Realita ini tidak hanya terjadi selama satu rezim pemerintahan, tetapi saban rezim yang selalu membuat situasi rakyat sebagai penonton prilaku orang-orang yang berjalan di depannya. Rakyat terbodohkan sebagai yang bertepuk tangan atas kemenangan politik sebagaimana menyaksikan tayangan sinetron adu siasat kehidupan sebatas prilaku tokoh baik dan antagonisnya yang cenderung culas.
Anehnya, tidak satupun kita temukan yang mengundurkan diri dari jabatan atas kesadaran jika tidak sanggup menghadapi masalah bangsa dan rakyat sebagaimana sikap para petinggi negara lain yang bahkan mereka bunuh diri akibat budaya malu ketika mereka tidak sanggup menjalankan amanah yang diberikan rakyat.
Hipotesa politik ini, tentu membawa pada kesimpulan bahwa para petinggi yang berjabatan sebagai pengurus organisasi negara ini hanya menikmati jabatan dengan segala fasilitas untuk status sosial dan sekedar memiliki kekuasaan untuk menundukkan orang sebagaimana  jabatan dalam sistem kekuasaan masa penjajahan Belanda di Indonesia.
Jika begini, maka sudah seharusnya rakyat harus mempersiapkan alternatif untuk merencanakan yang terbaik untuk merubah kehidupannya dalam konteks bernegara. Logikanya harapan terhadap negara yang sekarang telah tertutup. Tapi kenapa hal ini tidak terjadi? Mungkin saja sebahagian besar rakyat Indonesia dalam mentalitas terjajah, belum mengalami pemulihan, karena penjajahan di tanah air kita berabad-abad lamanya.
Sehingga rakyat masih melihat negara sebagai wadah yang turun dari langit bukan suatu rekayasa pemersatu untuk kepentingan hidupnya dan karena rakyatlah negara ini ada. Jika ada yang berpikir bahwa sebaliknya yakni adanya negara maka adanya rakyat maka dapat disimpulkan bahwa rakyat dalam negara ini belum bisa dianggap mumpuni.
Jika negara dianggap tidak mampu membawa kesejahteraan pada rakyatnya maka negarapun dapat dievaluasi dan dirubah, baik sistem, bentuk dan lain-lain yang lebih efektif untuk membawa pada rencana strategis untuk pencapaian tujuan bernegara.
Apakah pemikiran ini digolongkan sebagai pemikiran makar? Tergantung ilmu pengetahuan dan wawasan bernegara kita masing-masing. Pada kelompok masyarakat tertinggal tentu membaca tulisan ini sebagai kritik negara, tapi bagi kelompok warga negara yang mumpuni akan memahami tulisan ini sebagai pemikiran warga negara yang menaruh harapan dalam membangun negari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H