Hal ini bisa disebabkan peran dan fungsi Wakil rakyat yang lemah dalam politik sehingga mereka menerima kompensasi dengan uang ketika proses seleksi pimpinan perangkat kekuasaan yang vital dimaksud.
Keempat, Kesalahpahaman dalam memahami politik dalam pengelolaan image pemerintahan, padahal dalam perspektif pemerintah penanganan masalah secara persuasif dan musyawarah secara demokratis adalah lebih normal daripada sistem sanksi kepada siapapun warga negara atau pimpinan dan organisasi dalam negara yang melakukan tindakan protes sosial atau bahkan memposisikan dirinya sebagai oposisi dengan pemerintah.
Sesungguhnya dengan merangkul dan mengajak bekerjasama dalam membangun negara dan memperbaiki sisi kekurangannya, pemerintah justru mendapat simpati rakyat yang lebih dari rakyatnya. Sebaliknya jika pemerintah melakukan cara-cara penanganan tokoh atau organisasi yang berlebihan atau prilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam kecenderungan sosial, maka image pemerintah itu sendiri akan diposisikan negatif oleh rakyatnya, apalagi dalam kondisi rakyat yang mulai hidup di alam demokratisasi.
Empat faktor berlawanan lainnya dapat disebabkan oleh mentalitas dan keahlian tokoh masyarakat dalam pengelolaan organisasi masyarakat itu sendiri sebagai oposisi, terutama ketika mampu memposisikan pemerintah dalam pengelolaan negara yang bertentangan dengan hak-hak warga negara dan harga diri bangsa.Â
Pertama, Keberanian membangun organisasi atau opini publik yang berpeluang mendapat simpatisan luas, misalnya mengededepankan ikatan emosional, budaya, agama dan lain-lain untuk mempersatukan masyarakat yang selanjutanya pada saat pemerintah berprilaku kontra atau bertentangan dengan issu tersebut, maka organisasi atau tokoh pimpinan itu bangkit untuk melakukan protes yang selanjutnya dapat membangun opini publik terhadap seseorang sebagai pahlawan dalam masalah yang dihadapinya.Â
Namun hal ini hanya bisa diraih apabila pemerintah cenderung lemah dalam sisi penanganan manajemen negara dalam issu kepentingan sosial politik, terutama dalam perspektif keadilan.
Kedua, Ilmu pengetahuan dan wawasan pimpinan organisasi atau tokoh politik yang melebihi pimpinan negara atau pengelola negara, sehingga ia bisa menjelaskan pelemahan rakyat akibat kebijakan dan prilaku pemerintah, biasanya tokoh atau organisasi tersebut berposisi sebagai afiliasi tokoh atau organisasi politik oposisi. Maka sewajarnya pemerintah tidak melakukan pembelengguan aspirasi tokoh politik, tokoh masyarakat atau organisasinya dengan cara-cara yang dapat dibaca oleh publik sebagai pendhaliman terhadap mereka, dimana ketika pimpinan organisasi atau tokoh itu lebih handal dalam membangun image dan opini politik justru pemerintah akan kewalahan dan melemahkan kepercayaan rakyat terhadap sistem kekuasaannya.
Ketiga, Kapasitas atau kemampuan politik tokoh atau organisasi untuk menjebak pemerintah untuk melakukan aksi diluar batas kewajaran, apalagi hingga menjatuhkan korban.
 Hal ini menjadi awal kemenangan dalam opini dan image politik organisasi atas pemerintah. Seorang tokoh politik atau organisasi justru dapat dianggap dapat mengendalikan sosial dengan pengaruhnya bila berhasil mengundang emosional pemerintah, meskipun ada sisi lemah pada tokoh atau pimpinan organisasi namun ketika terjadi masalah dan pemerintah berlaku berlebihan maka pemerintah tetap saja akan disalahkan oleh publik, sementara tokoh atau organisasi pelakunya justru mendapat simpatisan.
Keempat, Kecenderungan sosial, kondisi sosial, kondisi ekonomi, kesenjangan sosial dan problemanya terdapat ruang-ruang yang mudah dieksploitasi oleh organisasi atau tokoh yang berminat melakukannya, karena ranah itu adalah bahagian peran dan fungsi pemerintah dalam pengelolaan negara.Â
Oleh karena itulah dibutuhkan pemerintah yang demokratis sehingga ruang-ruang yang dapat dieksploitasi oleh emosional rakyat dapat ditutup secara aspiratif oleh pemerintah dengan sempurna. Untuk itulah pengelolaan negara harus dilakukan dengan konsep-konsep negara secara fundamental terutama membangun nilai-nilai kebangsaan tidak sebatas membangun program dan kegiatan operatif sebatas kampanye politik dan membangun popularitas sebagai pemimpin demagog. Maka mentalitas pengelola negara seharusnyalah berstandar negarawan, meski tidak poluler tetapi esensi bernegara untuk kepentingan kehidupan rakyatnya adalah prioritas utamanya.