Pertama, pemerintah dengan sistem birokrasinya. Maka warna politik Indonesia beraroma birokrasi.
Kedua, pimpinan partai politik yang sebahagian besar juga cenderung ke politik birokrasi, karena partai politik sebahagian besar mendewakan dan bertujuan mendapatkan kekuasaan meski hanya sedikit kekuasaan, misalnya ketua partai atau petinggi partai lainnya hanya bertujuan menjadi menteri (pembantu penguasa).Â
Maka partai politik memperebutkan bergabung dengan partai pemenang presiden secara terbuka. Lalu bagaimana mereka ingin mengkritik atau meluruskan harapan rakyat? Mereka akan berpura-pura bicara sindir dan bersikap hanya untuk mencari dukungan rakyat kepada partai dan dirinya. Jika kita kaji dalam kualitas politik, tidak berbeda dengan membohongi rakyat.
Ketiga, Partai Oposisi yang kuantitas dan kualitasnya minim di Indonesia, mereka juga dalam posisi plus serta minus dalam mendidik kader dan rakyat. Karena mereka seringkali hanya mencari celah untuk menyalahkan pemerintah terkadang pada hal-hal yang tidak substantif berkaitan dengan kepentingan rakyat. Karena sudah pasti mengedepankan posisi politik untuk mempengaruhi dukungan warga yang kontra dengan pemerintah.
Keempat, personal politisi atau politisi yang punya kemampuan dalam konsep dan teori politik terutama mereka yang punya kapasitas dan kualitas berpolitik dan menulisnya. Sementara mereka juga dalam jumlah yang sangat terbatas dan tergantung pada mentalitas serta independensi dalam pekerjaan dan pendapatannya.
Lalu, siapakah yang paling berpotensi mendidik rakyat Indonesia dalam politik dan bernegara?Â
Jawabnya adalah pimpinan media massa yang memegang etika dan mereka orang-orang yang konsisten dengan profesionalnya, beserta seluruh wartawannya.
Lalu, bagaimana mereka mendidik rakyat? Tentu dengan beritanya yang sebahagian besar memaparkan pemikiran narasumbernya. Jika masyarakat membaca berita dari nara sumber yang baik, cerdas dan normatif maka informasi dan wawasan masyarakat juga normal. Tetapi sebalikinya jika narasumbernya subyektif maka wawasan masyarakat juga bisa dibayangkan.
Sementara pemikiran wartawan hanya mewarnai beberapa persen dari berita dan itupun tidak secara langsung tetapi lebih kepada menghadapkan dengan skenario untuk menghasilkan sikap si nara sumber baik itu benar maupun salah pada posisinya sebagai stakeholders.
Jika pendidikan rakyat dengan sistem begini terus berjalan maka tidak berbeda dengan membiarkan politik dalam filter masing-masing warga masyarakat. Sehingga kita menemukan pemahaman-pemahaman warga masyarakat dalam politik yang tidak berstandar ilmu pengetahuan politik yang sesungguhnya.Â
Masyarakat juga akan cenderung otodidak dalam politik serta jauh dari teori dari konsep dan rumus-rumus politik yang normatif untuk kepentingan rakyat dan negara. Justru politik akan beraroma kampanye politik dan sebatas memperbesar simpati dan dukungan yang bukan karena alasan politik itu sendiri tetapi terbatas pada sentimen. Karena wawasan politik rakyat dipenuhi dengan issu-issu politik sebagaimana media referensinya yang pada akhirnya mereka berbeda pendapat dan saling klaim pembenaran yang menjadi alat perpecahan rakyat.