Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kajian Ringkas, Kenapa Rakyat Daerah Banyak yang Miskin?

1 Desember 2020   13:27 Diperbarui: 3 Desember 2020   17:45 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Tulisan ini adalah bentuk mencari jawaban atas kondisi daerah yang dianggap miskin dan indek pembangunannya dibawah rata-rata nasional. Namun kita hanya melihat dalam pengelolaan negara pada masyarakat daerah itu sendiri.

Hal ini sudah lama terjadi terhadap rakyat daerah, dan sebelumnya dibantah dengan menggali berbagai dalih yang tidak rasional, namun rakyat hanya bisa diam dan bungkam dan ada juga yang tersenyum dan terbahak.

Landasan berpikir untuk referensi analisa terhadap kontradiksi antara anggaran negara untuk daerah dan hasil pembangunannya yang menimbulkan masalah kemiskinan begitu sempurna (terpuruk) landasan itu sebagai berikut :

Pertama, Daerah Otonomi Khusus saja yang mendapat perhatian lebih dalam perspektif negara masih juga miskin. Siapapun penguasa pemerintah di pusat maka dengan peraturannya yang diatur melalui UU maka pemerintah pusat tidak bisa menghambat pembangunan daerah dengan kebijakannya.

Kedua, Dalam perspektif Anggaran Negara setiap tahun kepada daerah dengan tambahan Anggaran Dana khusus, dianggap berjumlah besar atau normal bagi provinsi yang berpenduduk dibawah lima juta jiwa.

Ketiga, Daerah khusus dengan tambahan konstitusi lokal bernegaranya diberikan kewenangan mengatur dan membuat program pembangunan dengan menggunakan anggaran negara sebagaimana harapan masyarakat itu sendiri dengan muara pembangunan yang tidak berbeda dengan tujuan pembangunan nasional yang diarahkan bagi tahapan pencapaian kesejahteraan rakyat. 

Bila ada yang mendapat evaluasi mendagri tentu berkisar pada tehnis penggunaan anggaran yang secara umum dapat melahirkan penyelewengan anggaran negara. Indikator evaluasi ini tidak beepengaruh untuk konsep pembangunan bila dilihat dalam perspektif tujuan yang holistik.

Keempat, DPR lokal dan Gubernur adalah produknya rakyat, karena dipilih rakyat daerah, mereka menjalankan tugas secara normatif, apalagi tidak ada tuntutan rakyat terhadap keberadaan mereka dikursi jabatan tersebut. logikanya belum ada protes besar oleh masyarakat terhadap kedua lembaga ini. Kecuali pendapat masyarakat ekstra parlemen atau para intelektual yang berbeda pendapat namun masyarakat secara umum sama sekali tidak, paling mereka hanya bisa mengatakan baik dan buruk dengan perasaan atau dengan indikator komunikasi dengan anggota DPR lokal. Namun baik dan buruk itu masih dalam subyektifitas warga bersangkutan.

Empat tool ini dapat menjadi bahan analisa terhadap kondisi sosial yang kondisinya tidak sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat daerah.

Analisa sederhana yang mudah dipahami oleh semua kalangan, dapat dijabarkan sebagai berikut:

Dasar atau landasan analisa yang bisa digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan dan kegagalan pembangunan masyarakat oleh pemerintah daerah adalah sebagai berikut :

Ada dua lembaga atau Tool yang bisa melakukan pencapaian tujuan pembangunan masyarakat itu adalah :

Pertama, (Potensi I) yaitu Sumber daya manusia atau ilmu dalam pembangunan sosial dalam hal ini wakil rakyat dan eksekutif yakni gubernur dan perangkat kerjanya. Semua sdm itu adalah milik rakyat Aceh secara lokal.

Kedua, (Potensi II) yaitu Uang, Anggaran pembangunan Negara melalui APBD yang dikucurkan setiap tahun dari rencana yang dibuat oleh pemerintahan daerah termasuk di dalamnya DPR lokal. Uangnya milik Negara dalam hal ini penyetujuannya pemerintah pusat yaitu presiden dan perangkatnya serta DPR RI.

Analisanya begini, Uang (anggaran) dan sumber daya manusia (ilmu) digabungkan ini disebut kompetensi. Logikanya begini, Jika hal ini dapat dikatagorikan sebagai kompetensi yang benar atau kualitasnya baik, maka pembangunan dan tujuannya pasti masuk dalam zona berhasil. Sebaliknya jika kompetensi ini tidak sesuai atau tidak cukup kualitas dan kapasitasnya maka hasilnya tentu sebaliknya.

Dari perspektif jumlah anggaran dari negara dianggap cukup tidak menjadi permasalahan. Lalu yang menjadi permasalahan dalam hal kompetensi pembagunan adalah sudah pasti sumber daya manusia atau kualitas dan kapasitas (ilmu) pengelola dalam rencana dan rancangan pembangunan dan pencapain tujuan rakyat.

