Berbahaya, Kualitas Modal Politik Kita Masih Uang (Cash Money)
Berbicara tentang politik tentu kita harus membahas tentang apa sesungguhnya yang menjadi alat tukar dalam politik. Kalau alat tukar dalam politik masih menggunakan uang (cash money) maka maknanya ukuran dunia politik kita masih berada dalam tataran perdagangan biasa. Pada tahapan ini kualitas dunia politik kita berada pada level yang paling rendah dalam dunia politik.
Berikutnya, jika alat tukar naik setingkat, yakni posisi tawar kepentingan pribadi dan kelompok masuk pada level kedua diatas level kualitas yang rendah sebelumnya.
Diatas itu ada alat tukar dalam dunia politik posisi tawar kepentingan lintas partai politik maka kualitas setingkat lebih maju daripada kedua level politik diatas. Setingkat dengan itu alat tukar dalam politik termasuk posisi tawar (bargainning) partai politik dengan pos jabatan tinggi negara adalah dalam level kualitas politik yang sama.
Pada tiga tingkat kualitas dunia politik ini menghasilkan para pemimpin dan politisi sekelas Demagog dalam bahasa baku Yunani (Pemimpin Populer). Dalam politik bermakna seseorang atau sekelompok orang atau partai politik yang melakukan sesuatu langkah politik dengan mata mereka hanya mengincar suara rakyat sehingga mereka butuh kebijakan politik yang populer dan pragmatis seakan atas kepentingan rakyat padahal bisa saja kebijakan itu menjadi alat pembodohan rakyat dalam jangka panjang.
Kualitas kelas politik setingkat ini masih menghasilkan produktifitasnya politik dalam batasan konspirasi politik. Sementara rakyat hanya diuntungkan pada saat ada kepentingan partai politik dan politisi untuk tujuan jabatan di pemerintahan dan konspirasi.
Dalam negara ketiga, sebahagian kualitas politik berada pada tataran ini, sehingga mentalitas politisi dan birokrator tidak berbeda, karena mereka sesungguhnya masih dalam tahapan mencari jabatan dalam pemerintahan untuk memiliki kekuasaan dalam mengelola image populernya dalam masyarakat.Â
Pendidikan ini akan terus mengajarkan rakyat untuk dalam kepahaman yang sama sehingga kecenderungan rakyat hanya mampu menghargai serta menghormati mereka yang berjabatan dalam pemerintahan karena akses memperoleh manfaat dari fasilitas dan uang negara. Kondisi sosial ini akan sulit di rubah sehingga rakyat terperangkap dalam lingkaran setan (vicious circle/devil circle) atau lingkaran yang tidak berujung pangkal dan berbahaya bagi pembangunan politik rakyat dan bangsa dimasa depan.
Dengan media tulisan yang terbatas kita hanya bercerita tentang tahapan demagog tersebut dan kita belum masuk ke dalam perbandingan, bagaimana sesungguhnya pemimpin dan politisi yang kelasnya negarawan dan berorientasi pada pembangunan rakyat yang sesungguhnya yang mampu membawa suatu kondisi sosial yang mengarah pada pencapaian tujuan bernegara yakni masyarakat yang sejahtera, masyarakat yang hidup adil dan makmur.
Pada tahapan kualitas dunia politik di negara ketiga, sedikit para pemimpin politik yang memiliki keilmuan dan sikap dalam melakukan politik bernegara, karena apa yang mereka lakukan dapat diaggap sesuatu yang jauh dengan harapan dan kondisi sosial. Bahkan posisinya dapat dianggap sebagai musuh dalam masyarakat yang menghambat berbagai prilaku politisi dan birokrator yang populer dan instan dengan rakyat dan wawasannya.
Modal Politik
Pengertian modal politik dalam ilmu sosial masih terus dipertajam dan publikasi. Mengenai modal politik ini jauh lebih sedikit dibanding publikasi mengenai modal simbolik (symbolic capital), modal sosial (social capital), modal budaya (cultural capital) maupun modal ekonomi (economic capital).Â
Sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu (1930-2002), sosok pelopor dalam mengkaji berbagai bentuk modal itu (multiple forms of capital) meski masih banyak mendapat kritik.
