Atau lihatlah suatu kabupaten yang semua proyek-proyek pembangunan disikat habis oleh kepala darahnya atau keluarganya. Maka yang seperti itu juga penguasa keji yang merampok hak-hak hidup rakyat.Â
Wajarlah kemudian daerah itu tertinggal sepanjang masa, masyarakat jauh dari pembangunannya, padahal salah satu tugasnya adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, berapa indeks partipasi yang bisa dicapai adalah indikator pembangunan, bukan soal berapa gedung yang bisa dibangun tetapi siapa yang membangun dan bagaimana prosesnya, di dalam itulah ukuran seorang bisa atau tidak bisa memimpin.
Ini kan berbeda dengan pandangan awam mereka hanya melihat yang tampak, bahwa di masa gubernur atau bupati fulan bisa dibangun gedung fulan yang megah.Â
Cara pandang ini bukan untuk melihat seorang pemimpin tapi melihat kemampuan seni konsultan. Pada pemimpin yang dihat itu dalam proses bangun itu begaimana partisipasi masyarakat dalam pembangunan, bagaimana menunjuk kaeadilan, bagaimana rekayasa membangun masyarakat untuk ruang profesional dibidangnya.Â
Disitulah dibutuhkan kekuasaan gubernur untuk membangun masyarakatnya bukan berkuasa merebut hak-hak rakyat yang kebalikan dari kekuasaan yang diharapkan masyarakat dan negara. Oleh karena itu tanpa memahami strategy membangun rakyat maka jikapun negara itu milik warisan orang tua anda rakyat tetap aja dalam kemelaratan.
Jika memimpin sudah benar, masyarakat di masing-bidang kehidupannya terbuka ruang profesional maka kanal-kanal kesejahteraan itu minimal sudah terbangun.Â
Disitulah diperlukan pemimpin sebagai kepala daerah bukan menunjukkan kuasa sebatas memerintah kepala dinas dan bawahan tanpa membina bawahannya untuk arah pembangunan dan sisi vital pembangunan justru anda akan berpikir pragmatis dan sudah pasti siapapun bawahan anda akan gagal meski anda menggantinya setiap saat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H