Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kalau Begini Negara, Rakyat Menanti Apa?

5 Januari 2021   16:20 Diperbarui: 5 Januari 2021   16:56 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tujuan keberadaan negara adalah untuk pencapaian kesejahteraan rakyatnya, hal ini juga tercantum dalam UUD 1945 dalam konstitusi negara Republik Indonesia.

Mengungkapkan hal kritis semacam ini tentunya bagi kalangan aparatur negara dengan tingkat kecerdasannya lemah tentu akan menganggap penulis sebagai seseorang yang pemikirannya pemberontak negara, dan dimasa lalu bahkan juga dianggap makar.

Namun kita yakin dengan peningkatan wawasan dan ilmu pengetahuan dimasa sekarang anggapan ini adalah kritik normatif bagi mereka yang berilmu, memahami rakyat dan negara serta politik.

Repuplik Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, hingga pada tahun 2020 ini, usia negara sudah menjelang satu abad. Bukan usia balita bahkan remaja untuk organisasi yang bernama negara.

Era sejarah pembangunan negara ini sudah dilalui selama Tiga (3) tahapan, mulai Orde Lama (1945-1966), Orde Baru (1966-1998), Era Reformasi (dimulai 1998 - Sekarang). Namun tanda-tanda perbaikan kehidupan rakyat terutama rakyat di bawah belum terlihat beranjak dari statusnya sebagai pencari dan pejuang sebatas pemenuhan kebutuhan primer.

Dengan kata lain rakyat sebahagian besar hanya bisa bertahan hidup dan tidak sedikit mereka yang melarat bahkan makannyapun dari tiga kali sehari bahkan ada yang hanya satu kali sehari, yang cukup memprihatinkan kasus bunuh diri akibat ketidakmampuannya memenuhi kebutuhan hidup keluarga masih terjadi di negara ini.

Kasus ini mengindikasikan bahwa pemerintah alpa dan tidak memiliki cukup pengetahuannya mendeteksi kondisi rakyatnya sekaligus tidak cerdas menjabarkan tanggung jawabnya dalam fungsinya sebagai penanggung jawab terhadap konstitusi negara dan seluruh Undang-Undang dan peraturan bernegara.

Kaum miskin dan anak terlantar adalah tanggung jawab negara merupakan landasan stabilitas sosial yang perlu ditempatkan dipundak pemerintah, sehingga bangsa ini tidak mengalami kasus yang memprihatinkan dan membawa negatif citranya pada bangsa-bangsa lain di dunia.

Masalah utama yang dihadapi rakyat bangsa merdeka ini sejak kita balita adalah "kesenjangan sosial" (gap) yang tidak pernah bisa diatasi meski pemimpinnya silih berganti menduduki singgasana kekuasaan bahkan dipercaya sepenuhnya oleh rakyat yang sudah mulai melek politik dimasa era terakhir ini.

Berikut carut marut sistem pengelolaan negara terjadi dalam berbagai bidang, karena pendidikan politik rakyat sejak reformasi mulai terjadi peningkatan dan informasi global yang terbuka sehingga rakyat timbuh dan pintar dengan sendirinya atau secara alamiah. 

Akibat keterbukaan dan kecanggihan teknology pengelolaan negarapun semakin mudah diakses oleh masyarakat. Yang ingin saya sampaikan adalah konsentrasi rakyat pada pemerintah karena mereka adalah pembuat kebijakan publik yang mempengaruhi kehidupan rakyat secara keseluruhan.

Karena pada sektor kepemimpinan pemerintahan semakin diketahui rakyat dalam pengelolaan yang bobrok maka kita kuatir ketika rakyat paham pada bidang-bidang lain maka akan terjadi gerakan untuk mengobrak-abrik secara terang-terangan, karena sistem sebaik apapun jika mentalitas pelakunya orang Indonesia kesimpulannya tetap saja berantakan. Kalau kesimpulannya sudah demikian, apa yang ditunggu oleh rakyat pada negara ini.

Setelah terjadi reformasi tidak cukup kuat untuk memperbaiki kondisi negeri ini, tentu saja para tokoh-tokoh rakyat akan berpikir pada tahapan yang lebih maju dalam pembenahan sosial, bisa saja mengarah pada Revolusi Sosial atau Revolusi Bangsa Indonesia yang mulai digadang-gadangkan. Perubahan ini menjadi salah satu alternatif untuk menjawab sebahagian besar rakyat yang memahami negara. 

Ketika rakyat menanyakan, untuk apa negara ini jika hanya bisa membangun kemelaratan, kesusahan bagi rakyatnya dan mewujudkan tujuan bernegara menjadi stagnan baik pemerintah sendiri maupun rakyat yang merasakan hidup dibawah kepemimpinan negara.

Beberapa pertanyaan yang perlu dijawab oleh pemerintah dan secara normal rakyat yang sehat jasmani maupun rohaninya serta mumpuni sebagai warga negara sudah seharusnya mempertanyakan manfaat negara bagi rakyat dan manfaat pemerintah bagi rakyat. Beberapa hal penting itu maka dapat sederhanakan dalam beberapa pertanyaan mendasar, diantaranya adalah sebagai berikut :

Pertama, Apa alasan negara ini meminta rakyatnya bertahan dalam bernegara, jika tujuan bernegara tidak beranjak dalam memperbaiki kesejahteraan hidup rakyat.

Kedua, Apa yang diharapkan rakyat kepada pemerintah setelah mereka memilihnya, alasan apa yang mengharuskan rakyat bersabar agar pemerintah bisa mewujudkan cita-cita negara dan harapan rakyat yang telah lama menunggu.

Ketiga, Kapasitas dan kualitas pemimpin mulai presiden, para menterinya, gubernur, bupati dan walikota jika sama dengan kualitas rakyat itu sendiri maka kemahiran atau keahlian apa yang bisa diharapkan kepada stakeholder ini untuk menuntun perubahan kehidupan rakyat.

Keempat, Jika rakyat diharapkan berpartisipasi dalam bernegara dengan memilih para pelayannya, sementara yang dipilih justru hanya terangkat statusnya sebagai orang mapan baru, kemudian secara perlahan menjadi tuannya atau majikan rakyat. Kemampuannya hanya memberi bantuan dan sedekah, bayar zakat yang dianggap pemimpin dermawan. Lantas pembangunan apa yang sesungguhnya sedang direncanakan dan lakukan dalam kekuasaan puluhan tahunan untuk rakyat.

Kelima, Jika pemerintah sekedar bekerja, justru menjadi aneh jika pekerjaan itu sebatas rutinitas penanganan administrasi negara, bahkan pemerintah seakan tenggelam dan larut dalam urusan rutinnya sehari-hari yang sebatas mengatur kertas kerja kuning, merah dan putih untuk pertinggal sebagai bukti. Sementara yang dibutuhkan rakyat adalah kehadiran pemimpin untuk bisa memberi pendidikan dan mengarahkan kehidupannya yang memprihatinkan.

Dalam kehidupan rakyat yang mendasar masih menghadapi masalah yang memprihatinkan, ditambah dengan penataan atas hak-hak oeganisasi rakyat juga mengalami dinamika yang menggerus nilai-nilai soliditas kebangsaan, hal-hal yang kecil menjadi besar, masalah-masalah yang tidak urgen dihadapkan dengan negara sehingga terjadilah riuh, kocar-kacir menyeluruh. 

Jika pemerintah membawa negara sibuk mengawal kekuasaan dengan sentimen-sentimen dan nilai kekuatan politik bukannya fokus pada pembangunan rakyatnya,  Lalu rakyat menaruh harapan apa terhadap keberadaan negara ini.

Realita ini tidak hanya terjadi selama satu rezim pemerintahan, tetapi saban rezim yang selalu membuat situasi rakyat sebagai penonton prilaku orang-orang yang berjalan di depannya. Rakyat terbodohkan sebagai yang bertepuk tangan atas kemenangan politik sebagaimana menyaksikan tayangan sinetron adu siasat kehidupan sebatas prilaku tokoh baik dan antagonisnya yang cenderung culas.

Anehnya, tidak satupun kita temukan yang mengundurkan diri dari jabatan atas kesadaran jika tidak sanggup menghadapi masalah bangsa dan rakyat sebagaimana sikap para petinggi negara lain yang bahkan mereka bunuh diri akibat budaya malu ketika mereka tidak sanggup menjalankan amanah yang diberikan rakyat.

Hipotesa politik ini, tentu membawa pada kesimpulan bahwa para petinggi yang berjabatan sebagai pengurus organisasi negara ini hanya menikmati jabatan dengan segala fasilitas untuk status sosial dan sekedar memiliki kekuasaan untuk menundukkan orang sebagaimana  jabatan dalam sistem kekuasaan masa penjajahan Belanda di Indonesia.

Jika begini, maka sudah seharusnya rakyat harus mempersiapkan alternatif untuk merencanakan yang terbaik untuk merubah kehidupannya dalam konteks bernegara. Logikanya harapan terhadap negara yang sekarang telah tertutup. Tapi kenapa hal ini tidak terjadi? Mungkin saja sebahagian besar rakyat Indonesia dalam mentalitas terjajah, belum mengalami pemulihan, karena penjajahan di tanah air kita berabad-abad lamanya.

Sehingga rakyat masih melihat negara sebagai wadah yang turun dari langit bukan suatu rekayasa pemersatu untuk kepentingan hidupnya dan karena rakyatlah negara ini ada. Jika ada yang berpikir bahwa sebaliknya yakni adanya negara maka adanya rakyat maka dapat disimpulkan bahwa rakyat dalam negara ini belum bisa dianggap mumpuni.

Jika negara dianggap tidak mampu membawa kesejahteraan pada rakyatnya maka negarapun dapat dievaluasi dan dirubah, baik sistem, bentuk dan lain-lain yang lebih efektif untuk membawa pada rencana strategis untuk pencapaian tujuan bernegara.

Apakah pemikiran ini digolongkan sebagai pemikiran makar? Tergantung ilmu pengetahuan dan wawasan bernegara kita masing-masing. Pada kelompok masyarakat tertinggal tentu membaca tulisan ini sebagai kritik negara, tapi bagi kelompok warga negara yang mumpuni akan memahami tulisan ini sebagai pemikiran warga negara yang menaruh harapan dalam membangun negari ini.

Pexels

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun