Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Sentimen politik masih mempengaruhi sistem politik Indonesia secara dominan. Meski dimasa kini terjadi pencairan komunikasi politik namun dalam perspektif public opinion jelas terlihat terjadinya pembagian dua kelompok besar dalam sistem politik di tanah air.
Sebagaimana sejarah politik dan budaya politik Indonesia dimasa lalu, rivalitas politik terjadi antara kelompok calon presiden terbaru, misalnya antara kubu Jokowi dan Prabowo atau antara kelompok politik besar PDIP dengan Partai Gerindra.
Namun hal ini terbantahkan di era politik saat ini dengan skenario politik yang hebat, dimana pengendali politik bisa menempatkan calon presiden yang kalah sebagai anggota kabinet presiden terpilih. Sehingga terjadi pengelompokan politik yang besar dan mendominasi parlemen Indonesia dan mempengaruhi kekuasaan menjadi kuat dan terpusat.
Apakah ini sesuatu yang terbaik bagi pencapaian kedaulatan rakyat dan tahapan pencapaian kesejahteraan rakyat?
Tentunya sistem konspirasi (koalisi) partai politik dalam politik tidak sepenuhnya memberi dampak terhadap kesejahteraan tetapi minimal sistem kontrol kekuasaan atau pemerintah akan semakin terbuka. Urgensinya adalah pemimpin politik dalam pemerintahan tidak bisa melakukan hal-hal yang miring untuk kepentingan partai politiknya.
Karena mereka harus mengeluarkan energi yang lebih besar untuk sekutu politiknya. Sementara positioning politik rakyat bisa saja menjadi second priority dalam politik bernegara karena kekuasaan politik telah teramankan (safeguard) dengan tameng politik yang idealnya berposisi sebagai oposisi.
Lalu, kelompok mana yang sesungguhnya sebagai lawan politik pemerintah sehingga harus membangun koalisi atau konspirasi politik besar yang mengurangi sebahagian dari hak atas kekuasaannya tersebut?
Tentu dengan kacamata yang terbuka dapat diastikan ada kelompok besar lainnya yang dianggap sebagai lawan politik yang harus diperhitungkan. Semoga ini hanya menjadi analisa politik dalam logika kekuasaan yang ekstreem.
Dengan keberadaan kelompok politik yang besar tersebut, belum tentu mampu menjadi alat seleksi obyektif terhadap kualitas stakeholder yang berorientasi pada sumber daya manusia dari semua elemen masyarakat, hal itu sangat tergantung pada cara pandang mereka dalam wawasan kebangsaannya. Maka wajarlah masih banyak pejabat bahkan menteri ditangkap KPK. Tetapi jika dengan indikator kebangsaan tentu kondisi pasti berbeda.
Dalam pelaksanaa pemerintahan berbagi kekuasaan ini, apakah mereka masih mengedepankan sentimen dalam politik atau berorientasi pada realita dan fokus pada membangun rakyat dan merekrut semua potensi demi membangun bangsa dan negaranya yang lebih baik.