Hal ini tidak berbeda dengan penerapan demokrasi terpimpin dimasa Orde Lama. Perbedaannya dimasa lalu dilakukan oleh presiden secara langsung, sementara kini menggunakan tangan DPR.
Meskipun kemudian dilakukan  pembluering bahwa justru pemberlakuan rencana tersebut justru akan lebih menguntungkan rakyat dengan bakal tumbuhnya industri-industri dan masuknya sejumlah warga negara lain untuk bekerja dimana negara dapat menjadi tempat mencari makan semua orang dibumi ini disemua level kehidupan. Meskipun arahnya sebahagian besar rakyat Indonesia menengah atas memahami muaranya tetapi pintu besar itu tidak juga dipergunakan secara total. Tentu presiden bisa membangun tujuan ekonomi politik dengan Perpres dan Perpunya dikemudian hari sebagaimana kebutuhan.
Aceh dan Otsusnya
Lalu, dengan realita pemerintah pusat sebagaimana ilustrasi itu, dimana rakyat Aceh dulu sampai melakukan pemberontakan dengan senjata akibat sistem yang sentralis. Apakah sekarang mereka menerima sistem yang dibangun oleh pemerintah pusat ketika UU tersebut tidak ada pengecualian penerapannya terhadap Aceh yang sudah berstatus otonomi khusus dan memiliki UU khusus yakni UUPA?
Pertanyaannya, apakah UUPA masih bisa membatasi penerapan sentralisasi kewenangan pemerintah pusat dalam ikhwal UU sapu jagad tersebut?Â
Lantas jika tidak berpeluang untuk itu, apakah rakyat Aceh tidak menganggap UUPA itu sebagai mainan untuk menjinakkan rakyat Aceh dalam soal pergolakan daerah?
Tentu saja banyak jalan keluar bagi kepentingan rakyat di provinsi Aceh dalam menghadapi situasi dan keinginan besar keharusan pemerintah pusat atas rakyatnya. Hal ini akan bepulang kepada pemerintah Aceh sendiri. Sejauhmana pemimpinnya dan DPRnya mampu berbuat untuk mengatur daerahnya.
Ketika pemimpin daerah stagnan dalam berpikir dan menerencanakan kehidupan rakyat maka tentu saja penerapan UU secara umum yang berlaku, jika tidak demikian maka Aceh akan mengalami kekosongan instruksional negara. Rakyat akan berada dalam dilema dan hidup dengan dinamika sentimen yang total.
Setiap hari masyarakat hanya bicara tentang hal-hal yang tidak mendasar dalam bernegara sesuai dengan semangat dan wawasan serta pemahaman masing-masing. Karena peraturan pemerintah pusat hanya sebahagian yang menerima dan sebahagian lain menerima dengan pengetahuannya akibat pilihan alternatif. Berikutnya sebahagian lagi menjadi apatis dengan peraturan negara.
Kemudian tentu saja kehidupan masyarakat akan diwarnai secara kental dengan aliran-aliran dalam beragama. Hal ini akan rawan  terjadinya adu domba lintas kelompok masyarakat. Ruang itulah yang sangat mungkin menimbulkan masalah sosial dalam kehidupan masyarakat Aceh, sementara dalam permasalahan negara masyarakat akan lebih banyak diam dan berada pada tahapan anti klimaksnya.
Masyarakat yang percaya pada pemerintah hanya mereka yang merasa hidupnya bergantung dengan pemerintah yang mereka tidak berpeluang memilihnya. Sementara partisipasi masyarakat dalam bernegara semakin lemah dan cenderung apatis.