan pimpinan sebagai kordinasi keadilan semakin besar gugatannya bila masyarakat sudah melek politik.
Dengan ilustrasi yang demikian pada masyarakat perkotaan sebagaimana di Kota Banda Aceh maka pengkaderan, penyegaran dan peremajaan untuk memberi daya ungkit yang baru bagi partai politik mutlak menjadi tuntutan partai politik yang berguna untuk memberi harapan baru dalam kehidupan warganya. Mereka yang cepat akan mudah mengatasi dan bisa melakukannya tapi mereka yang terlambat akan ditinggal kereta dalam politik kota walupun jabatan besar pemerintahan pada kadernya.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H