Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rakor Komisi VIII dengan Menteri Agama Dipimpin ala Preman

13 September 2020   11:43 Diperbarui: 13 September 2020   11:51 5870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memantau prilaku DPR kita saya merasa bahwa kualitas mereka sekelas  the pig running (babi berlari) dalam politik, tidak bisa melihat kanan dan kiri apalagi ke belakang.po Mereka belum memiliki seni komunikasi yang memberi kesan sebagaimana seorang wakil rakyat di negara demokrasi.

Lihat saja apa yang dipertontonkan komisi VIII ketika melakukan rapat kordinasi dengan Menteri Agama. Kualitas bicara DPR kita sekelas komandan serdadu Vietnam dalam Film perang Amerika. 

Rapat Komisi VIII tidak pernah mengatur manajemen pembahasan, misalnya mengatur pembahasan secara substantif setiap permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan tugas. Akhirnya hasil pembahasannya hanya bisa dimanfaatkan untuk mempertegas siapa mereka kepada rakyat pemilih. Kondisi sosial dalam politik yang masih berpotensi untuk terus dibodohkan karena kita belum memahami hal-hal fundamental dalam politik dan sisi yang menopangnya.

Tentu saja masyarakat Indonesia yang belum lama memelihara budaya demokrasi itu sebahagiannya yang bermental preman merasa bahwa DPR hebat bisa memarahi menteri atau presiden. Kalau diminta untuk mengkaji kualitas bicara mereka diruang itu khususnya pimpinan komisi itu tentunya anda bisa membuat kualifikasi kualitasnya.

Mengkaji Bahasan Rakor

Tidak banyak bahasa dirapat tersebut, diantara seribu kata yang diucapkan namun sebahagian besar dapat disimpulkan dalam beberapa kata yakni : ego kedudukan dan pressure, secara garis besar hasil pantauan sebagai berikut :

Pertama : Bahasa memperingati dengan gertakan, biasanya memberi sinyal bahwa sang eksekutif tidak memberi lampu hijau untuk berkonspirasi atau telah tidak bisa menjalankan konspirasi.

Kedua : Bahasa menasehati seakan menteri itu adalah anak buahnya DPR itu. Hal ini sesuatu yang memperjelas tentang tertinggalnya  kualitas DPR tersebut.

Ketiga : Mengkomunikasikan  Pamer Ketegasan dimata rakyat, lihatlah gaya bicara yang memberi kesan menguasai dan dikuasai serta menunjukkan menang dan kalah seperti pertunjukan, sama sekali tidak menegaskan background tanggung jawab dan kesetaraan serta sikap saling menghormati.

Keempat : Output dari isi pembahasan rapat komisi VIII itu hanya berupa penekanan institusi yang tidak mengajak pada suatu  kajian yang berlatar suatu tanggung jawab terhadap bangsa dan negara, misalnya mereka tidak peduli dengan keseimbangan, keuangan negara serta beban negara.

Kelima : Semua bahasa yang berkembang diruangan itu tidak menunjukkan dalil-dalil intelektualitas yang bisa memberi pendidikan politik sebagai parlemen negara  demokrasi kepada rakyat, yang diperlihatkan hanya jiwa-jiwa feodal yang menegaskan superior kedudukannya dilembaga terhormat. Isinya tidak lebih adalah memperlihatkan sedih, menyampaikan uneg-uneg, memarahi, memuji, menjatuhkan dan mempermalukan serta menunjukkan keberanian serta hebat.

Sipil Yang Militer dan Militer Yang Sipil

Tentu saja aneh, melihat gaya bicara DPR itu yang berasal dari masyarakat sipil terkesan kita mendapatkan aroma militer. Sebaliknya berhadapan dengan menteri agama yang berasal dari petinggi Militer justru mampu menunjukan dirinya sebagai sipil. 

Bagi masyarakat bisa saja hal ini dianggap tidak penting padahal kejadian ini adalah gambaran tentang bagaimana kualitas wakil rakyat Indonesia yang setelah 20 tahun reformasi Indonesia ternyata DPR kita masih bekerja dengan mentalitas feodalizem. 

Akibat dampak dari mentalitas anggota parlemen yang rendah dalam demokrasi dan justru menjurus ke militeristik maka outputnya adalah justru negara ini akan terus memproduksi pemimpin dikalangan militer yang  bersikap keras yang jauh dari mentalitas civil. Jika kurang yakin tunggu saja jawabannya pada pilpres dimasa depan.

Ilustrasi inilah yang telah menyebabkan eksekutif enggan diundang oleh DPR kita, termasuk kejadian di beberapa daerah dimana gubernur enggan menghadiri rapat dengan DPR kemudian berakibat terjadinya interpelasi, diskomunikasi dan efek negatif lain dalam pembangunan masyarakat daerah yang menyebabkan Indonesia sulit berkembang meski konstitusinya sudah demokratis tetapi mentalnya penyelenggaranya masih saja sebagai penjajah atau dijajah.

Anehnya lagi komisi VIII itu mempertonton kepada masyarakat kedunguannya dimana secara ideal bahwa dalam komunikasi politik seorang menteri meminta maaf dalam pembahasan itu mengindikasikan ada hal yang membutuhkan pemahaman, kesepahaman, dan kajian agar forum tersebut berada dalam kemakluman dan tanggung jawab terhadap negara. 

Tetapi sebaliknya permohonan maaf itu justru memposisikan pihak lain sebagai yang bersalah dan membully. Kemudian ditambah lagi dengan penyebaran potongan-potongan video sepihak yang sangat propagandis. 

Potongan video ini mengindikasikan para politisi masih bermental perampas yang tidak fair dan tidak memberi ruang yang seimbang sebagaimana pemikiran dalam demokrasi yang sesungguhnya. Selain itu penggalan video ini juga sebagai upaya pembodohan masyarakat agar menilai pihak lain salah. 

Berikutnya menunjukkan superior, yang dalam kacamata politik normatif padahal itu bisa dianggap kebodohan dan ketertinggalan dalam politik. Maka dalam mengerjakan tugas-tugas politik dan pemerintahan bahkan dalam pemenangan politik, kita masih menyewa lembaga politik negeri lain yang bermakna ketidakmampuan kita untuk itu.

Memantau kejadian ini memberi sinyal kepada masyarakat sesungguhnya politisi kita masih pada tahap belajar propaganda politik yang jauh dari mentalitas negarawan.

Kritik ini berharap kepada parlemen di negeri ini untuk berubah dan pemerintah seharusnyalah sudah saatnya memberi perhatian kepada partai politik untuk dapat mendidik kader partai yang bermental negarawan karena pada saatnya mereka akan bersanding dengan kader-kader tersebut dalam menjalan amanah rakyat dan memperbaiki carut marutnya bangsa ini akibat sumber daya manusia kita yang masih lemah dalam negara demokrasi yang masih simbolik. Semoga!

*****
Sekian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun