Pengorbanan dalam Demokrasi
Klimaknya, terjadi dalam kongres PAN terakhir yang dilaksanakan di Kendari. Dimana Prof. Amien Rais berbeda haluan politik dengan tiga mantan ketua umum setelahnya. Pak Amien saat itu mendukung Mulfahri Harahap dalam rangka kelancaran kaderisasi kepemimpinan dan menegaskan kepemimpinan PAN oleh seorang Ketua Umum hanya satu periode saja.
Namun opsi ini kalah oleh para mantan ketua umum yang berkonspirasi untuk melawan konsep politiknya. Memang harus diakui bahwa ada pembelaan terhadap pengakaderan putranya Hanafi Rais tetapi masih sangat wajar karena hanya dalam jabatan sebagai Sekjend bukan sebagai Ketua Umum langsung.
Sebahagian kader yang memiliki wawasan memahami keinginan itu sebagai upaya pengkaderan yang normatif, tidak serta merta menempatkan putranya pada posisi sebagai pemimpin utama partai politik.
Prinsip dan tata cara prof. Amien Rais yang terus menghargai hak masyarakat dalam demokrasi akhirnya memang harus dibayar mahal dengan tersingkirnya beliau sebagai petinggi partai politik PAN oleh besannya sendiri yang dulunya adalah juga kadernya sendiri.
Harus diakui dalam banyak kasus ketika tokoh berkompromi dengan cara-cara manusiawi mereka harus menjadi korban dalam partai politik di Indonesia. Hal ini juga pernah dialami oleh Akbar Tanjung yang banyak mengkaderkan pemimpinnya di Golkar dan memberi peluang yang lebar dalam politik kepada kader lain, akhirnya harus menjadi korban dan begitulah jika kita berniat baik untuk membangun demokrasi dalam politik masyarakat Indonesia yang belum membudayakan itu.
Diselamatkan Allah
Melihat sistem politik PAN yang sungguh otoriter dan tidak mengenal lagi ajaran-ajaran politik pendirinya baik tentang demokrasi, kebebasan berpendapat, desentralisasi politik, otonomi daerah menjadi tidak match dengan sistem politik PAN itu sendiri.
Sistem politik yang sentrakistik tentu akan membuat sistem negara juga menjadi sentrakistik meski simbol-simbolnya sudah berstatus desentralisasi penuh. Hal inilah yang telah mengundang masalah baru bagi Indonesia yang seakan-akan tidak habisnya tolak tarik antara pusat dan daerah dalam hal kekuasaan.
Berikutnya PAN ada dalam masalah tersebut dan dalam anti tesis terhadap sikap-sikap politik yang pernah disuarakan dan diperjuangkan di masa kepemimpinan Prof. Amien Rais.
Jika Prof. Amien Rais masih ada dalam PAN maka dapat saja terbangun opini bahwa PAN dan Amien Rais telah melakukan pembohongan publik dan telah melakukan propaganda sosial terhadap masyarakat Indonesia secara sistematis dan bisa juga dituduhkan bahwa politik yang dilakukannya hanya memanfaatkan kondisi dan issu sosial yang tentu akan semakin menjatuhkan marwahnya sebagai bapak Reformasi Indonesia.
Beruntunglah pak Amien bisa mengakhiri image sebagai pemilik dan pengendali politik PAN yang sesungguhnya ajaran politiknya telah lama diselewengkan oleh pengikutnya yang kemudian menahkhodai partai itu. Tentunya disamping issu yang telah membunuh karakter dirinya dalam politik yang dilakukan oleh lawan-lawannya bahkan tokoh  bangsa asing yang tidak senang dengan perubahan dan politik yang dilakukannya untuk membangun bangsa ini.
Kesimpulannya dalam kacamata masyarakat beriman Islam sebagai masyarakat Indonesia dominan  bahwa Allah telah menyelamatkan Prof. Amien Rais dengan segala sikapnya yang ikhlas dan berkorban untuk bangsanya terutama dalam mempertegas dan membuka mata masyarakat Indonesia dalam politik dan kehidupan yang bebas dari belenggu kekuasaan otoriter.
Jika ingin melanjutkan ajaran-ajaran politik dalam hidupnya maka sebaiknya prof. Amien Rais membangun modal baru dengan partai politik yang meluruskan tujuan politiknya, dengan sistem kakaderan yang benar-benar mumpuni dalam memperjuangkan perubahan nasib rakyat Indonesia melalui demokrasi dan keragaman bangsa yang dalam ruang yang lebih luas.