Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Bukan Soal Pemilihan Langsung tapi Lebih pada Soal Eksistensi dan Harga Diri Rakyat

15 Juli 2020   08:53 Diperbarui: 15 Juli 2020   09:05 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tarmidinsyah Abubakar

Kita sering mendengar ucapan kata demokrasi terutama di ketika menjelang kampanye politik, seperti pemilihan presiden, demo mahasiswa, petinggi negara juga mengucapkan namun sedikit di lima tahun belakangan ini.

Lalu mengapa kata demokrasi paling banyak kita bahas dan dengar kala ada perjuangan politik, gerakan perjuangan keadilan oleh pemuda dan mahasiswa, kemudian kala menuntut perbaikan nasib karyawan, nasib buruh, nasib masyarakat daerah dan tentu nasib kaum tertindas.

Ini seharusnya perlu menjadi pertanyaan dan sekaligus catatan penting untuk rakyat belajar demokrasi yang sesungguhnya.

Saya sengaja memunculkan beberapa hipotesa negatif tentang pemahaman demokrasi. Hipotesa pertama bahwa pemahaman demokrasi yang sangat dangkal terutama pada pelaku politik kita di Indonesia terlebih lagi di daerah yang sengaja dibiarkan lemah dalam memahami demokrasi agar rakyat daerah tidak banyak menuntut haknya.

Lalu kalau ada pernyataan bahwa penerapan demokrasi sudah berlaku baik di Indonesia maka sepantasnya kita bisa menjawab bahwa Indonesia hanya membuat bungkus demokrasi, ibarat penamaan suatu partai politik nama partainya yakni partai demokrasi sementara dalam pelaksanaan justru sistem kerja kartel.

Hipotesa kedua, bahwa demokrasi telah digagalkan penerapannya dalam kehidupan masyarakat Indonesia terutama pelakunya adalah pimpinan partai politik di Indonesia dan pimpinan partai di daerah yang bermental kacung tidak memahami hak dan harga diri masyarakat daerah sehingga ia lebih mengutamakan menjilat ke pimpinan pusat daripada menempatkan posisi politik dan harga diri masyarakat daerahnya.

Lalu yang apa yang berlaku dalam realita kelemahan dan ketidampahaman sikap pimpinan partai? Tidak lain partai yang seharusnya milik rakyat telah berubah fungsi menjadi perusahaan untuk sebatas industri penghasil pendapatan anak cucu pimpinan partai itu sendiri. Demikian juga di daerah pimpinan partai hanya menjadi berbaju dan bermahkota pimpinan sementara peran dan fungsinya justru memalukan bahkan tidak ubahnya seperti pengemis jabatan atau seperti murninya penjilat yang lahap.

Hipotesa ketiga, apabila di level pimpinan partai politik demikian lemahnya pemahaman demokrasi maka penerapan dalam partai politik tentu bisa dibayangkan, kalau di daerah maka DPR Provinsi dan Kabupaten Kota itu mentalnya ibarat tikus melihat wajah kucing dicermin kala berhadapan dengan pimpinan pusatnya, mengapa?

Tentu karena pimpinan pusat itu menjadikan diri mereka seperti raja yang banyak uang, banyak harta sehingga menjadi sakti padahal ilmu dalam memimpin dan pemahaman demokrasi yang diamanahkan dalam konstitusi negara adalah zero alias nihil.

Hipitesa keempat, bahwa jika demikian lemahnya demokrasi pada level pimpinan partai dan dalam partai politik artinya selama ini rakyat tidak berdemokrasi secara benar? jawabnya demikianlah realita yang sesungguhnya. Karena instrumen utama rakyat dalam politik adalah partainya maka partai politik itu adalah ilustrasi rakyat. Jika ingin melihat rakyat dalam suatu negara maka pelajari partai politiknya maka setengah dari profil rakyat secara keseluruhan dapat diketahui.

Hipitesa kelima, Jika demokrasi bukan sebatas pemilihan langsung tetapi lebih kepada kredibilitas, eksistensi, hak rakyat bahkan menegakkan harga diri rakyat maknanya selama ini rakyat Indonesia dan masyarakat seluruh daerah tidak mengutamakan harga dirinya?

Begitulah realitanya dalam kontek demokrasi, selama masyarakat tidak paham memelihara dan menguatkan demokrasi maka mereka juga tidak paham harga diri dan eksistensinya sebagai warga negara maka mereka juga senantiasa tidak diutamakan dalam sistem negaranya. Penindasan, kekerasan,  hanya terjadi dalam masyarakat yang tidak diatur dalam dinamika kehidupan demokrasi yang benar. Sehingga rakyat mereka harus tunduk pada ketentuan kekuasaan.

Jika anda tanyakan dimana kita mulai memperbaiki masyarakat Indonesia? Atau linear dengan pertanyaan siapakah yang patut dipersalahkan dalam kegagalan negara ini dalam menghargai rakyatnya? Atau juga linear dengan peetanyaan, siapakah yang sesungguhnya talah mengkhianati bangsa dan negara Indonesia?

Jawabnya adalah para pemimpin partai politik baik sadar atau tidak, baik paham atau tidak paham. Dinana hak warga negara, hak kader partai politik didaerah yang sesungguhnya harus diurus secara halus dan lembut dengan hati tetapi pimpinan partai politik Indonesia mengurusnya pakai Palu bahkan Godam.

Penulis adalah Pemimpin Partai Politik Lokal GRAM yang digagalkan ikut pemilu 2019 oleh Pimpinan KIP Aceh masa itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun