Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemimpin Lakukan Mutasi Berorientasi Loyalitas Dirinya Sama dengan Menaruh Negara di Bawah Telapak Kakinya

23 Oktober 2020   10:51 Diperbarui: 23 Oktober 2020   11:06 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tarmidinsyah Abubakar

Saban hari kita disuguhkan dengan tema kebaikan, kemuliaan. Kehebatan pemimpin dalam berbagai perspektif oleh para pengikut ajaran teology serta ideology bahkan pengikut berbagai aliran termasuk dalam memimpin pemerintahan, dinas dan lembaga serta kepemimpinan daerah.

Berikutnya ada juga para pensyiar dan penyebar kharisma terhadap pemimpin yang dalam masyarakat tradisional menjadi sesuatu yang tidak asing bahkan ketika si pemimpin telah diliang lahat. 

Justru karena itu kita menemukan budaya kaul dalam kehidupan sehari-hari, ada juga budaya penyembahan terhadap ruh para raja yang dianggap sakti mandraguna, kemudian ada juga penggunaan barang pusaka para pemimpin dimasa lalu yang disucikan dan dipelihara sebagai senjata gaib dimasa sekarang. 

Pertanyaannya kenapa pemimpin masa lalu lebih berkharisma daripada pemimpin dijaman ini?

Untuk kemudahan mendapat alat pembahasan terhadap tema tulisan ini yang berkaitan tentang mutasi maka penulis hanya menjelaskan perbedaan pemimpin dalam perspektif orientasi kepemimpinannya. Kenapa dimasa lalu mutasi itu tidak pernah menjadi permasalahan yang menyebabkan si pemimpin tersandung atau dipecat karena kecerobohannya dalam menempatkan sumber daya pelayan masyarakat.

Tentu saja kita bisa menjawab secara ringkas tentang kepemimpinan dimasa lalu dan pemimpin dimasa sekarang. Dimana pemimpin masa lalu memiliki orientasi tugas pada ide dasar kepemimpinan yang berkenaan dengan tanggung jawab membangun kehidupan warganya secara umum sebagaimana profil warga yang menjadi harapan dalam konsep dan pemikiran sang pemimpin.

Berikutnya pemimpin dimasa lalu memiliki tugas-tugas yang bombastik ketika memimpin, misalnya memerdekan negerinya, membebaskan perbudakan di negerinya, membebaskan pendidikan standar warganya dan berbagai pekerjaan fundamental dalam kepemimpinan yang begitu nyata menegaskan mereka sebagai seorang pemimpin. 

Sementara pekerjaan mutasi dilakukan sebagaimana tuntutan kebutuhan untuk memperlancar pencapaian tujuan program pembangunan. Kemudian mutasi hanya menjadi bahagian yang bahkan nyaris tidak nampak ataupun bakal heboh sebagaimana kepemimpinan yang dipertontonkan selama ini.

Secara gamblang kepemimpinan dinegara pada jaman ini justru terorientasi pada kewenangan dan kuasa mengonta ganti pejabat, yang plaing meresahkan lagi terjadi  di daerah-daerah provinsi dan kabupaten/kota baik oleh kepala daerah maupun kepala kantor wilayah dan turunannya. Padahal keadaan tidak pernah berubah ketika pemimpin miskin ajaran, lemah seni memimpin, miskin wawasan dan kecerdasan meski menganti pejabat setiap enam bulanan.

Ada kesan bahwa kepemimpinan pemerintah pada pribadi seseorang dan pribadi tersebut dianggap yang bisa menjamin nasib dan masa depan kehidupan seseorang dan keluarganya. Sistem kepemimpinan otoriter yang  jahiliyah ini sesungguhnya sudah tidak berlaku di Indonesia selama negara dan masyarakat sudah mengenal hak politiknya dan demokrasi sejak tahun 1998.

Sebagai contoh kejadian yang menghebohkan dilingkungan Departemen Kantor Wilayah Agama (Kanwil Depag Aceh) yang mendominasi media massa dan menjadi pembicaraan publik ditengah masyarakat dalam beberapa hari ini dapat dilihat pada link dibawah tulisan ini.

Kenapa Mutasi heboh

Sesungguhnya hakikat kekuasaan itu adalah kerjasama yang bertujuan menghasilkan kebijakan dan pelayanan publik, seseorang yang memiliki kapasitas yang baik tentunya mampu melakukan mutasi itu dengan baik yang bisa memberi dampak kenyamanan kepada semua elemen yang berkait dengan kapasitas kekuasaan dimaksud.

Dengan demikian, intinya adalah pemegang kekuasaan atau orang yang dipilih untuk memimpin dan mengendalikan kewenangan itu selama ia bisa bekerjasama (dalam arti yang sesungguhnya) termasuk dengan elemen masyarakat maka ia digolongkan mampu. Sebaliknya mereka yang melakukan tugasnya secara sembarangan yang menimbulkan banyak masalah apalagi menghebohkan maka ia tergolong sebagai yang tidak mampu memenuhi syarat sebagai pemimpin meski ia sebagai pejabat utama dilingkungan itu.

