Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kenapa Harus Terbiasa dengan Konsep dan Manajemen Hidup, Juga dalam Politik?

20 November 2020   16:44 Diperbarui: 20 November 2020   16:46 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Kehidupan sosial disetiap tingkatan pada masyarakat di negara-negara mengutamakan konsep dan manajemen hidup dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain untuk kehidupan yang teratur mereka sebahagian besar menggunakan manajemen dalam sistem kehidupannya.

Sebenarnya hal ini bagi mereka yang kurang mengetahui esensi dari konsep dan menejemen hidup ini mereka menganggapnya sepele. Padahal secara garis besar arus pecah belah ditengah masyarakat akibat ketiadaan manajemen yang mandiri sebagai alat pendekatan.

Pada masyarakat timur budaya dan agama menjadi petunjuk operatif dalam kehidupan sehari-hari. Padahal Budaya dan agama membutuhkan kecerdasan manusianya untuk membuat konsep dibawahnya sebagaimana konstitusi dan UU dalam bernegara yang kemudian pada tataran dibawahnya diperlukan peraturan daerah dan lainnya yang mengarahkan sistem kehidupan yang lebih mendetil. Berikut dibutuh personal warga rakyat yang memiliki integritas dan ketegasan sikap dalam kehidupannya, apalagi ketika ia membuat komitmen dengan warga lainnya.

Tidak sulit kita temukan orang-orang yang mengucapkan Insya Allah yang miring ke negatif, misalnya diharap bisa melakukan secara konsisten tapi seringkali  dalam hidup kita mengorbankan kata Insya Allah sebagai tameng atau dalih untuk menolak.

Dengan konsep hidup silaturrahmi sesama warga dapat meminimalisir kesalahpahaman dan perseteruan yang menimbulkan rasa saling tidak percaya dan pecah belah kondisi sosial. Kenapa demikian?

Tentu saja karena masing-masing orang tingkat wawasan dan pengetahuannya berbeda-beda. Hal ini bisa di uji pada masyarakat, sebagai contoh ketika kita bergaul dengan masyarakat di daerah satu dengan daerah lain, atau dari salah satu keluarga dengan keluarga yang lain pasti terjadi perbedaan cara pandang terhadap sesuatu masalah. Untuk hal yang kecil sekalipun, misalnya dalam memahami makna kata saja akan terdapat perbedaan, apalagi kita mengkaji dalam soalan kalimat yang bermacam makna, sindiran, hujat, mengejek langsung dan sebagainya.

Satu kata, misalnya kata "setia" saja bisa menimbulkan salah penafsiran, karena hal itu sangat tergantung pada budaya dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dan lingkungannya.

Bagi masyarakat yang terbiasa dalam sistem kehidupan feodal sudah pasti menganggap setia adalah seseorang yang tunduk patuh pada orang lainnya yang memberi komando atau jika dalam pergaulan dianggap saling bersama dan mendampingi orang lain secara konsisten dalam waktu yang lama.

Sementara kata setia pada masyarakat lainnya bisa berbeda maknanya, ketika berada diantara mereka yang hidupnya lebih produktif dan terbuka serta memiliki wawasan serta pengetahuan yang lebih luas. Sebagaimana dalam politik, seorang anggota dewan itu disebut setia ketika ia mampu mempertahan sikapnya untuk senantiasa konsisten sebagai wakil rakyat dan berjuang mencapai celah pensejahteraan rakyat. 

Kemudian ketika rakyat menghadapi posisinya yang lemah dalam negara maka dewan itulah yang harus menjadi perpanjangan lidahnya, bukan dalam komunikasinya untuk hal-hal konspiratif.

Jika kita kembali pada sistem kehidupan feodal sebagaimana penulis sampaikan diatas maka setia itu tergolong cukup lemah. Karena kesetiaannya itu masih dalam kualitas sebagaimana kerbau yang diperintah kekiri dan kekanan oleh pemiliknya ketika membajak sawah. Kemudian pemilik memberinya makan dan minum yang cukup sebagai kompensasi kesetiaan kerbau tersebut. Model kesetiaan ini dalam kehidupan manusia pada abad-abad yang lalu dijuluki budak yang juga pada waktunya diperjual belikan.

Sementara dikalangan masyarakat yang terbuka dan memiliki wawasan serta pengetahuan yang setara menganggap tidak mungkin ada setia ketika seseorang tidak cukup wawasannya dalam konteks tertentu. Misalnya dalam konteks organisasi, kesetiaan anggota itu sesungguhnya seperti apa?

Mereka yang memahami organisasi dan paham demokrasi yang sesungguhnya maka kesetiaan itu ketika ia sejalan dengan aturan organisasi, sementara faktor dukung mendukung atau kesetiaan kawan dalam organisasi itu adalah tidak lebih sebagai bahagian dari sentimen yang dikendalikan oleh emosional. Sementara mereka yang berwawasan sempit kesetiaan itu bisa saja dalam ruang tunduk dan patuh kepada seseorang yang dianggap pemimpin meski sipemimpin itu tidak dalam posisi sebagai pemimpin yang sesungguhnya karena ia tidak mengawal aturan organisasi yang merupakan kewajiban utamanya.

