Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Rakyat Indonesia Lemah karena Disorientasi Politik

29 Januari 2021   13:21 Diperbarui: 29 Januari 2021   16:00 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Pribadi

Rakyat Indonesia Lemah Karena Disorientasi Politik

Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Kita mendapatkan berbagai kasus dalam politik Indonesia sebagai dampak pemilihan langsung oleh masyarakat. Mekanisme pemilihan langsung pada dasarnya adalah suatu mekanisme pengambilan keputusan dalam demokrasi yang esensinya adalah memilih pemimpin yang berkualitas dan berkapasitas sebagaimana harapan rakyat yang bisa membuat perubahan dalam hidup rakyat.

Dengan begitu maka demokrasi dalam konteks pemilihan pimpinan rakyat adalah memilih pemimpin daerah yang benar dan yang terbaik sesuai dengan kompetensi sumber daya manusia di suatu daerah. 

Oleh karenanya demokrasi juga butuh pemahaman arah, pendidikan mulai pimpinan hingga warga masyarakat. Demokrasi tidak bisa dibiarkan tumbuh secara alamiah, karena dapat menyebabkan disorientasi yang berdampak pada kelemahan masyarakat secara total.

Kita sering menemukan ada daerah yang dipimpin oleh mantan buruh, mantan kontraktor, mantan satpam, mantan penyeludup, mantan pemabuk, mantan anggota genk dan lain-lain yang profesi latar belakangnya jauh dengan bidang tugas dan jabatan yang dipikul, apalagi sebagai pemimpin rakyat yang berfungsi memimpin dan mendidik warga masyarakat banyak.

Semua ini terjadi karena disorientasi dalam melihat seorang pemimpin dalam kacamata rakyat, misalnya dalam suatu pilkada, partai politik melakukan seleksi calon kepala daerah yang berorientasi pada uang atau mahar, maka mustahil calon pemimpin yang ideal lahir dalam rekruitment pemimpin daerah, kenapa?

Karena seseorang yang memiliki sumber daya yang cukup kapasitas, memiliki ilmu kepemimpinan akan menilai mulai proses rekruitmen yang obyektif.

Lagi pula mereka yang paham tidak akan ikut-ikutan untuk maju sebagai kepala daerah bila sistemnya tidak terarah dalam orientasi yang benar. Sehingga yang berpeluang muncul sebagai kepala daerah hanya mereka yang memiliki empat faktor yang sesungguhnya bukan faktor utama dalam esensi seleksi pemimpin, sebagai berikut :

Pertama, Faktor kelompok politik besar (power politik).
Dimana orientasinya juga tidak terarah, karena ada yang menjadi kelompok politik besar akibat emosional masyarakat, ada yang besar karena sentimen budaya, agama, dan lainnya yang kecil pengaruhnya dalam sisi kualitas kepemimpinan rakyat.

Terkadang seorang pemimpin bisa saja muncul karena faktor menilai kebaikan dengan teman-teman, dengan lingkungan, dengan dermawan, dengan faktor alim, dengan penciteraan, dengan keunikannya, dengan jasa dan berbagai sentimen dan emosional yang sesungguhnya dalam seleksi pemimpin hanya sebagai pelengkap bukan faktor utamanya dia layak sebagai pemimpin.

Kedua, Faktor popularitas.
Tidak kurang dari pemimpin yang lahir karena faktor popularitasnya dibidang lain, misalnya artis sinetron atau bintang film atau para seni peran yang dipilih menjadi pemimpin, tentu karena popularitasnya. Padahal dengan profesinya sebagai tokoh seni peran tanpa background memimpin sudah pasti logika rasionalnya seseorang itu hanya memerankan karakter pemimpin bukan pemimpin yang sesungguhnya.

Ketiga, Faktor Kedermawanan.
Dermawan adalah salah satu faktor yang paling utama mempengaruhi masyarakat pemilih di negara ketiga. Karena pada prinsip dasarnya masyarakat menuntut seorang pemimpin adalah seseorang yang bisa membantu kebutuhan masyarakat, maka setelah mereka memilih hasilnya adalah kekecewaan karena pemimpin tersebut tidak mampu mewujudkan harapan pemilihnya yang salah orientasi.

Keempat, Faktor Rekayasa Citra.
Faktor rekayasa citra atau penciteraan sangat dominan mewarnai sistem pemilihan pemimpin, misalnya pilkada atau dalam pemilihan pemilu legislatif. Karena masyarakat pemilih hanya bisa melihat sesuatu dalam politik secara vulgar, sehingga rakyat hanya terdidik dalam skema propaganda politik bukan terdidik dalam politik yang benar.

Propaganda politik dan politik itu sendiri sesungguhnya bertentangan arahnya. Jika masyarakat pemilih memahami propaganda maka pasti akan menghukum pelaku propaganda politik. Karena ahli propaganda itu hakikatnya identik dengan ahli tipu atau negatif tapi politik orientasinya positif untuk masyarakat.

Empat faktor ini sangat dominan yang terpengaruh dalam pengambilan keputusan pemilih kita, terlepas beberapa persen lainnya yang sudah beeorientasi pada arah pembangunan rakyat yang sebenarnya.

Lalu, kenapa ada daerah yang orientasi masyarakat mulai mengarah pada kepemimpinan dan politik yang benar? 

Pertama, Karena standar wawasan sosial atau banyak masyarakat cerdas disana, sehingga mereka bisa mewarnai pemikiran masyarakat di daerah itu melalui berbagai media, tulisan, visual dan  media lainnya.

Kedua, Karena Pemimpin partai politiknya memiliki kapasitas dan kualitas yang baik (memiliki prinsip dan ilmu) dalam demokrasi. Memahami konsep dan ilmu kepemimpinan sosial, peran dan fungsi partai politiknya dalam mendidik rakyat dan mengadvokasi rakyat mengarah pada politik bernegara dan bermasyarakat yang demokratis, tidak mengrah pada mentalitas korup.

Ketiga, Karena kelompok ekstra parlemennya kuat, karena banyak masyarakat dalam kompetensi bernegara dalam hukum, ekonomi dan politik yang sering mengadvokasi masyarakat menggantikan fungsi lembaga wakil parlemennya. Peran lembaga tersebut dominan meningkatkan standar wawasan rasio politik masyarakat yang terarah.

Keempat, Karena Kepala Daerahnya cerdas dalam pemahaman hak dan pembangunan rakyat yang benar. Memberi contoh atau keteladanan kepada rakyatnya yang menjadi bahagian dari pendidikan rakyat. Prilaku pemimpin adalah kebijakan publik, maka kalau ada pemimpin punya istri yang banyak maka masyarakat juga akan cenderung berlomba untuk itu yang pada akhirnya mendegradasikan nilai perempuan itu sendiri dalam semangat pemberdayaan tujuan kamuplase kaum lelaki terhadap memiliki banyak perempuan.

Kelima, Banyak tokoh politik, atau tokoh masyarakat yang berani bersikap dan mengatakan kebenaran dengan nalar dan logika bukan dalam ranah feodalisme. Terdapat Tokoh menyampaikan sikap politik melalui media terbuka meski masyarakat awam sedikit yang paham fungsinya (karena tidak membaca) padahal prinsip dan sikap itu demi menyelamatkan masa depan rakyat sendiri.

Berikutnya juga tokoh yang memahami dan bisa mengajar dan mendidik sosial, dimana mereka bersedia melakukan aktivitas dalam pengabdian sosialnya. Meski mereka bukan pejabat karena mareka dihambat oleh sistem dan standar pemahaman rata-rata masyarakat yang lemah.

Kajian-kajian sederhana ini saja dapat memberi gambaran bagaimana sebenarnya demokrasi bila tidak dibangun dengan sistem dan model yang berorientasi pada esensi dan arah yang benar. 

Demokrasi butuh pembangunan secara bertahap dalam suatu negara atau daerah. Namun semua itu akan bergantung pada kecerdasan pemimpinnya dalam wawasannya bernegara dan membangun rakyatnya. 

Maka ada daerah di masa kepemimpinan seseorang menyisakan semangat dan kecerdasan masyarakatnya, ada yang hanya membangun tempat ibadahnya saja, ada yang membagun suatu jembatan vital, ada yang memang membangun masyarakat yang sesungguhnya, yakni sistem sosial dan tahapan kesejahtetaan, ada yang membangun bagi uang negara untuk berobat gratis, ada yang membangun budaya secara farsial, ada yang setelah memimpin sama sekali tidak nampak dalam membangun.

Jangan berharap lahir pemimpin yang cerdas ditengah rakyat bodoh dalam politik dan pemerintahan, yang perlu diingat demokrasi bisa menjebak rakyat dalam kubang ketertinggalan karena salah memilih pemimpin.

Maka di negara lebih maju demokrasinya sebagaimana Amerika Serikat masa jabatan presiden adalah empat tahun, sementara anggota parlemen justru lebih singkat. Orientasi politik bukan soal kekuasaan politik yang utama tetapi soal pendidikan sosial atau pendidikan rakyatnya dalam politik dan bernegara.

*****pilih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun