Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Lebih Baik Tak Menjadi Pimpinan Partai di Daerah daripada Melemahkan Otonomi Daerah

22 Februari 2021   08:55 Diperbarui: 22 Februari 2021   09:31 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Berbagai dinamika terjadi dalam partai politik yang mengilustrasikan begitu luasnya dunia politik yang sesungguhnya. Namun semua itu berpulang kepada seseorang yang menjalaninya, ada yang merasa bahwa politik sebatas mengumpulkan dukungan masyarakat, ada yang lebih pragmatis begaimana trik memperoleh suara. Sah-sah saja selama hati nurani mereka merasa mampu menjalaninya dengan kelemahan-kelemahan pribadinya.

Sebagai pengalaman pribadi penulis juga ingin menyampaikan sekelumit harapan dan sikap dalam politik dalam perjalanan menjadi fungsionaris partai politik di wilayah Provinsi. Dimana sikap ini kemudian justru menjadi masalah yang berat bagi perjalanan politik personal warga meski belum dirasakan oleh para pengikut partai politik lain di daerah.

Penulis ketika dalam partai politik adalah seseorang yang bersikap konsisten mengawal aturan partai secara ketat dan sedapat mungkin menanamkan prinsip tersebut kepada setiap kader yang mendengar pidato, materi bahasan politik penulis.

Sehingga apapun yang menjadi prinsip-prinsip perjuangan partai baik terkait dengan demokrasi maupun aturan main internal partai selalu saja penulis kawal agar terlaksana secara baik, sehingga tidak ada kader yang melakukan pencapaian tahapan politiknya dengan cara-cara diluar mekanisme partai politik yang beradab.

Kader juga tidak seharusnya menempuh tujuan politiknya dengan segala cara atau menggunakan mashab politik ala Niccolo Machiavalli politisi asal Italy yang sangat berpengaruh dalam teori politik dan terkenal dengan bukunya "Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (Diskursus tentang Livio) dan Il Principe (Sang Pangeran)".

Dengan pemikiran dan sikap itu kemudian penulis konsisten dengan sikap politik dan selalu berorientasi mengawal dan memperjuangkan ajaran partai yang sejalan dengan pengembangan sistem demokratisasi dalam berpolitik dan bermasyarakat.

Disamping tujuan mengendalikan politik disana juga terdapat peejuangan untuk perubahan masyarakat terutama dalam pendidikan dan pemikiran politik masyarakat. Kenapa ada dua tujuan besar dalam politik penulis? Tentu saja karena penulis lahir dan hidup sebagai warga masyarakat Aceh yang kenyang hidup dalam konflik politik dan senjata.

Mengetahui permasalahan sosial inilah yang menginspirasikan penulis membuat tujuan-tujuan politik untuk perubahan pola pikir masyarakat agar konflik politik tidak mudah berulang di tanah kelahiran.

Secara umum seluruh prinsip-prinsip tentang pemikiran politik tersebut bermuara pada prinsip mempertahankan hak politik warga masyarakat secara keseluruhan meskipun tidak banyak masyarakat yang memahami sebagai suatu sikap dalam pengawalan hak politik warga negara di daerah.

Misalnya dalam mekanisme pemilihan ketua partai politik, penulis senantiasa berpihak pada prinsip demokrasi dimana kesetaraan hak kader untuk menyatakan pendapat dan sikapnya dihargai sama dengan hak pimpinan sekalipun. Pimpinan tentunya hanya memiliki hak lebih dalam mempengaruhi yang lebih besar dengan pemikiran, prilaku dan sikap serta kearifan-kearifannya dalam memimpin.

Karena itu penulis mengalami hambatan yang besar dalam berpolitik bahkan penulis memahami sepenuhnya mendapat halangan dari para konspirator yang sebahagian besar adalah sikap politik warga daerah di Indonesia.

Pada dasarnya, pelajaran-pelajaran politik warga daerah tidak akan pernah tercapai, mereka larut dalam permainan kekuasaan para pemain politik di pusat yang cenderung membangun kekuasaan partai politik dan kekuasaan politik yang sentralistik secara pragmatis demi stabilitas politik pribadi maupun kelompoknya. Hal ini sesungguhnya biasa saja dalam perspektif pengurus pusat partai politik, tetapi jika masyarakat daerah tidak cukup wawasan dan argumentasinya untuk menghambat.

Itulah faktor kenapa pimpinan pusat partai politik di negeri kita terbangun dalam kekuasaan sentralistik yang merugikan masyarakat daerah. Sebagai contoh yang paling mudah dipahami masyarakat adalah keputusan tentang penetapan calon Bupati dan gubernur seharusnya menjadi kewenangan pimpinan daerah, sementara penetapan untuk calon presiden hak pengurus pusat.

Demikian pula kewenangan penetapan calon anggota legislatif daerah sedianya hak kewenangan politik pengurus partai politik di daerah, sementara kewenangan penetapan calon DPR RI merupakan haknya pengurus pusat. Apalagi kewenangan penetapan para pimpinan partai politik di tingkat Kabupaten/Kota seharusnya kewenangan pimpinan partai di daerah, karena pengelolaan partai politik sangat menentukan otonomi daerah mengingat kader partai adalah pelaku pembuat kebijakan daerah melalui parlemen di semua daerah.

Penulis menganggap prinsip kewenangan ini begitu fatal dalam politik dan disinilah letaknya lemah dan kuatnya masyarakat daerah dalam politiknya. Jika sistem sentralitik dalam partai politik ini terus berjalan maka mentalitas masyarakat daerah bisa dipastikan 100 (seratus) persen akan menjadi penjilat.

Tetapi karena masyarakat menganggap hal ini tidak penting, sehingga masyarakat menganggap kitalah yang justru salah dan dipojokkan dalam politik. Jika saja mereka pahami prinsip dan sikap politik secara benar pastilah mereka akan marah kepada pimpinan partai politik pusat yang berprilaku rakus kekuasaan dan tidak memberi hak politik warga masyarakat di daerah.

Lalu, jika ada yang bertanya partai apakah yang tidak memberi hak politik kepada pimpinan daerahnya?

Maka ketika kita melihat realita partai politik di negeri kita pertanyaannya harus dibalik.

Dibalik bagaimana?

Yang benarnya begini lho,,,,,,

Apakah ada Partai Politik yang memberi hak politik kepada masyarakat daerah melalui kewenangan pimpinan daerahnya?

Jawabnya semua ikut trend. Trus Trend apa? Tren politik pelemahan masyarakat daerah. Mohon maaf ini bukan soal antara Jawa - Aceh atau Papua dan Maluku tetapi soal Desentralisasi Politik Nasional (DPN) dan Penghentian Pelemahan Politik Rakyat (PPPR) serta Pembodohan Rakyat Indonesia Abadi atau disingkat  (PRIA).

Akhirnya memang pilihan itu merugikan diri kita sendiri dan terpojok dalam politik karena menentang arus politik yang trendy. Karena itulah kitapun tertinggal dan harus mengalah dan mengurut dada dengan realita politik dan kitapun hingga mempertanyakan diri kita akibat ketidakpercayaan diri. Apakah salah saya dan Apakah saya yang salah???

Salam


Sumber gambar :pexels

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun