Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kepemimpinan Jokowi dan Reshuffle Kabinet dalam Kacamata Rakyat Biasa

23 Desember 2020   16:23 Diperbarui: 23 Desember 2020   17:35 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : twitter@jokowi

Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Rakyat, sesungguhnya hanya bergantung pada pemimpin yang dipilihnya, apalagi di Indonesia kualitas pemilihan pimpinan negara berorientasi pada pribadi seseorang yang bisa digambarkan sebagai penyelamat, atau sebagai sosok yang baik hati untuk rakyat, bisa juga yang di nilai bisa memberi andil untuk meringankan beban hidupnya.

Tujuh puluh persen dari ratusan juta masyarakat Indonesia akan berpikir dalam kotak itu dalam memandang pemilihan presiden selama empat periode ke belakang sejak memasuki era reformasi dan dimulai dengan pemilihan langsung pada tahun 2004.

Munculnya nama Jokowi pada permulaan dalam peta politik nasional itu lebih kepada faktor kesederhanaanya dalam memimpin yang dimulai dari kota Solo yang mengkampanyekan pendekatan langsung dengan masyarakat. Sebenarnya banyak kepala daerah yang melakukan hal yang sama tetapi karena kesan penyampaian issu dan kampanye politik yang misteri justru menjadi momok yang besar sehingga menimbulkan image sebagai pahlawan penyelamat bangsa yang dilahirkan tuhan dan sempurnanya muncul dari lapisan bawah.

Issu politik itupun menjadi pengharapan besar bagi rakyat ditengah stagnasi kepercayaan politik masyarakat Indonesia terhadap begawan-begawan politik dimasa reformasi yang sebelumnya membagi pengaruh kekuasaan dalam hidup rakyat kita.

Kampanye politik ini berhasil membawa nama Jokowi sebagai raksasa baru politik Indonesia, mengalahkan pengaruh para guru-guru bangsa Indonesia dimasa itu seperti Megawati Soekarno Putri, SBY, Amien Rais, JK, Akbar Tanjung, Yusril Ihza Mahendra, Hatta Rajasa, bahkan Prabowo yang berhadapan langsung dan pernah digadang-gadangkan jauh-jauh hari sebagai calon presiden kuat Indonesia dengan ketegasannya dalam memimpin dikalangan militer masa lalu.

Sebagai pemimpin bangsa yang baru (new commer) tentunya Jokowi menjadi penanggung jawab utama sebagai pendidik bangsa Indonesia dengan segala keilmuan yang ada pada dirinya. Dalam ilmu politik sesungguhnya Jokowi berada secara dominan pada tataran politik kekuasaan, bisa dikatagorikan bahwa politik Jokowi lebih kepada pertahanan kekuasaan dengan memberi warna baru dalam sistem mainan politik yang berbeda dengan para pendahulunya. Rakyat dikalangan bawah menjadi fondasi pertahanan politik kekuasaan Jokowi yang dilakukan dengan berbagai cara untuk menyentuh mereka baik dengan bantuan langsung atau pemberian dengan kartu yang menyentuh kebutuhan dan hati masyarakat.

Dalam komunikasi politik Jokowi juga berada ditengah, ia dapat meminimalisir dan menzerokan emosi politik dengan karakter pribadinya yang pada dasarnya tidak dalam bersaing dan bermain dalam peta politik para begawan politik negara yang memiliki sejarah panjang berada pada tingkatan itu. Karena Indonesia sebelumnya adalah negara yang dipimpin oleh pemimpin kharismatik dan otoritarian dan sebelumnya masih terpimpin dalam peletakan fondasi awal pembangunan bangsa Indonesia dimasa presiden Soekarno dan Soeharto dan meninggalkan residu kekuasaan yang oleh masyarakat dianggap titisan pemimpin.

Pencapaian dalam tahapan kampanye politik terhadap Jokowi berhasil dilakukan secara sempurna dan tergolong sebagai salah satu tokoh politik yang bisa dikatagorikan sebagai pemegang rekor terbaik, karena sebagai walikota, menjadi gubernur ibukota secara singkat kemudian terangkat secara singkat pula sebagai presiden dan pemimpin suatu bangsa besar dengan keragamannya yang bernama Indonesia.

Lalu, pendidikan bangsa seperti apa yang bisa diberikan selama kepemimpinan presiden Jokowi dalam memimpin Indonesia?

Jawabnya yang paling dominan adalah pendekatan kekuasaan dengan rakyat jelas tidak dapat dibantah, karena dengan gaya kepemimpinan yang mengilustrasikan sebagai pekerja dan mengilustrasikan lumpur dan noda pada tangan dan pakaian, dimana sangat berbeda dengan ilustrasi pemimpin yang sebelumnya yang necis dan bersahaja.

Pada periode pertama kesan yang ditinggalkan untuk pendidikan bangsa adalah dominan dalam gaya kepemimpinan dan sistem pertahanan kekuasaan dalam politik dengan melenturkan kekuasaan pada positioning sebagai pemimpin bangsa yang kedudukaannya tidak mesti sebagaimana raja yang mengilustrasikan kepemimpinan dimasa lalu yang tegas dalam kacamata masyarakat awam. Presiden Jokowi juga aman saja ketika teropini sebagai pimpinan boneka dan anak binaan seorang Ibu Megawati.

Kelenturan positioning politik kekuasaan ini justru memperkuat dirinya untuk berlindung dibalik kebijakan publik yang tidak populer yang kemudian menempatkan Ibunya Megawati (positioning opini) sebagai tumbal dibalik kebijakan tersebut. Sementara posisinya tetap saja sebagai orang baik, anak baik dan bahkan sebahagian masyarakat beranggapan Jokowi dalam kondisi terjepit dalam kepemimpinannya, sehingga simpati kepadanya hanya menurun secara tipis.

Sampai pada tahapan ini presiden Jokowi masih dalam tataran pendidikan bangsa dalam gaya kepemimpinan yang baru dalam politik di Indonesia yang bermuara kekuasaan politik dan popularitas pemimpin serta pertahanan kekuasaan.

Pada periode kedua masa kepresidenan Jokowi yang paling dominan adalah pengilustrasian kelihainnya dalam merawat kekuasaan, dimana merangkul dan melobby lawan-lawan politiknya yang utama, misalnya berhasil menempatkan Prabowo Subianto sebagai pembantunya pada jabatan Menteri Pertahanan. Dalam kacamata politik Jokowi telah berhasil merubah prilaku feodalistik dalam sistem politik Indonesia dan menempatkan politik sebagai manajemen atau seni dalam mempertahankan kekuasaan dan menempatkan posisinya sebagai top manajemen negara.

Lalu, sebagai negarawan untuk merubah nasib bangsa Indonesia secara fundamental, apa yang bisa dilakukan presiden Jokowi?
Dalam hal pendidikan kemandirian bangsa selama kepemimpinannya belum mampu diperlihatkan secara nyata, bahkan realita kehidupan masyarakat Indonesia kian bertambah susah dalam kesehariannya untuk memenuhi kehidupan standarnya. Bahan-bahan kebutuhan pokok masyarakat semakin meningkat dan lapangan pekerjaan masyarakat semakin terbatas, jikapun terbuka lapangan usaha  lebih banyak dipengaruhi oleh kebijakan global akibat perkembangan sistem kehidupan baru di dunia.

Sementara produktifitas masyarakat dalam inovasi dan discovery untuk pengembangan ekonomi rakyat tidak pernah terangkat. Begitupun hal-hal fundamental dalam kebangsaan sebagaimana agama, budaya, peradaban dalam kering kerontang, bahkan mengalami berbagai hambatan yang justru menghadapkan pemerintah dengan tool politik negara tersebut. Sementara bantuan langsung masyarakat hanya bisa menjadi alat menjaga sementara kestabilan sosial dalam pembangunan. Hal ini dapat menjadi bumerang bagi masyarakat untuk jangka panjang bila tidak dikelola dan diberi pemahaman secara benar.

Berkaitan dengan hal fundamental dalam pembangunan bangsa masih menjadi opini yang ditunggu oleh masyarakat Indonesia yang mumpuni sebagai warga negara dalam menjalani hidup bernegara dan memahami perkembangan hidup dirinya dan masa depannya.

Resufhel Kabinet

Budaya resufhel kabinet pada tataran kepemimpinan negara dalam suatu kepemimpinan itu hanya alat politik yang memposisikan kedudukan pemimpin atau kepala negara pada posisi konsolidasi untuk penguatannya. Hal ini juga terjadi pada level kepemimpinan ditingkat kepala daerah yang kepala dinasnya terjadi pergantian  oleh gubernur dan bupati. Semakin arogan seorang pemimpin maka akan semakin sering dilakukan pergantian bawahannya tersebut sebagai tumbal dalih menutupi kekurangan kepemimpinannya, sementara masyarakat masih mempercayai pergantian tersebut sebagai harapan baru yang mungkin saja berdampak yang lebih baik kepadanya.

Sesungguhnya seorang pemimpin dalam pembangunan bangsanya perlu memiliki ajaran atau ideology hidup kepada masyarakatnya. Maka jabatan pembantu presiden sebagaimana menteri itu tidak dalam kompetisi sebatas penguatan konsolidasi politik dalam menghadapi masalah politik kekinian. Jika seorang pemimpin berpikir dan memiliki tujuan jangka panjang dalam pembangunan bangsanya maka kebijakannya berorientasi dalam konsep pembangunan bangsa yang lebih besar dan kecil kemungkinan dapat di hadapkan dengan skema-skema politik pragmatis. Peran seorang menteri akan bergantung sepenuhnya kepada pemimpin negara yang memiliki ajaran membangun bangsa dalam jangka panjang, maka politik yang memiliki ajaran pembangunan bangsa yang benar akan semakin jauh dengan konsolidasi dukungan pragmatis partai politik dan pergantian kabinet sudah pasti terjadi dalam waktu yang lama dan mereka yang bermental negarawan tentu tidak akan terjerumus dalam kolusi dan korupsi. Kemudian kelompok politik yang berhadapan dengan tujuan pambangunan bangsa yang fundamental tersebut, sama dengan menghambat pembangunan bangsanya yang tentu mereka akan berpikir panjang untuk berkontra dengan pemerintah karena akan merugikan mereka dalam politik.