Ada dua elemen utama dalam potensi pengelolaan kekuasaan daerah yaitu eksekutif dan legislatif. Lalu diantara kedua lembaga ini yang mana lembaga yang tidak cukup kualitas dan kapasitasnya (mispotensi) dalam pencapaian tujuan kesejahteraan atau minimal sukses dalam tahapan pencapaiannya.

Dalam hal keberhasilan dan kegagalan tujuan pembangunan daerah kita juga bisa analisa, logikanya sebagai berikut :

Pelaksana Pembangunan, yaitu eksekutif dalam hal ini gubernur dan perangkatnya. Kemudian Pengawas adalah DPR lokal dan perangkat kerjanya. Jika kedua lembaga ini dalam peyelenggaraan tupoksi masing-masing berjalan baik tanpa dominan temuan dan mereka aman-aman saja dalam posisinya maka kegagalan itu boleh di perhadapkan dengan hal berikut :

Pertama, Rancangan pembangunan yang salah kaprah (misguided development) yang tidak memenuhi anasir-anasir dalam konsep pembangunan rakyat dan kesalahpahaman (misunderstanding atau development misconceptions).

Kedua, Terjadi konspirasi dalam pembangunan (a development conspiracy) yaitu pembangunan yang hanya mengakomodir kepentingan legislatif dan eksekutif. Sementara rakyat hanya menjadi objek untuk tumbal sebagai alat pejabat eksekutif dan legislatif untuk (looking for benefits) atau mencari rezeki dalam istilah kehidupan rakyat tradisional sehingga tidak menjadi masalah kerana kata rezeki itu seringkali menjadi alat yang mengharuskan rakyat tradisional untuk memakluminya.

Ketiga, Rencana pembangunan tidak berjalan secara transparan, masyarakat tidak dilibatkan dalam rencana pembangunan dimaksud, dengan kebijakan pemerintah yang menutupi rakorbang serta dibuat secara eksklusif agar rakyat tidak mencurahkan pikirannya karena informasi yang terselubung atau perencanaan berkabut (foggy plan).

Keempat, Jiwa mentalitas Korup (soul mentality corrupt) mewarnai kehidupan rakyat, baik pejabat, tokoh masyarakat dan masyarakat sendiri yang sesungguhnya terperangkap dalam linkaran setan (vicious circle). Karena tidak ada yang bisa disalahkan, terbukti rakyatnya dan tokoh akademisnya juga diam. 

Kelima, Sistem kepemimpinan nasional yang membuat mentalitas rakyat lemah sehingga menjadi tertutup, hegemoninya yang berlebihan membuat masyarakat daerah dan pimpinannya bergantung secara personal atau kelompok kepada pemerintah pusat sehingga kredibilitas kepemimpinan daerah menjadi sangat lemah dan jauh dari potensi pemimpin rakyat, mereka justru terlihat dan terposisikan sebatas penyelenggara administrasi negara dan pendistribusi bantuan dari pemerintah pusat.

Keenam, Adalah sempurnanya ketertinggalan sosial yaitu seluruh masyarakat daerah tidak memahami pembangunan sehingga pembangunan salah kaprah mereka menikmatinya sebagai kebiasaan yang tidak menganggap merugikan mereka. Dalam teori pembangunan maka kondisi sosial seperti ini dikatagorikan rakyat bobrok (dilapidated people).

Masyarakat dalam kondisi ini bisa saja terjadi akibat dari suatu sistem hegemony kekuasaan yang berlangsung dalam jangka panjang. Masyarakat akan larut dalam kehidupannya yang sebatas bertahan hidup dan hanya mengandalkan nilai-nilai kehidupan tradisional dan terminology-terminology dalam batasan yang berlaku pada masyarakatnya. Mereka tidak pernah keluar dari lingkaran tersebut, sementara yang membawa pembaharuan dalam cara pikirnya tentu akan dipersepsikan sebagai musuh dalam pembangunannya.

Masyarakat dalam katagori ini bisa ditandai memiliki berbagai kelemahan dalam cara pandangnya terhadap bernegara dan politik. Sehingga mereka hanya menganggap politik sebagai alat mencari jabatan untuk kemapaman hidup. Maka poltik pada masyarakat kelas ini tidak lebih sebagaimana kompetisi lapangan pekerjaan. 

Ketika dalam jabatan itu para wakilnya tidak lebih untuk mencari rezeki dan ukurannya mereka kaya dan sejauhmana mereka bisa berbagi kepada konstituennya, bukan menyampaikan pikiran atau menuangkan konsepnya dalam mendorong pembangunan kesejahteraan rakyat pada negara. Disamping itu dalam kacamata masyarakat tersebut hanya memahami baik dan buruk dengan indikator perasaannya yang sangat subyektif. 

Sekian
*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun