Ketiga, Rencana pembangunan tidak berjalan secara transparan, masyarakat tidak dilibatkan dalam rencana pembangunan dimaksud, dengan kebijakan pemerintah yang menutupi rakorbang serta dibuat secara eksklusif agar rakyat tidak mencurahkan pikirannya karena informasi yang terselubung atau perencanaan berkabut (foggy plan).
Keempat, Jiwa mentalitas Korup (soul mentality corrupt) mewarnai kehidupan rakyat, baik pejabat, tokoh masyarakat dan masyarakat sendiri yang sesungguhnya terperangkap dalam linkaran setan (vicious circle). Karena tidak ada yang bisa disalahkan, terbukti rakyatnya dan tokoh akademisnya juga diam.Â
Kelima, Sistem kepemimpinan nasional yang membuat mentalitas rakyat lemah sehingga menjadi tertutup, hegemoninya yang berlebihan membuat masyarakat daerah dan pimpinannya bergantung secara personal atau kelompok kepada pemerintah pusat sehingga kredibilitas kepemimpinan daerah menjadi sangat lemah dan jauh dari potensi pemimpin rakyat, mereka justru terlihat dan terposisikan sebatas penyelenggara administrasi negara dan pendistribusi bantuan dari pemerintah pusat.
Keenam, Adalah sempurnanya ketertinggalan sosial yaitu seluruh masyarakat daerah tidak memahami pembangunan sehingga pembangunan salah kaprah mereka menikmatinya sebagai kebiasaan yang tidak menganggap merugikan mereka. Dalam teori pembangunan maka kondisi sosial seperti ini dikatagorikan rakyat bobrok (dilapidated people).
Masyarakat dalam kondisi ini bisa saja terjadi akibat dari suatu sistem hegemony kekuasaan yang berlangsung dalam jangka panjang. Masyarakat akan larut dalam kehidupannya yang sebatas bertahan hidup dan hanya mengandalkan nilai-nilai kehidupan tradisional dan terminology-terminology dalam batasan yang berlaku pada masyarakatnya. Mereka tidak pernah keluar dari lingkaran tersebut, sementara yang membawa pembaharuan dalam cara pikirnya tentu akan dipersepsikan sebagai musuh dalam pembangunannya.
Masyarakat dalam katagori ini bisa ditandai memiliki berbagai kelemahan dalam cara pandangnya terhadap bernegara dan politik. Sehingga mereka hanya menganggap politik sebagai alat mencari jabatan untuk kemapaman hidup. Maka poltik pada masyarakat kelas ini tidak lebih sebagaimana kompetisi lapangan pekerjaan.Â
Ketika dalam jabatan itu para wakilnya tidak lebih untuk mencari rezeki dan ukurannya mereka kaya dan sejauhmana mereka bisa berbagi kepada konstituennya, bukan menyampaikan pikiran atau menuangkan konsepnya dalam mendorong pembangunan kesejahteraan rakyat pada negara. Disamping itu dalam kacamata masyarakat tersebut hanya memahami baik dan buruk dengan indikator perasaannya yang sangat subyektif.Â
Sekian
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H