Ketika hal-hal fundamental dalam membangun bangsa yang dibawa dan dikampanyekan oleh pemimpin negara, maka kelompok politik yang berkontra dengan pemerintah juga harus menghadapi dengan konsep-konsep pembangunan bangsa yang fundamental lainnya yang lebih unggul. Jika politik bernegara sudah pada tataran ini barulah dapat dikatagorikan dalam kompetisi kepemimpinan politik bernegara. Tetapi jika ranah persaingan politik masih pada tahapan rebutan kapling kekuasaan maka bisa dipastikan bahwa negara ini masih dalam tahapan politik kelas demagog, atau kompetisi pemimpin sebatas popularitas untuk dipercaya rakyat yang rakyat itu juga belum dominan memahami politik bernegara yang sesungguhnya.

Justru karena terjadi stagnasi dalam bangunan politik kepentingan kelompok politik maka terjadilah konsolidasi politik yang berorientasi pada pemeliharaan dan mempertahankan kekuasaan, sehingga masyarakat hanya menyaksikan permainan politik para elit politik dalam bernegara, sementara pembangunan masyarakat sendiri terlantarkan, namun masyarakat tersebut akan larut dalam hiburan sebagaimana aktivitasnya menikmati siaran televisi sepanjang hari dan sepanjang hidupnya. Lalu masyarakat di negara itu akan tumbuh sebagai masyarakat pemilik issu dan masyarakat informatif yang akhirnya hanya bisa membangun sentimen-sentimen dalam kehidupannya dan tentu mereka akan lalai dalam faktor simpati, dukung mendukung tokoh politik dalam barisan politik yang sesungguhnya berputar-putar dalam labirin kekuasaan sempit.

Sebagai contoh kekinian, misalnya pemerintah sedang menghadapi kelompok FPI yang dianggap berat,  kemudian pemimpin pemerintahan melakukan konsolidasi kekuatan politik menghadapi FPI, tentu saja power-power politik dalam masyarakat yang berhaluan kontra akan menjadi elemen penting yang bisa menempatkan anggota kabinet untuk tujuan menghadapi politik pragmatis.

Jika ini yang berlaku, lalu dalam konsep pembangunan rakyat dan pembangunan bangsa Indonesia, adakah resufhel ini memberi manfaat ke tujuan berbangsa dan bernegara dimaksud?

Jawabannya kita akan kembali dibelenggu dalam politik pragmatis yang berorientasi pada kekuasaan dan penguasaan negara. Oleh karena itulah maka negara ini stagnan dalam pembangunan rakyatnya terutama dalam nilai-nilai kebangsaan yang samakin menipis dan hal inilah yang membuka peluang bangsa lain untuk melakukan agresi kolonialisasi psikis dan mentalitas kebangsaannya.

Karena apa? Tentu saja karena para elit bangsa kita hanya membangun konsolidasi politik pragmatis dalam kekuasaan bukan konsolidasi kebangsaan yang solid dengan segala kompetensi rakyatnya.

Lalu, dampak apa yang akan timbul berikutnya? Tidak lain adalah munculnya biang-biang atau alur yang akan menghadapkan kelompok masyarakat, pecah belah dan adu domba yang tidak dapat dihindarkan karena kompetisi persaingan jabatan kekuasaan dan kepentingan sempit dalam bernegara.

Penunjukkan dan penundukan, pembuktian kehebatan, penujukan kesaktian akan mewarnai kehidupan pemerintah dan masyarakatnya hanya berposisi sebagai penikmat tontonan sandiwara politik. Karena itulah akhirnya politik mengajarkan rakyat dalam nilai yang berkontra dengan politik berbangsa dan bernegara yang sesungguhnya.
Buktinya apa? Bangsa Indonesia semakin sulit melahirkan negarawan-negarawan dalam politik yang kualitasnya berstandar politik yang normatif.

Saya masih berpengharapan dugaan resufhel ini tidak mengarah pada fakta-fakta politik yang dihadapi pemerintah Jokowi saat ini. Saya sebagai penulis dan warga negara Indonesia yang secara sadar dan dewasa menjadi warga negara masih menaruh harapan yang besar terhadap perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga politik elit negara dapat mengantarkan perwujudan kesejahteraan kehidupan rakyat secara bertahap yang jauh sebatas konsolidasi barisan konspirasi dan semoga rakyat Indonesia semakin cerdas.

Tulisan ini tidak bermaksud mengajarkan pemimpin berpolitik dan bernegara tetapi lebih sebagai penilain dan harapan warga masyarakat yang menanti kehadiran negara dalam dirinya atas kepemimpinan presiden Jokowi.


Semoga!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun