Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Rakyat Buta Politik karena Politisi

22 Januari 2021   17:14 Diperbarui: 22 Januari 2021   17:45 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Suatu hari penulis didatangi salah seorang sahabat yang politisi, kemudian ia berbicara tentang orang-orang berprilaku curang dan melanggar etika, serta tidak shalat. Saya menganggap semua yang dibicarakan adalah lebih kepada sentimen politik yang menurut saya berbanding terbalik dengan apa yang ingin dicapai dalam pembicaraan tersebut dan juga targetnya dalam berpolitik.

Memang orang curang dalam politik sering unggul, karena kecurangan itu akibat ketidaksengajaannya, bahkan sering prilaku tersebut karena keluguannya dalam politik. tetapi semua disebabkan akibat lemahnya pemahaman tentang wawasan politik normatif yang memenuhi etika dan fatsun politik.

Mungkin di kota besar dengan tingkat pendidikan masyarakat lebih baik dan wawasan politiknya sudah baik kita tidak menemukan pekerjaan-pekerjaan politik yang justru kontroversi dengan nilai politik itu sendiri.

Tetapi di daerah-daerah tidak jarang kita temukan caleg melakukan kampanye dengan menggunakan traktor atau peralatan berat untuk membuat jalan dan hal itu menjadi ukuran suatu pekerjaan politik para politisi yang lain. Akibat pekerjaan-pekerjaan yang tidak substantif dalam politik akhirnya caleg meninggalkan hutang karena kampanyenya yang berlebihan dalam urusan yang bukan pada tempatnya. 

Pekerjaan politik di daerah masih amburadul jika kita melihat mereka berkampanye yang orientasi mengarah pada bagaimana mendapatkan fasilitas dari jabatan yang ingin dia rebut itu, seakan semua orang akan mendapat bagian dalam jabatannya.

Setelah memperoleh jabatan sebagai anggota parlemen, caleg superman itupun sudah sulit ditemui konstituennya. Padahal ia mulai mengumpulkan kembali uang kampanyenya dan memperoleh laba sepuluh kali lipat dari modal kampanyenya. Itulah model mentalitas pedagang dimana anggota parlemenpun dapat dia gunakan sebagai dagangannya, dan sebahagian besar mentalitas legislator di negeri kita.

Maka lebel kursi DPRK berharga satu, sampai tiga Milyar Rupiah dalam kampanye pemilu biasa kita temui dan anehnya dianggap lazim dalam politik representasi rakyat. Demikian DPR Prov. Rp 3-5 Milyar, DPR RI Rp. 10-20 Milyar Rupiah.

Dengan kesalahpahaman dalam memahami politik maka kampanye politikpun salah kaprah sehingga masyarakat tidak terbiasa dalam politik normatif, adu gagasan bagaimana kontrol sosial, bagaimana menjalan fungsi legislasi atau tidak terbiasa dalam politik yang benar sehingga rakyat mendapat pendidikan politik bernegara.

Dampaknya adalah pendidikan politik masyarakat terbengkalai dan tidak bisa dibenahi secara sungguh-sungguh sebagaimana harapan dalam politik itu sendiri.

Justru caleg sebahagian besar membangun mengajak dan mengajarkan rakyat untuk sebatas konspirasi yang menyebabkan mentalitas korup pada seluruh rakyat Indonesia, ini semua akibat lemahnya ilmu politik para politisi yang berkampanye ditengah rakyat, dan tentunya rakyat itu sendiri mendatangi tempat kampanye dengan harapan membawa pulang sembako atau oleh-oleh dalam bentuk kebutuhan dari kampanye dimaksud.

Kita wajar meragukan peran dan fungsi wakil rakyat pada masyarakat daerah, karena sebahagian pekerjaan wakil rakyat menjadi pekerjaan eksekutif, sehingga wakil rakyat akhirnya hanya menjadi konspirator eksekutif dalam pemerintahan karena semua mereka menjadi penggguna anggaran.

Selanjutnya mereka juga sebahagian besar bicara sepenggal-sepenggal dalam politik, akibat wawasan dan pengetahuannya yang lemah. Kesimpulannya jika kita analisa kualitas politik ditingkat kabupaten dan provinsi berada dalam ranah lapangan pekerjaan birokrasi, jauh dari politik yang sesungguhnya.

Image Sebatas Orang Baik

Orang baik dalam politik sulit diukur, apakah prilaku dan sikap serta sifatnya memang baik atau hanya kamuplase. Sebenarnya dalam politik indikator baik dan buruk sangat normatif, karena politik justru bersinggungan secara pasti pada kepentingan mereka menjadi yang paling urgen.

Pada masyarakat biasa, politik lebih banyak dipengaruhi oleh faktor sentimen politik itu sendiri sehingga rakyat menempatkan orang dalam politik antara baik atau buruk.

Menilai kebaikan pada seseorang sesungguhnya bukan dalam politik tetapi dalam prilaku seseorang dalam bermasyarakat atau pergaulan sehari-hari. Apalagi politisi itu dermawan maka dalam penilaian awam dialah politisi terbaik bagi masyarakat meskipun kemampuan sebagai organisator dan legislator sangat lemah.

Penilaian awam ini telah banyak mengantarkan legislator ke parlemen ditengah rakyat, padahal pilihan rakyat justru salah kaprah tetapi karena jumlah warga masyarakat yang berpolitik dalam batasan demikian jumlahnya banyak maka hal itulah yang berlaku dalam pemilihan oleh rakyat.

Alhasil adalah lembaga parlemen tidak berjalan dan berfungsi sebagaimana yang diharapkan untuk mewakili rakyat dalam fungsi kontrol terhadap pemerintah. Sehingga wakil rakyat justru tidak berbeda dengan fungsi eksekutif yang bertarget kinerjanya sebagai pengguna dan pengelola anggaran negara bahkan  mereka tidak merasakan hal itu sebagai pelanggaran meski disumpah dengan kitab sucinya.

Karena itu dalam politik tidak mungkin masyarakat biasa menilai seseorang baik dan buruknya, karena penilaian tersebut berkait dalam konteks politik, tentu unsur pemahaman politik menjadi hal utama yang menjadi filter penilaian, tanpa ilmu politik penilaian seseorang sudah pasti keliru. 

Belum pasti seseorang yang alim akan alim juga dalam politik, bahkan mereka yang lugu dan alim dalam kehidupan sehari-hari justru bangsat dalam politik, demikian juga sebaliknya.

Pembunuhan Dalam Politik

Mungkin banyak yang bertanya bagaimana membunuh dalam politik? Membunuh dalam politik adalah pembunuhan karakter (character assassination), materi pembunuhan dalam politik itu mencakup menuduh dalam propaganda, memfitnah, menjadikan tumbal suatu masalah,  melemahkan peran dan menjauhkan orang dari kader lain dengan berbagai cara atau berkonspirasi menjauhkan seseorang dalam politik dengan berbagai cara.

Dalam politik itulah pembunuh yang kejam, hal ini sebagaimana pribahasa bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Karena resiko yang dihadapi oleh seseorang yang difitnah itu sangat memprihatinkan. Karena pada dasarnya hidup mereka dalam politik secara ideal memiliki hak dalam politik, tetapi karena intrik dan pembunuhan karakter hak politiknya dihilangkan. Hal inilah kekejaman dalam politik yang melebihi kejamnya pembunuhan dalam kehidupan biasa.

Penipuan dan Pembohong Dalam Politik

Penipuan dan pembohong dalam politik sesungguhnya hanya merugikan si politisi itu sendiri, meski sanggup ditutupi hanya pada masyarakat politik kelas negara ketiga karena politik masih menggunakan ilmu tradisional dalam politik. Image terhadap seseorang masih dalam ukuran sentimen politik yang bermateri emosional dan subyektif.

Menipu dan berbohong dalam politik bagi mereka yang paham resikonya, sudah pasti sulit dilakukan karena kebohongan dan menipu perlu energi yang dan modal yang besar dan lama untuk memanage kebohongan dan perjalanannya.

Mereka bisa menutupi dengan membeli dukungan pada pemilu dengan uang yang tidak sedikit, jika tidak dilakukan maka mereka akan menghadapi masalah yang lebih kompleks sepanjang hidupnya karena pembohongan publik tersebut.

Karena itu politik tidak mengajarkan pembohongan dan penipuan dalam strateginya. Jika ada yang melakukannya dalam politik maka sesungguhnya orang tersebut jauh dari pendidikan dan wawasan politik. Lalu mereka siapa? Propagandus bukan politikus.

Kondisi politik sosial.yang cenderung melemahkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah ini idealnya bagi negara butuh perbaikan dalam pendidikan politik rakyat. 

Lalu, siapa yang bisa melakukan perbaikan, sehingga ada standar dalam dunia politik tanah air?

Hal ini merupakan salah satu bidang pembangunan yang paling urgen dalam memperbaiki kehidupan rakyat, tetapi pemerintah seperti membiarkan ruang ini centang perenang seumur masa.

Apakah sengaja dipelihara sehingga dunia politik menjadi lebih mudah dikuasai oleh kekuasaan atau pemerintah dan bangsa kita tidak cukup memiliki kapasitas ilmu politik yang mumpuni sehingga standar wakil rakyat tidak memiliki standar indikator atau jauh dari standar kualifikasi wakil rakyat yang berfungsi untuk penguatan kedaulatan rakyat.

Jika tidak yakin, lihat saja setiap ada kebutuhan rakyat yang berhadapan dengan pemerintah maka apapun keputusan pemerintah meski kontrovesial dengan harapannya tetap saja harus diterima. Wakil rakyat senantiasa bersembunyi dibalik kebijakan publik yang dibuat pemerintah terhadap rakyatnya dan mereka hanya bicara dan memperlihatkan wajah dan suaranya kala membutuhkan suara rakyat saat pemilu tiba.

Aneh memang mentalitas politisi dan rakyat itu sendiri yang mudah dibujuk dengan uang ala kadarnya, tanpa mereka mempolitisasi tetapi justru takut dosa jika tidak konsisten setelah menerima Rp. 200.000,- saat pemilu.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun