Emansiapasi atau Kesetaraan
Merujuk kepada sejarah perjuangan pahlawan perempuan Aceh yang memimpin melakukan perjuangan mempertahankan bangsa dan negaranya, dapat kita simpulkan bahwa sebahagian besar mereka adalah sebagai seorang istri dan ibu, tetapi mereka juga adalah pemimpin rakyat meski kepemimpinan itu merupakan pengalihan tanggung jawab setelah suaminya tewas dalam pertempuran.
Intinya perempuan-perempuan pahlawan tersebut merupakan para pendukung suami yang setia dalam ikatan yang berpunca kepada ajaran agama. Mungkin saja ideology perkawinan perempuan Aceh dimasa itu tidak sebatas "Cinta" sesama anak manusia tetapi lebih kepada cinta kepada penciptanya dan cinta kepada harga diri dan semangat kebangsaan.
Lalu, ketika kita ingin bicara tentang emansipasi wanita maka Aceh adalah tanah tempat lahir dan berjuangnya para pahlawan perempuan nasional itu yang tentunya mereka adalah pelaku-pelaku langsung dalam menerapkan emansipasi wanita di nusantara bahkan di Asia Tenggara.
Justru karena itu kita dapat  mengambil suatu kesimpulan bahwa perempuan hebat adalah perempuan yang bisa menjadi istri yang baik, mendukung perjuangan suaminya.Â
Kemudian menjadi ibu yang baik dan mereka juga adalah para pejuang yang berani dan bersikap membela rakyat, bangsa dan negaranya meski resiko itu mengancam jiwa dan raganya.
Oleh karena itu, perlulah kita menganggap bahwa para tokoh masyarakat dijaman ini yang masih menolak pemimpin dari kalangan perempuan merupakan tokoh masyarakat sesat dalam ajaran sejarah dan sekaligus sesat dalam ajaran agamanya.Â
Apalagi jika ini terjadi di Aceh maka jika masih ada daerah-daerah yang tokoh masyarakatnya bersikap demikian maka mereka dapat disebut para penjahat yang telah merendahkan para pahlawan nasional perempuan sekaligus telah merendahkan perempuan dimasa kini.
Pembangunan Salah Kaprah
Lalu bagaimana dengan perkembangan pembangunan perempuan di Indonesia dan Aceh saat ini yang merupakan zona lahirnya pejuang-pejuang perempuan tersebut?
Tentu saja, jika perempuan masih dominan dalam pembangunan daerahnya maka pembangunan itu dapat disebut sebagai pembangunan yang benar. Sebaliknya jika nominasi perempuan menjadi sangat minim maka pembangunan daerah dapat dianggap sebagai pembangunan salah kaprah.