Ada kata bijak mengatakan membuat suatu keputusan menggantikan orang dalam sistem yang baik itu ibarat menarik rambut dalam tepung. Tapi kalau kita hanya bisa mengacak-ngacak sekedar memindahkan rambut dalam tepung itu tentu saja  sebagaimana prilaku anak kecil yang tidak paham dengan dampak yang dilakukannya.

Kesimpulannya mutasi yang menghebohkan dimanapun kejadiannya, di daerah atau dikantor apa saja ini dapat menjadi indikator yang menunjukkan batasan kepemimpinan seseorang yang sering dimaknai sebagai kelemahan mendasar dalam memimpin.

Karena apa? Tentu saja karena mutasi itu menjadi orientasinya dalam memimpin, sehingga semua mata akan menuju kesana. Berikutnya para pegawai dilingkungan itu juga akan diwarnai dengan mentalitas terjajah, mereka tidak mampu mencapai mentalitas profesional dalam pelayanan publik sebagaimana diamanatkan dalam UU ASN No. 15 Tahun 2014 dan semangat serta nilai dalam peraturan lanjutan dan turunannya.

Meskipun istilah lelang jabatan tidak dikenal dalam UU ASN, namun istilah promosi yang terbuka dan kompetitif digunakan dalam regulasi tersebut, terutama untuk pengisian jabatan pimpinan sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (1) UU ASN. Sistem promosi dilakukan berdasarkan perbandingan yang objektif antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan, penilaian atas prestasi kerja, kepemimpinan, kerjasama, kreativitas dan pertimbangan dari tim penilai kerja PNS pada instansi pemerintah, tanpa membedakan jender, suku, agama, ras dan golongan.

Dengan ada aturan main yang terbuka maka semua pegawai dapat merasakan keadilan dan memahami kekurangan dirinya dan kelebihannya sehingga mereka harus mengoptimalkan kapasitas dirinya dalam bekerja. Begitu pula bagi pemimpin aturan main secara terbuka ini adalah untuk menghindari agar tidak terjadi pendhaliman terhadap pegawai lainnya oleh kebijakan pemimpin.

Jika Sebatas Loyalitas

Dalam politik kualitas rendah dimana seseorang pemimpin yang dipilih membutuhkan dukungan,  maka berpotensi menyeret subyektifitas dalam mutasi yang berorientasi pada loyalitas dan sering mengesampingkan faktor lain yang menekankan orientasi pada peningkatan kualitas pelayanan publik.

Bicara politik bukan sebatas kepemimpinan oleh kader partai politik, tetapi termasuk kepemimpinan kantor wilayah dan kantor lainnya yang mereka dipilih melalui seleksi dan kompetisi terbuka dan diwarnai faktor dukungan. Meskipun ada faktor dukung mendukung bukan berarti mereka bisa menunjuk loyalisnya pada jabatan-jabatan dilingkungan itu.

Jika seorang pemimpin menegaskan kepada publik bahwa loyalitas kepadanya sebagai modal utama untuk mendapatkan jabatan, maka sungguh hal ini  sebagai promosi ketidakmampuannya dalam memahami serta menjalankan kepemimpinan disamping itu ia juga secara tidak langsung telah mendeklarasikan dirinya sebagai pemimpin otoriter dengan menantang publik sekaligus negara, terlepas dalam ketidaktahuannya.

Karena peraturan mutasi di negara ini tidak hanya diperuntukkan kepada pegawai tetapi juga ditujukan kepada publik supaya mutasi dilakukan secara transparan, maka mereka yang punya seni memimpin dan memahami semangat aturan negara ini tentu mereka akan memperjuangkan sesuatu yang lebih, misalnya melibatkan elemen masyarakat yang kontra dalam kepanitiaan seleksi dan lainnya yang memberi kesan pemenuhan syarat profesional untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada pegawainya dan sekaligus kepada negara.

Mentalitas Pemberontak

Ketika seorang pimpinan kantor atau dinas bahkan kepala daerah mengutamakan loyalitas kepada dirinya dibandingkan loyalitas terhadap peraturan negara maka tidak berbeda dengan ia menempatkan negara dibawah telapak kakinya. 

Sesungguhnya pemimpin seperti ini sedang melakukan pemberontak murni yang melemahkan negara dalam perspektif kecerdasan intelektual, pemberontak itu bukanlah sesederhana pemangkul senjata meski mereka membakar kantor atau berperang dengan tentara dan polisi sebagaimana konflik di Aceh, Papua pada masa lalu. 

Lalu pemangkul senjata dan pembakar kantor pemerintah itu siapa? Jawabnya mereka adalah korban-korban pembodohan politik kedunguan di negara ini.

Sekian
*****

halaman7.com
halaman7.com
beritamerdeka.net


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun