Masa reformasi dimana gelombang perubahannya menggugat sistem kepemimpinan otoritarian kepada sistem kepemimpinan demokratis, namun secara realita besarnya dukungan politik saat itu hanya sebahagian masyarakat saja yang sampai sosialisasi substansi manfaat reformasi itu sebagai harapan kehidupannya.
Lalu kenapa kecenderungan sosial yang besar itu tergerus signifikan setelah dibawa ke jalur politik oleh kalangan reformis?
Ada faktor penghalang yang mempengaruhinya, sehingga partai politik yang didirikan untuk perubahan justru tidak mampu menjadi saluran aspirasi politik masyarakat yang dominan, meski perubahan dalam sistem bernegara hampir dapat dirubah secara total. Sayangnya penyelenggaraan negara lepas kendali, sehingga yang melakukan perubahan itu sendiri menjadi hilang dan disudutkan dalam politik dan pemerintahan itu sendiri, Â coba pikirkan logikanya!
Oleh karena itu agar faktor penghalang untuk perubahan dimasa itu yang tidak disadari adalah dan tidak bisa diatur dalam  manajemen reformasi secara baik. Sehingga politik bunglon menjadi kekuatan politik karena tidak semua masyarakat bisa membedakan jalur politik perubahan. Karena biasa berpikir dengan simbolik maka ada yang memilih kata Amanat, Demokrasi, Bintang, Keadilan hanya sebatas melihat nama partai politik, kulitnya tapi bukan isinya.
Hal ini penting diketahui publik agar semua yang ingin menaruh harapan untuk perubahan bangsa tidak salah pilih jalur yang justru mendukung politik penghalang itu sendiri. Beberapa hal itu adalah sebagai berikut :
Pertama, Ada faktor penghalang yang terposisikan sebagai status quo yang melakukan penghadangan informasi perubahan dengan memanfaatkan kemapanan politiknya untuk menetralisir dan melemahkan arus perubahan.
Kedua, Para pemimpin reformasi mulai berkonsentrasi dalam lingkaran elit dan lebih banyak membicarakan urusan politik dan jabatan dalam membangun partai politik, sehingga partai-partai yang dilahirkan kala itu menjadi partai yang bersaing dengan partai yang sidah. Pesan dan pemikiran-pemikiran perubahan itu tidak sepenuhnya diterima masyarakat umum, apalagi kondisi sosial saat itu masih dalam tahapan pencerahan demokratisasi dalam bernegara.
Ketiga, Para pemimpin partai politik sebelumnya meleburkan diri dalam arus perubahan dengan simbol-simbol dan perubahan sistem kepartaian yang memperlihatkan semangat demokratis dan keinginan yang kuat untuk perubahan.
Keempat, Rekruitmen pemimpin partai di daerah-daerah yang berorientasi pada kemapanan sosial sehingga ilmu politik dan pemikiran-pemikiran perubahan tidak mampu dijabarkan dan disosialisasikan secara utuh kepada masyarakat Indonesia. Sehingga mereka hanya bisa memberi manfaat yang sama saja dengan politik masa sebelumnya.
Kelima, Sebahagian besar tokoh masyarakat masih berorientasi feodalizem dalam memandang kepemimpinan negara dan kepemimpinan masyarakat sebagaimana ormas-ormas yang telah lama terdidik dan terbina dalam masa kepemimpinan status quo.
Keenam, Mentalitas pimpinan partai politik baru di daerah-daerah yang membawa issu perubahan lebih terorientasi merebut kapling ormas, kurang percaya diri untuk menjadi partai terbuka sehingga partai politiknya terbungkus secara eksklusif ditengah masyarakat. Hal ini menimbulkan kesenjangan antara masyarakat dengan partai politik yang tercitrakan sebagai partai kelompok.