Casey sebagaimana dikutip Sudirman Nasir (2009) mendefinisikan modal politik sebagai pendayagunaan keseluruhan jenis modal yang dimiliki seorang pelaku politik atau sebauh lembaga politik untuk menghasilkan tindakan politik.Â
Mempelajari definisi modal politik menurut ilmuan dan pakar yang dianggap ahlinya membutuhkan kajian dan kualitas dari uraian mereka karena batasan pengetahuannya menjadi relatif dalam mengartikulasikannya dalam kehidupan politik sehari-hari menurut kondisi sosialnya.
Namun dari uraian dalam ilmu pengetahuan tentang modal politik , maka uang adalah sebagai salat satu alat tetapi bukan modal politik yang paling utama sebagaimana dalam perdagangan lainnya.
Kesalahpahaman mengartikulasi modal politik tentu akan menyebabkan masyarakat larut dalam kesalahan orientasi dan tujuan politik bahkan sesat dalam memaknai pekerjaan politik. Hal ini bisa dipantau dalam aktivitas politik para politisi dalam melakukan kampanye dan aktivitasnya.
Kampanye Politik Kita
Kampanye politik yang kita lihat dalam dunia politik kita masih terorintasi pada kapasitas pelaku politik yang dinggap sanggup melakukan aktivitas politik dengan kesanggupannya memberikan barang dan jasa yang bermanfaat untuk kebutuhan masyarakat yang kemudian mendukungnya.Â
Tidak jarang kita menemukan seorang calon anggota parlemen bekerja sebagaimana mandor dan kontraktor untuk membuka jalan dan memperbaiki jalan untuk alat kampanyenya. Demikian juga ada yang diantaranya menurunkan traktor kesawah masyarakat untuk  membantu menggarap sawah masyarakat dengan biaya gratis pada saat kampanye.
Kemudian berbicara tentang cash money dan sembako sudah menjadi fenomena yang bisa kita saksikan diberbagai daerah pada masa kampanye partai politik, pilkada atau pilleg.Â
Hal-hal seperti ini berlaku dan dianggap sebagai sesuatu yang ideal oleh masyarakat kita dalam memilih anggota parlemen. Tentu akan sulit kita ingin dibenahi untuk mengarahkan ke jalan yang benar dalam kampanye politik ketika kondisi masyarakat memahami dalam konsepsi yang sama dengan politisi tentang tujuan menjadi anggota parlemen dengan kalimat pengabdian dan membantu masyarakat.
Sementara anggota parlemen adalah penyaringan tokoh masyarakat yang akan menjalankan fungsi-fungsi rakyat dalam bernegara dan mereka harus cukup kapasitas dan kualitas dalam memahami politik dan negara. Atas dasar kesalahan sejak awal dalam rekruitmen calon anggota parlemen maka dalam penyelenggaraan tugasnya mereka berorientaasi untuk mendapatkan fasilitas yang kemudian mereka harus memenuhi tuntutan kebutuhan setiap warga yang memilihnya secara pragmatis. Akibat sistem yang demikian maka kepercayaan kepada mereka menjadi lemah bahkan berimage negatif ketika tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut.
Solusi Untuk Berubah
Pertama, pemimpin partai politik harus memiliki cukup kapasitas dan kualitas dalam ilmu politik sehingga mereka tidak melahirkan kader-kader sesat dalam politik sekaligus membangun rakyat tersesat dalam politik.
Kedua, Pemerintah, tidak boleh membiarkan partai politik liar dalam mendidik kadernya, apalagi mereka tidak pernah dilatih dalam ilmu berpolitik dan bernegara karena pada waktunya mereka akan menjadi mitra kerja pemerintah.
Ketiga, Tokoh masyarakat perlu mendapat pendidikan politik dan bernegara secara normatif, bukan terjebak dalam strategy politik sebagaimana kita lihat selama ini, tetapi wawasan para tokoh masyarakat perlu diarahkan untuk penguatan berbangsa dan bernegara.
Secara umum ilustrasi penanganannya berkisar pada memperbaiki pendidikan politik masyarakat yang dapat mengarahkan kehidupannya sebagai warga negara yang memahami politik, berbangsa dan bernegara. Ketika terbangunnya suatu standar dalam pemahaman masyarakat maka status sosial masyarakat juga secara perlahan akan bergeser dari harta kepada ilmu pengetahuan.Â
Sekian
*****
Foto : pexels
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H