Pelaku politik, seseorang yang menjadi anggota partai atau memilih tidak menjadi anggota partai, namun menguasai panggung politik dengan mempengaruhi pembuat-pembuat keputusan politik atau yang mempengaruhi politik untuk tujuan sebagaimana yang diinginkan oleh pribadi, kelompok maupun yang menguntungkan rakyat.
Seorang politisi sudah pasti dipandang sebagai seseorang yang dapat mengganggu kenyamanan posisi orang lain dalam suatu jabatan politik. Kalau anda politisi perempuan, sementara para politisi lain masih melihat kemolekan dan feminimisme anda maka sesungguhnya anda belum tergolong politisi dimata teman dan lawan anda.
Demikian anda yang lelaki, ketika teman dan lawan politik anda belum menganggap anda bisa mengganggu kenyamanan posisi jabatannya tentu anda belum dianggap politisi yang mumpuni. Maka dalam politik tradisional, power politik itu diukur dengan jumlah orang yang berada dibelakang anda. Namun dalam politik yang modern power politik itu diukur berdasarkan daya ungkit politik atau potensi yang bisa mempengaruhi politik sosial secara luas.
Mereka yang sudah berkesadaran dalam menjalankan pemikiran-pemikirannya dalam politik tentu akan anti dengan power politik tradisional yang sebatas dukung mendukung buta sekedar hegemony, jika rakyat masih bisa terbodohkan mereka menang, jika masyarakat sudah melek tentu mereka akan memilih politik cerdas yang hemat dan bermanfaat bagi pembangunan rakyat yang utama.
Perbedaannya itu sungguh signifikan, termasuk dalam tinjauan aspek yang menguntungkan rakyat dan negara, perbedaannya kira-kira sebagai berikut :
Pertama,
power politik tradisional itu berkorelasi dengan jumlah uang untuk memanage jumlah orang yang banyak sebagai pendukung, maka cenderung boros guna membiayai orang-orang yang ikut dalam jaringan tersebut. Mereka terlepas dipersatukan dengan pemikiran tapi berdasarkan pengalaman mereka yang mensupport power politik tradisional ini lebih kepada orang yang mencari pekerjaan, atau cari makan, atau mencari kesibukan, atau ikut dengan Tuan yang baik hati.
Melihat pengalaman politik, bangunan power politik tradisional ini dibangun dengan berbagai sumber uang, terutama kapitalizem, maka ketika ada pilkada ada juga donatur yang kemudian kompensasinya pada arah kebijakan yang menguntungkan mereka. Berikutnya terjadi berbagai korupsi oleh kalangan politisi akibat manajemen politik pada diri dan partainya terutama tim dan pekerja politik dibelakangnya membutuhkan biaya rutin dalam pemeliharaan keberadaan mereka. Maka politik menjadi semacam kelompok mafia atau kerajaan kecil yang menyurupai industri yang wajib menghasilkan uang.
Justru karena tradisi politik tradisional ini ranah politik kita di dominasi pragmatisme buta bahkan brutal dalam kacamata ilmu politik yang normal. Maka tidak jarang anda akan menemukan banyak para anggota parlemen dan senator di negara ketiga adalah mereka yang berasal dari dunia hitam (haram) yang banyak menghasilkan uang kemudian mencuci dirinya dengan menjadi anggota dewan terhormat.
Kenapa mereka mudah mendapatkan kursi jabatan masyarakat? Tentu karena idealisme masyarakat negara ketiga masih lemah, akibat tekanan biaya hidup. Maka sikap politik masyarakat masih berstandar barter dengan kebutuhan primernya, sehingga sembako menjadi andalan bagi politisi untuk pemenangan kursi gubernur, bupati, kursi parlemen bahkan juga dalam pemenangan kursi presiden.
Karena ilmu politik lemah dan kondisi sosial korup maka ketika pasca pemilihan presiden, terdapat bank bangkrut, perusahaan ansuransi tutup, dan berbagai macam dampak dan resiko kepada pensupport biaya kampanye salah kaprah dalam politik masyarakat.
Lalu, rakyat berharap pembangunannya yang utuh, sementara kesadaran dan kapahaman dalam politik tidak pernah diubah, tentu semua itu akan berakhir dengan kekecewaan sosial atau apatisme masyarakat dalam kebijakan publik negara, karena semua urusan politik dan negara dianggap sandiwara kecuali berpeluang memperoleh bantuan kepadanya.
Kedua,
power politik modern, maju atau cerdas yang normal sesuai dengan ilmu politik normatif tentu dibangun dengan pemikiran yang rasional, mereka berangkat dari pertarungan ide dan gagasan yang kemudian mendapat dukungan secara normal dengan pemikiran pendukungnya atas kesadaran yang tinggi, tidak perlu membiayai  sebagaimana power politik tradisional, karena support dukungan tersebut yang berkualitas politik normatif.
Karena dipersatukan dengan pemikiran maka power politik ini menjadi kecenderungan, namun lemahnya akibat kondisi sosial yang belum normal dalam politik dan berdemokrasi sehingga power politik tradisional yang boros dan berimbas pada mentalitas korup dan mendorong negara bangkrut masih berpeluang menang. Tapi pada negara dengan tingkat kesejateraan sudah baik power politik tradisional ini akan menjadi lelucon yang heboh dan aneh.
Kecenderungan Kualitas politik bisa kita ilustrasikan, misalnya begini. Bahwa orang politik atau pertai politik ketika menghadapi pilkada atau pemilu maka semua mereka bicara elektabilitas sebagai ukuran kelayakan calon (kontestan).
Logikanya kalau bicara elektabilitas dalam politik, maka kita akan mendapatkan nilai 90 untuk pelawak dan penyanyi dan nilai 10 untuk kader politik, karena pemikir politik di partai tidak bisa membedakan elektabilitas yang sesungguhnya, masyarakat tentu memilih nama yang mereka kenal dipublik seperti artis atau pelawak atau mubaliq dan lain-lain, sementara kader partai politik yang sesungguhnya tentu elektabilitasnya rendah. Maka politik itu yang paling penting adalah daya ungkit yang meski tersembunyi.
Contoh berdasarkan pengalaman politik di negara ini terjadi ketika, pemilihan gubernur DKI yang menghadapkan calon Fauzi Bowo yang populer dengan elektabilitasnya tinggi berhadapan dengan Jokowi yang masih menjadi misteri politik dalam pandangan masyarakat Jakarta. Namun akhirnya yang memenangkan gubernur DKI adalah Jokowi sebagai penantang.Â
Daya ungkit ini juga menjadi alat pemenangan dalam pemilihan presiden yang menghadapi Prabowo Subianto dimana elektabilitasnya lebih tinggi.
Oleh karena itu jika kita bicara elektabilitas dalam politik sama dengan kita bicara bahwa politik itu statis, padahal politik itu sangat dinamis, juga kita sebatas bicara power politik tradisional dengan pembiayaan dan pemborosan daripada kita bicara daya ungkit politik yang hanya dipahami dan berani digunakan oleh mereka yang melek dalam ilmu politik dan bernyali dalam melakukan perubahan.
Lalu, kenapa di provinsi dan kabupaten/ kota terjadi pemborosan biaya politik? Jawabnya karena mereka masih terjerat dengan sistem politik tradisional dalam membangun power politik. Pemborosan ini akhirnya menjadi beban biaya daerah yang sangat tinggi yang membuat daerah pada titik bangkrut, kemudian rakyat tidak bisa bangkit dan tetap saja dalam ketidakberdayaannya.
Sekian
******
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H