Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Mantan Pemimpin Partai Politik

Semua orang terlahir ke dunia dengan tanpa sehelaipun benang, maka yang membedakannya adalah pelayanan kepada sesama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Penyelewengan Kekuasaan Negara Berawal dari Partai Politik yang Otoriter

23 Oktober 2024   10:02 Diperbarui: 23 November 2024   02:21 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Tulisan ini sebagai analisa sederhana yang obyektif dengan melihat semua anasir yang mempengaruhi kehidupan politik demokrasi bangsa Indonesia. Oleh karena itu mari kita melihat narasi kritis ini dalam sudut pandang yang luas.

Kita semua ingin membangun bangsa ini untuk berubah lebih baik karena kita sudah lelah akibat berulangkali terjadi perkara yang begitu-begitu saja, pengkhiatan, pengingkaran, sebagaimana keledai yang jatuh ke lubang yang sama.

Pada dasarnya pressure terhadap mentalitas rakyat negeri kita yang mudah diprovokasi, sehingga mereka  dengan mudah dibodohi dan merasa apa yang dilakukan oleh pemimpin negara tidak mungkin salah karena banyak orang bergantung pada mereka.

Maka yang perlu digaris bawahi mengkritisi untuk meluruskan adalah lebih bernilai bobotnya dari pekerjaan pemerintah itu sendiri karena mereka melakukan kerjaanya dan dibayar oleh negara sementara pelaku kritik tidak dibayar sama sekali, maka pemerintah yang maju bahkan membayar pengkritik lebih mahal dari gaji menterinya, mari kita berpikir secara jernih sebagai warga mumpuni.

Setelah menganalisa dari berbagai sudut pandang maka sumber penyelewengan kekuasaan sesungguhnya berawal dari partai politik, kita bisa melihat partai politik cenderung dikuasai oleh seseorang yang kuat dari perspektif keuangan kemudian menjadi dominan dalam membiayai rutinitas partai mengingat sumber pendapatan partai sangat terbatas dari alokasi anggaran negara.

Pada masa-masa awal reformasi pembentukan partai politik, terdapat kesadaran yang baik pada orang-orang yang punya uang, mereka memiliki kesadaran yang tinggi untuk mendorong perubahan bernegara, mereka cenderung mempercayai orang yang mampu dan memiliki ilmu pengetahuan dalam mengelola partai politik dan bernegara.

Tapi dalam perjalanan waktu mulai terdistorsi dimana mereka yang punya uang meski tanpa memahami ilmu politik dan bernegara terjun langsung dan menjadi aktor dalam dunia politik. Akibat perubahan prilaku tersebut kemudian politik transaksional berlaku masif karena perhitungan rugi laba dalam politik sama dengan perhitungan laba dan rugi dalam hukum ekonomi.

Indikator ini dapat dilihat mulai dari kualitas Musyawarah Nasional yang terkesan sebagai musyawarah yang dibuat oleh dominasi seorang politisi atau dapat disebut sebagai piasan seseorang untuk mengambil kekuasaan. Maka politik masyarakat hanya bersubstansi sebatas menang dan kalah dalam suatu musyawarah termasuk dalam pilpres, pilkada dan pemilu legislatif.

Kebijakan Formatur Tunggal

Sekarang mari kita analisa dalam prilaku pembentukan pengurus partai yang selama ini cenderung menyerahkan pada formatur tunggal pada ketua terpilih. Hal ini menjadi permulaan melemahkan fungsi hak politik anggota lainnya dalam partai politik dan tentu saja ini sebagai cikal bakal centralistik dalam partai politik. Karena penempatan pengurus partai bukan atas hak politiknya tetapi hanya pada ajakan formatur tunggal yang juga ketua partai politik.

Kualifikasinya hanya sebagai tugas perbantuan dan pengurus partai telah menggagalkan dirinya sebagai pengurus yang utuh dan mumpuni maka kebanyakan mereka sebagai buruh politik yang bekerja pada ketua partai politik.

Secara mentalitas sebenarnya  mereka tidak bisa diandalkan untuk menjadi seorang pemimpin rakyat karena yang bersangkutan tidak memenuhi syarat sebagai warga dewasa yang mumpuni. Berikutnya partai politik tersebut bukan lagi sebagai asset rakyat tetapi sudah menjadi milik formatur tunggal dengan garis komandonya dimulai dari pengurus yang bisa diatur seperti kerbau dicucuk hidungnya. 

Lantas bagaimana kita sejajarkan keberadaan mereka sebagaimana ajaran Islam yang selalu dilafal bahwa setiap kamu adalah pemimpin dalam setiap ceramah ditengah masyarakat.

Hal itu tidak ubahnya sama dengan mengucapkan Astaqfirullahul 'alim, Allahu Akbar dimulutnya tetapi mereka melakukan pekerjaan dengan target perintah ketuanya dalam dalam membakar rumah lawan politiknya. Sebenarnya yang bertanggung jawab bukan anak buahnya tetapi ketua organisasinya karena berkaitan dengan kepentingan politik.

Hal ini tidak berbeda dengan seseorang yang menyampaikan pidato berasap-asap, kita akan memberantas penebang liar dan semua harus patuh pada aturan moratorium hutan, tetapi usaha mebel anggotanya atau anak buahnya bertambah jaya dan berbahan baku dari kayu hutan, kalau kita gunakan pikiran apa masuk akal ucapan dengan prilakunya? Begitulah jika rakyat tidak menggunakan logikanya secara baik pasti terus menerus dibohongi.

Apa susahnya sih, nanti waktu dekat pemilu sudah disiapkan uang untuk membeli suaranya maka yang duduk pada jabatan itu ya jaringan mereka karena rakyat terperangkap dalam lingkaran setan yang mudah di perdayai. Bila ketahuan kebusukan propagandanya maka mereka dengan mudah mengucapkan kalimat "dunia ini panggung sandiwara". 

Karena itulah maka partai politik tidak bisa diurus secara pragmatis dengan memudahkan dan tidak menghormati hak politik anggota karena yang paling penting dalam politik partai adalah hak bersuara maka partai politik di negara yang maju masyarakat membayar iuarannya agar partai tetap milik rakyat sebagaimana UU partai politik di negeri kita.

Kalau partai politik sudah diurus dengan garis komando apa bedanya dengan organisasi perompak atau garong yang mengandalkan hasil garong sebagai output politiknya.

Penyusunan Nomor Urut Caleg dan Kelengkapan Dewan

Berikut yang paling jelas dapat dilihat dalam penyusunan calon anggota legislatif yang berorientasi pada kedekatan dengan ketua partai atau menyogok ketua partai. Maka mereka yang tidak dekat atau tidak menyogok ketua sudah pasti memperoleh nomor urut yang besar atau bukan prioritas.

Penentuan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang menjadi panitia anggaran dan panitia musyawarah juga akan terlihat kesenjangan yang lebar. Karena rata-rata mereka memilih menjadi panitia anggaran.

Penentuan ketua fraksi dan pimpinan dewan juga berbau kolusi yang menegaskan hanya perpanjangan pribadi ketua bukan berdasarkan kapasitas dan kualitas kader partai politik bersangkutan. Karena jabatan itu sering menimbulkan konflik kader maka dibuatlah kebijakan yang non kualitatif bahkan menurut saya konyol secara kualitatif karena politisi kehabisan pikirannya sehingga mengacu pada siapa yang memperoleh suara terbanyak.

Prinsip Keadilan

Idealnya pegangan politik secara adil sewajarnya harus mengacu pada evaluasi kapasitas dan kualitas kader, berikut mentalitas dan moralitas kader partai yang paling di atas dalam evaluasi terhadap prestasi sehingga setiap kader berkompetisi dalam indikator nilai-nilai ilmu pengetahuan politik dan bernegara.

Contoh yang diberikan oleh partai politik tentu saja akan menjadi etika politik yang akan dicontoh oleh masyarakat dalam hidup berorganisasi dan hidupnya disisi lain. Bahwa kemampuan otak seseorang idealnya harus sesuai dengan  jabatan yang diemban dalam partai politik. Karena itu kesetaraan dalam politik menjadi prioritas untuk membangun politik yang normatif.

Sumber Kolusi dan Nepotisme

Lalu, mari kita bayangkan jika indikator kedekatan yang menjadi ukuran, pertanyaannya siapa sebenarnya yang paling dekat dengan ketua partai? Jawabnya adalah anggota keluarga ketua dan berikutnya adalah sanak familiy dan sahabat-sahabatnya.

Pertanyaan berikutnya, apakah itu bukan kolusi dan nepotisme yang selama belakangan rezim ini, masyarakat melawan dan mengharamkannya dalam sistem bernegara bahkan perubahan itu telah menjatuhkan presiden Soeharto yang telah memimpin selama 32 tahun negara ini.

Mengulang Sejarah 

Bukankah jika politisi Indonesia mengulang kembali prilaku tersebut maka keluarga Soeharto justru sebagai terdhalimi oleh rakyat yang telah menjatuhkannya.

Perlu diingat pelakunya adalah pimpinan partai politik yang merusak demokrasi dan membangun rezim sebagaimana Orde Baru. 

Yang membawa prilaku tersebut adalah para politisi berakal pendek dan mereka yang lebih pantas perlu dihukum sebagai pengkhianat bangsa yang paling parah dari yang pernah dijatuhkan karena sikap otoritariannya.

Partai Politik Pelaku

Kolusi dan nepotisme terbukti pada beberapa partai politik yang selama ini menjadi partai penebeng presiden atau terlihat sebagai penjilat utama presiden dan menjadikan pejabat negara hanya karena anak ketua partai. Misalnya anak kandung yang masih belum cukup mumpuni dijadikan pejabat negara, hal ini berdampak pada prilaku pemimpin partai politik lain yang dekat dengan kekuasaan, karena itu anak yang masih pada tahapan belajar politik dijadikan menteri dan wakil menteri.

Dampak Pada Transaksi Jabatan Bernegara

Lalu apa yang ditunggu lagi oleh masyarakat Indonesia terhadap prilaku pimpinan partai politik seperti ini. Apakah rakyat Indonesia belum cukup dibodohi dengan permainan jabatan negara dengan kolusi dan nepotisme.

Apa bedanya dengan mempersepsikan orang-orang tersebut berprilaku mencari hidup dengan memeras rakyat dan menjadikan partai politik sebagai industri penghasil cuan, maka wajarlah jika pabrik-pabrik industri yang riil ditutup karena lebih mudah menghasilkan uang dengan pabrik partai politik.

Kesimpulan

Dalam upaya menghentikan penyalahgunaan kewenangan dalam jabatan bernegara sebagai pelayan publik, maka yang pertama harus dibenahi adalah mentalitas pimpinan partai politik.

Alat evaluasi yang adil dalam partai politik yang dipergunakan oleh pimpinan partai politik terhadap kadernya adalah kecakapan dan kemampuan menguasai ilmu politik dan menguasai ideologi partai politik dan bernegara secara baik.

Ketua partai politik harus bisa memberikan ketauladanan sehingga bisa melahirkan etika-etika berpolitik dan bernegara dengan baik agar kepercayaan rakyat sebagai modal politik dan bernegara dapat tumbuh kembali secara baik.

*****

sumber gambar dokpri
sumber gambar dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun