Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jangan Sepelekan, Membangun Bangsa dengan Agama dan Budayanya

27 November 2020   08:02 Diperbarui: 4 Desember 2020   01:52 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Membicarakan pembangunan bangsa dengan modal agama dan budayanya di Indonesia yang plural maka perlu orientasi yang mengedepankan pemetaan wilayah agar agama dan budaya dapat berapresiasi secara utuh dalam wilayah provinsi-provinsi di Indonesia. Hal ini butuh orientasi dan konsentrasi serta kepahaman paripurna pemerintah agar penerapan nilai-nilai agama dan budayanya dapat mewarnai peraturan bernegara dalam wilayah-wilayah provinsinya, apalagi provinsi tersebut berstatus otonomi khusus sebagaimana provinsi Aceh dan Papua.

Namun ada diantaranya provinsi-provinsi yang masyarakatnya flural sebagaimana ibukota negara dan wilayah dalam pulau jawa dan sebahagian di Sumatera serta Kalimantan yang tidak boleh dijadikan zona khusus, apalagi dalam karakteristik bidang agama. 

Hipotesa penulis bahwa, Siapapun yang mengatakan bahwa agama dapat menghambat pembangunan bangsa adalah persepsi mereka yang sama sekali tidak memahami pembangunan rakyat, bangsa dan negara. 

Mari kita kaji selayang pandang secara logika dengan fakta-fakta dan kompetensi masyarakat yang masuk akal, tentu dengan tanpa maksud mengajari pembuat kebijakan publik negeri ini, tetapi tulisan ini hanya ilustrasi tentang pemikiran rasional bahwa agama justru dapat mengembangkan masyarakat pada kualitas hidup yang lebih tinggi daripada pembangunan yang tanpa sistem nilai yang berkontra dengan pemikiran tersebut.

Penataan wilayah dalam negara seluas Indonesia sudah seharusnya dibangun dengan sistem zona yang memiliki karakteristik dan tidak menghilangkan budaya serta jejak sejarahnya. Warga Islam tentu saja tidak perlu kuatir dengan orientasi zona beragama lain misalnya kristen di Papua atau Maluku, serta Hindu di Bali, demikian juga sebaliknya warga agama lain tidak perlu kuatir dengan pembangunan Islam secara orientatif di provinsi Aceh dan Sumatera Barat dan provinsi lainnya.

Penguatan sebagai provinsi yang terkenal dengan agama dan budayanya perlu menjadi prioritas dalam kebijakan pembangunan nasional. Salah satu wilayah paling banyak dikunjungi masyarakat dunia adalah Bali. Padahal provinsi itu sangat kental kehidupan masyarakatnya dengan agama hindu dan budayanya. Hal ini dapat menjadi indikator bahwa justru agama dan budaya dapat menjadi nilai tambah dalam pembangunan rakyat, bangsa dan negara.

Sistem hidup masyarakat dalam bidang agama dan budayanya dapat menjadi alat sosial yang terdepan untuk mengembangkan masyarakat dengan kompetensinya. Misalnya di provinsi Aceh dan Sumatera Barat yang Islam, tentu penyelenggaraan budaya Islam sudah pasti dapat berjalan lancar, karena setiap warga Aceh mendapat pendidikan mendasar dalam keluarganya masing-masing. Bahkan disetiap rumah tokoh masyarakat dimasa sebelumnya selalu diisi dengan pengajian sebagaimana balai pengajian yang kita kenal sekarang ini. Tempat-tempat itu yang menjadi alat-alat pengembang langsung agama dan budayanya secara intensif.

Dengan orientasi dan mengarahkan pembangunan secara tepat maka kompetensi pembangunan juga dapat ditingkatkan kualitasnya. Nilai agama dan budayanya akan terawat secara baik tanpa gangguan, karena memang semua agama lain memahami dan memaklumi serta menghormati  arah pengembangan masyarakat dikawasan tersebut. Lalu bagaimana negara dapat memanfaatkan pengembangan zona secara unik? Tentu saja ke khasan itu dapat menjadi wisata budaya yang mengundang masyarakat di seluruh dunia sebagai salah satu terget pembangunan nasionalnya.

Islam dan Budayanya 

Di provinsi Aceh kehidupan masyarakat dimasa lalu tahun 70-90-an, dimana pengajian bagi anak-anak lebih banyak dilakukan secara private di rumah-rumah masyarakat yang pesertanya terdiri dari 5 hingga 20 orang di waktu malam hari. Demikian pula pengajian orang dewasa yang masa itu lebih banyak dilakukan secara intensif di rumah-rumah warga masyarakat.

Hal ini tentu saja pemahaman masyarakat Aceh dalam tata cara pelaksanaan aktivitas dalam Islam lebih terbangun dalam jiwa raga masyarakat Aceh, apalgi budaya Islam begitu kental pelaksanaannya di Aceh yang sekaligus dapat merawat budaya yang dipadukan dalam sistem penyelenggaraan ibadah. Rutinitas penyelenggaraan ibadah dan budayanya sekaligus dapat mempengaruhi kualitas keimanan masyarakat.

Hal-hal yang dianggap biasa oleh masyarakat di wilayah lain, kemudian menjadi masalah sensitif dalam pemahaman masyarakat di Aceh, apalagi berhadapan dengan kebiasaan yang beraroma budaya agama. Bahkan tata cara ibadah kepada Allah menjadi evaluasi publik yang kemudian dapat menjadi media puji atau menjatuhkan citra seseorang dalam pelaksanaannya.

Jangan heran kalau ada khatib yang diturunkan dalam penyelenggaraan rukun khutbah di mesjid yang dipenuhi jamaah. Bahkan ada ustat yang berbeda aliran diusir dalam mesjid ketika menyampaikan ceramah kepada jamaah. Hal-hal seperti ini maka dibutuhkan ruang pemakluman dari selutuh masyarakat Indonesia.

Di Aceh hal-hal berkaitan dengan agama menjadi suci dan tidak bisa sembarangan disentuh. Oleh karena itu terkait gedung, rumah dan lain-lain bahkan bentuk bangunan juga perlu lepas dari kondisinya yang dianggap bertentangan dengan Islam.

Ilustrasi ini adalah wujud dari keberadaan peradaban Islam di Aceh yang seyogyanya dikawal dan dirawat secara baik sebagai lokal wisdem dalam konteks kepentingan negara Republik Indonesia, dimana kemudian mengarahkan pembangunan di semua wilayah secara unik dan khusus serta memiliki kelebihan masing-masing.

Kepemimpinan Sinergis

Hal menarik lainnya juga terjadi dalam lingkungan pekerjaan yang mengatasnamakan Agama, sebagaimana kantor wilayah Agama yang sesungguhnya lebih dianggap terpercaya daripada pemerintah Aceh yang dipandang lebih umum oleh masyarakat. 

Karena sulit terevaluasi oleh publik dalam ilmu kepemimpinan Islami, maka berkaitan dengan sistem pengelolaan secara umum, akan halnya manajemen dan kepemimpinan ukuran standarnya  cukup dengan image dan kualitas mereka yang lebih alim dan taat dalam beragama. 

Nilai-nilai ini mungkin sudah tergolong baik dan seharusnya semua pihak dalam negara ini mendukung sistem budaya yang sudah berlangsung lama tersebut. Apalagi bagi warga Aceh sendiri, perlulah kiranya merawat secara baik meski terdapat berbagai kekurangan dan memperlihatkan ketidakwajaran dalam perspektif masyarakat lainnya.

Nilai positif dalam kehidupan masyarakat Aceh justru membutuhkan sikap pemimpin yang lebih tegas. Hal ini perlu dicerminkan melalui sikap dan kebijakan para  pemimpin-pemimpinnya disemua bidang dan tingkatan. Maka para pimpinan kantor, dinas juga wajib mengedepankan nilai-nilai moralitas Islam sebagai pertimbangan dalam mengangkat dan mempromosikan kader dan bawahannya. Apalagi dalam penyelenggaraan pekerjaan urusan agama sebagaimana di kantor Wilayah Urusan Agama Republik Indonesia di Aceh.

Menafikan Sistem Nilai

Jika hal ini dinafikan tentunya nilai-nilai yang Islami dalam sistem pemerintahan di daerah akan terdegradasi dengan sendirinya sehingga keunikan dan karakteristik masyarakat daerah juga tidak dapat diandalkan untuk nilai tambah dalam sistem pembangunan sosialnya.

Kebijakan dalam kepemimpinan menjadi begitu prioritas karena mereka dituntut untuk memahami nilai-nilai Islam dalam keputusannya. Misalnya di kanwil Depag Aceh kira-kira sebulan yang lalu heboh soal mutasi dan promosi pegawainya? Tentu saja yang utama masalahnya selain soal pencopotan atau menonjobkan pegawai oleh kakanwil yang tidak kalah menjadi masalah adalah pengangkatan kepala Departemen Agama Kabupaten yang dianggap lepas kontrol. 

Terutama pegawai yang bermasalah dalam moralitas diangkat menjadi kakandepag atau sebagai pemimpin kantor urusan agama di suatu kabupaten. Hal ini dapat menjadi tanda tanya bagi masyarakat terhadap kredibilitas kebijakan kakanwil dimaksud. Karena itu kita mendapatkan pemberitaan yang menyerupai gerakan protes yang masif pada media-media sosial di Aceh.

Bisa saja yang dipromosikan itu terlepas dari standar nilai yang berlaku, atau karena pendukung atau loyalis kakanwil yang mengharuskan kebijakan tersebut dilaksanakan. Bisa juga timbul pertanyaan, apakah akibat terjadi politik primordialis, atau saling berkelompok dalam instansi kemudian mengangkat anggota kelompoknya secara konspiratif dengan dalih yang subyektif yakni loyalitas kepada pimpinan.

Sistem pengambilan keputusan yang melanggar nilai tersebut dapat menjadi indikator kualitas leadership yang lemah. Karena kurang memberi dukungan terhadap pembangunan sistem pelayanan yang bernuansa Islami. Lalu, apakah dengan mempersoalkan ini dapat dianggap berlebihan?

Tentu saja mereka yang lemah memahami pembangunan akan berprasangka demikian akibat ketidakpahamannya dalam sisi penting pembangunan masyarakat, bangsa dan negara. Padahal kasus-kasus seperti ini perlu sekali menjadi perhatian dan dikawal agar tidak menggerus sistem nilai dan budaya masyarakat setempat yang menyebabkan hilangnya karakteristik kekhususan wilayah tersebut.

Demikian pula yang seharusnya berlaku dalam wilayah lain yang menganut sistem budaya dan agama lainnya yang dapat meningkatkan persatuan Indonesia dengan keragaman budaya dan agamanya. Hal itu dapat disaksikan melalui ciri dan kekhasan daerahnya. Lalu apa yang harus dijaga? 

Sistem hidup dengan aturan yang matang yang tidak mendhalimi dan mendiskreditkan agama dan budaya lain. Penataan pembangunan berbasis nilai tersebut terjadi pada negara-negara yang sudah terlebih dahulu maju di mana masyarakatnya dapat mengembangkan diri dalam berbagai sisi kehidupannya yang kemudian mereka hidup dalam nuansa kebahagiaan bukan sebatas kerja, kerja dan kerja, sementara lapangan kerja justru semakin memyempit.

Sekian
*****

Dokumen : Pemimpin Islam

Ayatollah Khomeini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun