Sistem Pemerintahan Sentralistik, Rakyat Aceh No. 1 Terdhalimi.
Aceh memang unik! Ketika di jaman Orde Baru, rakyat Aceh bangkit menuntut merdeka, dalih atau alat politik yang paling kuat itu karena kesewenangan pemerintah pusat yang menerapkan sistem pemerintahan sentralistik, ekonomi yang monopolistik, kepemimpinan yang otoritarian.
Lalu permasalahn dimasa Orde Baru terselesaikan di era Reformasi, dimana pemerintahan saat itu mulai menekankan kekuatan daerah sebagai pusat-pusat kekuasaan baru akibat pendistribusian kekuasaan yang desentralis. Terjadi pemekaran sejumlah provinsi dan kabupaten/kota diseluruh Indonesia sebagai implementasi desentralisasi yang merupakan anti tesis dari Sentralistik.
Realita ini sempat menimbulkan raja-raja baru di daerah yang dalam Ilmu Pemerintahan juga politik menunjukkan gejala anti klimaks dan ketidaksiapan para pimpinan di daerah yang sebahagian besar terekruit dari tokoh-tokoh masyarakat (akibat dikembalikan haknya bernegara) yang sebelumnya belum memiliki pengalaman dalam pemerintahan dan politik.Â
Dimana masyarakat hanya hidup sebagai pekerja dalam profesi-profesi yang menghasilkan pengelolaan dan pengolahan industri serta kerajinan tanpa harus mengetahui pembagian hasil dan siapa pemilik industri tersebut.
Kemudian dalam perubahan pemerintahan pada tahap selanjutnya dilakukan penguatan cross and balance kekuasaan di daerah  (keseimbangan kekuasaan) dimana power DPR Provinsi dan Kabupaten/Kota sebahagian haknya diambil alih oleh Menteri Dalam Negeri.Â
DPR daerah tidak lagi berwenang melakukan pemecatan (impeachment) terhadap kepala daerah yang melakukan penyelewengan kekuasaan (abuse of power). Tentu saja hal ini sebagai kekuatiran pemerintah pusat terjadi keributan-keributan di daerah dan pergolakan ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat.
Dalam kepemimpinan politik segenap kepala daerah dapat dikatagorikan belum dewasa, mereka masih terjebak dalam semangat keakuan (egoisme) pribadi dan kelompok yang berlebihan (Peraturan negara yang Demokratis sementara mentalitas masih dalam bayang-bayang Feodalisme).Â
Bahkan hampir semua daerah kita mendapatkan Kepala Daerah dan Wakil mengalami disharmoni yang kemudian menjadi lawan dan bermusuhan dalam hubungannya hingga mereka mati dan meninggalkan permusuhan itu kepada turunannya.
Ini adalah ritme perkembangan pemerintah di daerah-daerah paska dilakukan reformasi di Indonesia, dengan merubah sistem kepemimpinan Otoriter kepada pemerintahan yang Demokratis yang memberi hak politik kepada segenap anak bangsa.
Tentu saja ada masa pendewasaan jika pemerintah itu stabil dan memahami penuh tentang prinsip-prinsip demokrasi dalam nafas pemerintahan dan politik.
Yang perlu dijadikan catatan bahwa selain sumber daya pemerintahan di daerah yang lemah akibat kaget dengan kewenangan yang besar, namun pemerintah pusat juga tidak kurang lemah dalam memimpin negeri ini dimana demokrasi sebenarnya belum memenuhi jiwa apartur pemerintah tetapi masih memjadi tampilan dan penciteraan politik yang semua itu sekedar menarik ulur kekuasaan.
Maknanya masyarakat Indonesia harus belajar dengan budaya baru itu yang sebahagian besar menganggap budaya baru dari barat. Padahal pancasila adalah representasi dari demokrasi itu sendiri, tapi karena tiga puluh dua tahun dalam kepemimpinan otoriter atau enam kali pergantian presiden ditambah setengah terakhir masa Orde Lama yang juga menerapkan sistem otoritarian maka boleh diringakas bahwa setengah abad masyarakat Indonesia hidup dalam alam otoritarian yang sempurna dan tidak mengenal demokrasi tetapi dimodifikasi dalam demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, demokrasi lain-lain yang intinya sebagai topeng yang justru melemahkan demokrasi yang sesungguhnya.
Apakah sumber yang telah merubah sistem pemerintahan dan sistem hidup dalam masyarakat Indonesia tersebut? Jawabnya adalah Perubahan UUD 1945 atau Amandemen yang dilakukan sebanyak empat kali dimasa Ketua MPR yang dipimpin oleh Prof. Amien Rais sebagai pemimpin reformasi.
Catatan Penting Bangsa
Pada ranah legislasi terjadi perubahan yang luar biasa dari era Orde Baru ke Era Reformasi, yang namanya peraturan dasar  tentu saja menjadi landasan yang sebatas mengatur prinsip-prinsip kepemimpinan, seterusnya tambahan hanya berkisar dalam ranah perencanaan dan pengawasan penyelenggaran pemerintahan negara.
Lalu sesungguhnya yang menjalankan memimpin bangsa, mendidik rakyat, mengajarkan politik rakyat, mengajarkan pemerintahan secara dominan itu siapa? Dia adalah presiden Republik Indonesia dimasa Reformasi, yakni Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri dan Susilo Bambang Yudoyono dan sekarang Joko Widodo.
Pertanyaannya, apakah mereka adalah orang-orang yang belajar ilmu politik dan pemerintahan yang kemudian membawa ideology baru dan merubah cara hidup bangsa Indonesia?
Sebagai catatan kaki bahwa, suatu peraturan dan konstitusi yang sudah sempurna sekalipun  namun jika pemimpin yang memanage bukan ahlinya tentu saja hasilnya akan merot ke kiri atau moret ke kanan.
Lalu salahnya dimana? Negara ini tidak pernah diserahkan pada ahlinya yang membuat perubahan itu sendiri. Akibat penyerahan kedaulatan sepenuhnya kepada rakyat yang masih lemah dalam pemerintahan dan politik dimana terjadi penerapan budaya baru dimasa Reformasi, akhirnya reformasi itupun hilang kendali dan tidak bisa dikuasai oleh mereka yang ingin melalukan perubahan secara total.
Pemerintah Kini
Memantau perkembangan pemerintahan pusat saat ini yang secara nyata ingin mengembalikan sistem yang sentralistik apalagi dengan pengesahan UU sapu jagad (omnibus law).Â
Hal ini tidak berbeda dengan penerapan demokrasi terpimpin dimasa Orde Lama. Perbedaannya dimasa lalu dilakukan oleh presiden secara langsung, sementara kini menggunakan tangan DPR.
Meskipun kemudian dilakukan  pembluering bahwa justru pemberlakuan rencana tersebut justru akan lebih menguntungkan rakyat dengan bakal tumbuhnya industri-industri dan masuknya sejumlah warga negara lain untuk bekerja dimana negara dapat menjadi tempat mencari makan semua orang dibumi ini disemua level kehidupan. Meskipun arahnya sebahagian besar rakyat Indonesia menengah atas memahami muaranya tetapi pintu besar itu tidak juga dipergunakan secara total. Tentu presiden bisa membangun tujuan ekonomi politik dengan Perpres dan Perpunya dikemudian hari sebagaimana kebutuhan.
Aceh dan Otsusnya
Lalu, dengan realita pemerintah pusat sebagaimana ilustrasi itu, dimana rakyat Aceh dulu sampai melakukan pemberontakan dengan senjata akibat sistem yang sentralis. Apakah sekarang mereka menerima sistem yang dibangun oleh pemerintah pusat ketika UU tersebut tidak ada pengecualian penerapannya terhadap Aceh yang sudah berstatus otonomi khusus dan memiliki UU khusus yakni UUPA?
Pertanyaannya, apakah UUPA masih bisa membatasi penerapan sentralisasi kewenangan pemerintah pusat dalam ikhwal UU sapu jagad tersebut?Â
Lantas jika tidak berpeluang untuk itu, apakah rakyat Aceh tidak menganggap UUPA itu sebagai mainan untuk menjinakkan rakyat Aceh dalam soal pergolakan daerah?
Tentu saja banyak jalan keluar bagi kepentingan rakyat di provinsi Aceh dalam menghadapi situasi dan keinginan besar keharusan pemerintah pusat atas rakyatnya. Hal ini akan bepulang kepada pemerintah Aceh sendiri. Sejauhmana pemimpinnya dan DPRnya mampu berbuat untuk mengatur daerahnya.
Ketika pemimpin daerah stagnan dalam berpikir dan menerencanakan kehidupan rakyat maka tentu saja penerapan UU secara umum yang berlaku, jika tidak demikian maka Aceh akan mengalami kekosongan instruksional negara. Rakyat akan berada dalam dilema dan hidup dengan dinamika sentimen yang total.
Setiap hari masyarakat hanya bicara tentang hal-hal yang tidak mendasar dalam bernegara sesuai dengan semangat dan wawasan serta pemahaman masing-masing. Karena peraturan pemerintah pusat hanya sebahagian yang menerima dan sebahagian lain menerima dengan pengetahuannya akibat pilihan alternatif. Berikutnya sebahagian lagi menjadi apatis dengan peraturan negara.
Kemudian tentu saja kehidupan masyarakat akan diwarnai secara kental dengan aliran-aliran dalam beragama. Hal ini akan rawan  terjadinya adu domba lintas kelompok masyarakat. Ruang itulah yang sangat mungkin menimbulkan masalah sosial dalam kehidupan masyarakat Aceh, sementara dalam permasalahan negara masyarakat akan lebih banyak diam dan berada pada tahapan anti klimaksnya.
Masyarakat yang percaya pada pemerintah hanya mereka yang merasa hidupnya bergantung dengan pemerintah yang mereka tidak berpeluang memilihnya. Sementara partisipasi masyarakat dalam bernegara semakin lemah dan cenderung apatis.
Lalu apakah, apakah apatisme tersebut pasif? Tentu saja tidak demikian ketika ada pilihan mereka akan bangkit dan melakukan apasaja baik atas nama kenenaran maupun dipolitisasi dengan segala cara oleh mereka yang berjiwa kapitalisme.
Dari masa kemasa sebahagian besar masyarakat Aceh hanya menonton kemewahan petro dollar, uang yang banyak, minyak berlimpah dimasa lalu, begitupun dimasa reformasi uang juga terbanyak di Aceh dengan otsusnya. Kehidupan masyarakat justru terbalik dengan gembar-gembornya. Sementara mereka yang tidak mampu bertahan mencari jalan menjadi warga negara lain dan bekerja untuk bertahan hidup di negeri lain.
Begitulah terdhaliminya masyarakat Aceh dalam kehidupannya setelah menjadi bahagian dari Republik Indonesia dimana sebelumnya masyarakat Aceh tergolong hidup dalam tingkat kesejahteraan yang lebih baik.
Semoga, ada kebijakan pemerintah Republik ini yang memberi kesejukan terhadap keberadaan provinsi yang berstatus otonomi khusus sehingga minimal masyarakat dapat memahami status daerahnya dimata pemerintah pusat.
Sekian
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H