Dengan kondisi demikian dalam organisasi sehingga ruang demokrasi yang menjadi faktor pengikat anggota organisasi menjadi nisbi dan terdegradasi dengan sikap pemimpin dan anggota itu sendiri yang hanya membawa organisasi sesuai kepentingannya secara subyektif. Padahal organisasi adalah milik semua anggota yang terhimpun di dalamnya.

Oleh karena itu, seumpama organisasi partai politik di masyarakat yang duluan lebih maju menjaga hak-haknya dengan sejumlah kewajiban bahkan mereka meminta membayar uang iuran untuk organisasi politiknya dan mereka menganggap iuran itu sebagai alat untuk membangun kesetaraan dalam organisasi. Mereka memahami hak politiknya lebih penting dari segalanya karena organisasi politik itu adalah hak politiknya anggota dan rakyat banyak.

Jika kita menganggap hal ini sebagai beelebihan maka disitulah indikator pemikiran kita lemah dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan partai politik kita belum cukup kapasitas dan kualitas untuk dapat  disebut sebagai wadah politik yang sesungguhnya.

Lalu, kita menyepelekan dengan kalimat bahwa hal itu di negeri orang yang sudah maju, lantas kita tanpa sadar sudah mengakui kualitas bangsa lain, sementara menganggap diri kita atau bangsa kita jauh tertinggal dan masih lama sampai pada kualitas tersebut.

Padahal yang berlaku di bangsa lain itu barulah hal yang standar dan normatif dalam partai politik. Berikutnya kita menganggap tidak masuk akal dan siapapun pemimpin partai yang nekat melakukannya maka mereka akan ditinggalkan rakyat pendukungnya.

Pertanyaan berikutnya muncul, bahwa jika hal seperti itu tidak ada yang mampu melakukannya karena bisa dianggap bukan sebagai pemimpin, karena menentang image sebagai pemimpin yang adil dan menentang populer karena biasanya pemimpin yang menanggulangi biaya organisasi politik. Lalu jika kita hubungkan dengan pembangunan kemandirian dan yang dipahami secara normatif maka belum ada di negeri kita yang mampu membangun organisasi politik dalam standar partisipasi masyarakat yang sesungguhnya.

Dengan kajian demikian maka ada kesimpulan bagi kita bahwa yang dibangun dengan partai politik itu adalah mentalitas pemimpin kapitalis. Dengan kata lain masyarakat Indonesia mendukung pembangunan dan kekuasaan kapitalizem di negerinya.

Permasalahan berikutnya adalah jika kita pantau kerjasama lintas masyarakat yang kerjasamanya melibatkan lebih dari satu orang warga maka seringkali kita temui perpecahan, bahkan ketika awal membuat perusahaan dengan dua atau tiga orang, kemudian biasanya hanya dikuasai satu orang saja.

Kenapa ini sering terjadi? Jawabnya adalah faktor mentalitas yang tidak memenuhi standar hidup bermasyarakat bahkan standar berkelompok juga lemah sekali. Faktor apa? Akibat faktor wawasan dan ilmu pengetahuan tentang kerjasama, tentang manajemen hidup, tentang hak-hak orang lain. Lalu apakah yang menguasai perusahaan atau organisasi lainnya adalah mereka yang bermental kapitalis? Jawabnya tentu saja benar dan anggota lainlah yang membuat orang tersebut diposisi itu.

Karena ketidak biasaan dalam konsep dan manajemen hidup dimasyarakat, akhirnya kita bekerja tanpa menggunakan aturan main sebagai pegangan kesepakatan. Sehingga yang terjadi  diantara dua, tiga orang itu adalah saling mencurigai, pemahaman yang berbeda, saling fitnah, saling tunduh dan terakhir pecah belah.

Lalu dengan cara apa kita menjalani hidup rutin berkaitan dengan komunikasi dan berinteraksi sesama warga? Kalau kita kaji alatnya itu masuk dalam sentimen dan emosional meski sering kita membungkus dengan kata dan sekaligus mengorbankan silaturrahmi. 

Karena berbeda kualitas silaturrahmi pada jaman dahulu, dimana warga masyarakat dengan akrivitasnya sendiri yang mamdiri meski bertani, berkebun dan melaut. Mereka tidak diatur secara total hidupnya oleh kebijakan negara atau politik. Karena itu keterkaitan dan kepentingannya saling berbeda, hanya sedikit dari masyarakat yang berada dalam sistem politik atau kekuasaan. Tetapi sekarang nyaris seluruh lapisan masyarakat dalam kepentingan kekuasaan negara bergantung hidupnya.

Carut marutnya kondisi sosial bisa ditimbulkan kesalahpahaman warga dalam memaknai arti kata politik, pembangunan, organisasi dan sebagainya yang merupakan alat-alat penertiban sosial dalam berbangsa dan bernegara.

Justru karena negara adalah sebagai organisasi terbesar, maka wawasan dan ilmu pengetahuan rakyat perlu lebih dalam hal keorganisasian, apalagi masyarakat akan berkelompok besar dan kecil secara organisasi. 

Oleh karena itulah maka konsep dan manajemen hidup msyarakat menjadi kebutuhan mendasar karena dengan kepahaman terhadap ruh berorganisasi itulah terbangun kehidupan sosial yang benar, bukan larut dalam sikap manusia yang lain menilai manusia lagi sebatas lebel baik atau buruk. Padahal semua manusia memiliki kedua sisi itu tergantung wawasan dan kondisi hidupnya.

Semoga!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun