Kedua,
power politik modern, maju atau cerdas yang normal sesuai dengan ilmu politik normatif tentu dibangun dengan pemikiran yang rasional, mereka berangkat dari pertarungan ide dan gagasan yang kemudian mendapat dukungan secara normal dengan pemikiran pendukungnya atas kesadaran yang tinggi, tidak perlu membiayai  sebagaimana power politik tradisional, karena support dukungan tersebut yang berkualitas politik normatif.
Karena dipersatukan dengan pemikiran maka power politik ini menjadi kecenderungan, namun lemahnya akibat kondisi sosial yang belum normal dalam politik dan berdemokrasi sehingga power politik tradisional yang boros dan berimbas pada mentalitas korup dan mendorong negara bangkrut masih berpeluang menang. Tapi pada negara dengan tingkat kesejateraan sudah baik power politik tradisional ini akan menjadi lelucon yang heboh dan aneh.
Kecenderungan Kualitas politik bisa kita ilustrasikan, misalnya begini. Bahwa orang politik atau pertai politik ketika menghadapi pilkada atau pemilu maka semua mereka bicara elektabilitas sebagai ukuran kelayakan calon (kontestan).
Logikanya kalau bicara elektabilitas dalam politik, maka kita akan mendapatkan nilai 90 untuk pelawak dan penyanyi dan nilai 10 untuk kader politik, karena pemikir politik di partai tidak bisa membedakan elektabilitas yang sesungguhnya, masyarakat tentu memilih nama yang mereka kenal dipublik seperti artis atau pelawak atau mubaliq dan lain-lain, sementara kader partai politik yang sesungguhnya tentu elektabilitasnya rendah. Maka politik itu yang paling penting adalah daya ungkit yang meski tersembunyi.
Contoh berdasarkan pengalaman politik di negara ini terjadi ketika, pemilihan gubernur DKI yang menghadapkan calon Fauzi Bowo yang populer dengan elektabilitasnya tinggi berhadapan dengan Jokowi yang masih menjadi misteri politik dalam pandangan masyarakat Jakarta. Namun akhirnya yang memenangkan gubernur DKI adalah Jokowi sebagai penantang.Â
Daya ungkit ini juga menjadi alat pemenangan dalam pemilihan presiden yang menghadapi Prabowo Subianto dimana elektabilitasnya lebih tinggi.
Oleh karena itu jika kita bicara elektabilitas dalam politik sama dengan kita bicara bahwa politik itu statis, padahal politik itu sangat dinamis, juga kita sebatas bicara power politik tradisional dengan pembiayaan dan pemborosan daripada kita bicara daya ungkit politik yang hanya dipahami dan berani digunakan oleh mereka yang melek dalam ilmu politik dan bernyali dalam melakukan perubahan.
Lalu, kenapa di provinsi dan kabupaten/ kota terjadi pemborosan biaya politik? Jawabnya karena mereka masih terjerat dengan sistem politik tradisional dalam membangun power politik. Pemborosan ini akhirnya menjadi beban biaya daerah yang sangat tinggi yang membuat daerah pada titik bangkrut, kemudian rakyat tidak bisa bangkit dan tetap saja dalam ketidakberdayaannya.
Sekian
******
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H